Bismillahirrohmaanirrohiim

APA YANG KELIRU DARI PENDIDIKAN INDONESIA?


Oleh Ruly Achdiyat 

Saya baru saja berkenalan dengan seorang ayah yang berasal dari Finlandia. Lalu penasaran bertanya padanya, karena ingin memahami kenapa negara ini selalu di puncak PISA, sementara Indonesia masih di peringkat bawah. 

Jawabannya bukan anggaran (Finlandia habiskan €9.000 per siswa per tahun, lebih rendah dari Inggris €11.000—OECD 2024), juga bukan jam belajar panjang (mereka cuma 608 jam setahun, Indonesia 900+ jam). 

Yang bikin beda: mereka mengajarkan anak untuk bertanya, bukan menjawab.

Di Finlandia, hari pertama SD, anak tidak langsung buka buku. Mereka diberi kotak misteri: kunci berkarat, batu berlubang, foto pudar. 

Tugas: buat 10 pertanyaan. Guru tidak koreksi benar-salah. 
Yang dinilai: kedalaman. 

Riset University of Helsinki (2024) tunjukkan, anak yang terlatih bertanya sejak usia 6 tahun punya problem-solving 40% lebih tinggi saat remaja. Di Indonesia? Hari pertama SD: upacara bendera, hafalan Pancasila, daftar peraturan seragam. 

Pertanyaan pertama: “Boleh tanya, Bu?” 
Jawab: “Nanti setelah pelajaran.”

Di Belanda, anak TK sudah punya “philosophy for children” mingguan. Duduk lingkaran, bahas: “Apakah robot bisa punya teman?” Guru cuma memantik, siswa pimpin diskusi. Tidak ada jawaban benar—hanya argumen.

Di Inggris (UK), pertanyaan jadi mata pelajaran wajib. Sejak Year 1 (usia 5–6), Philosophy for Children (P4C) masuk kurikulum di 70% sekolah negeri (DfE 2024). Anak debat terstruktur: “Should homework be banned?” Di GCSE, Critical Thinking ajarkan deteksi fake news—bedah headline BBC vs tabloid. 

Hasil? Siswa UK rangking 3 Eropa untuk evaluative reasoning (PISA 2022).

Saat anak saya baru pindah ke UK - 2017, yang berusia secondary mendapat tugas sejarah pertamanya bukan hafalan: 

“Kapan Hitler mati?” atau “Kapan Perang Dunia II mulai?” 

Melainkan satu pertanyaan sederhana: 

“Jika kamu hidup di Jerman 1933–1945, apa yang akan kamu rasakan?”

Ia harus:  
1. Pelajari fakta—kebijakan Nuremberg Laws, Kristallnacht, Holocaust (6 juta korban Yahudi, data Holocaust Memorial Museum).  
2. Pilih perspektif personal: anak Yahudi? Pemuda Aryan? Ibu rumah tangga biasa?  
3. Tulis esai 800 kata + refleksi: “Bagaimana propaganda memengaruhi pilihanmu?”

Tugas ini bagian dari “empathy history”—kurikulum UK sejak 2014 (National Curriculum History Programme). Riset dari University College London (2023) menemukan, siswa yang belajar sejarah via perspektif personal punya empati sosial 28% lebih tinggi dan kemampuan argumen etis 35% lebih baik dibanding yang hanya hafal tanggal. Di Indonesia, sejarah sering jadi daftar tahun: 1928, 1945, 1965—jarang ada ruang untuk “Bagaimana rasanya jadi korban G30S?”

Data bicara. 

World Economic Forum (2025): 7 dari 10 negara dengan “future skills” terbaik adalah Eropa Utara + UK—semua terapkan play-based learning sampai usia 7. 

Indonesia? 60% kurikulum SD masih hafalan (Kemendikbudristek 2024). 

Akibat: siswa kita jago mengingat, lemah merumuskan. Pandemi? Siswa Finlandia tanam pohon, ukur polusi. Siswa UK bikin podcast lockdown. Siswa Indonesia? Bingung tanpa slide PPT.

Di kelas Eropa (termasuk UK):  
- Guru: “I wonder what would happen if…”  
- Siswa: “Let me try!”  

Di kelas Indonesia:  
- Guru: “Ini rumusnya, hafal ya.”  
- Siswa: “Iya, Bu.”

Ironis:
Kita punya gotong royong, tapi di sekolah kolaborasi = nyontek. Di Swedia, ujian akhir kelompok. Di UK, Extended Project Qualification (EPQ) di A-Level: proyek 5.000 kata, topik bebas (AI ethics, sejarah K-pop), wajib wawancara ahli, presentasi panel. 

Nilai? 50% dari logbook refleksi harian.

Saya pernah bertanya pada istri kolega saya yang menjadi guru di Manchester: 

“Kalau anak salah terus?” 
Jawab: “Salah adalah data. Kami tanya: Apa yang kamu pelajari dari salahmu?” 

Di Indonesia, salah = malu, hukuman, label bodoh.

Tapi banyak anak Indonesia yang pintar2? 

Betul sekali, tapi mereka pintar dan sukses bukan karena sistem pendidikan Indonesia. Tapi karena anaknya yang gigih, orang tuanya hebat. Yang kita bicarakan saat ini, bagaimana mayoritas anak-anak Indonesia secara rata-rata bisa mengangkat peradaban Indonesia menjadi lebih baik di manapun dia bersekolah dari pelosok hingga kota besar.

Lalu Indonesia mulai dari mana?  

Saya bukan ahli pendidikan, hanya seorang ayah beranak 4 beristri satu, yang telah memutuskan anak-anak saya untuk belajar bukan dengam kurikulum Indonesia, dengan menjadi diaspora hampir 20 tahun di tiga negara. Sederhana saja, kita mulai dengan di bawah tapi beramai2 (kolektif) mayoritas negeri ini:

1. Di rumah: Ganti “Sudah makan?” jadi “Hari ini kamu bertanya apa di sekolah?”  
2. Di sekolah: Kurangi multiple choice, tambah proyek: wawancara tetangga soal banjir, tulis refleksi.  
3. Di masyarakat: Normalisasi “Saya belum tahu, mari cari tahu bareng.”

Finlandia butuh 40 tahun reformasi. UK 20 tahun sejak P4C 2002. Kita tidak perlu 100% meniru—tapi bisa mulai:

Bukan “Apa jawabannya?”  
Tapi: “Apa pertanyaannya?”

=======

Jargon Indonesia Emas bukan hanya membutuhkan generasi muda yang skillful dalam jumlah yang BANYAK tapi juga menjadi PROBLEM SOLVER yang kaya EMPATI.


.

PALING DIMINATI

Back To Top