Oleh KH. Ma'ruf Khozin
Ada surat resmi masuk ke Komisi Fatwa MUI Jatim dari Fakultas Kedokteran Gigi, Unair, untuk menggali Ilmu Fikih berkaitan dengan kesehatan gigi. Dosen pembimbing yang tertera di surat tersebut adalah Prof. Dr. Taufan Bramantoro, drg., M.Kes., FISDPH.FISPD dan Dr. Gilang Rasuna Sabdho Wening, drg., M.Kes., FISDPH.FISPD.
Setelah menyodorkan draf yang terdiri dari 52 pertanyaan dan terbagi dalam 5 bab, yaitu Kesehatan Gigi dan Mulut dengan Estetika, Edukasi, Tindakan Pencegahan, Saat Salat, Puasa, Ihram Haji dan Umrah, serta Saat Meninggal Dunia. Karena sangat banyak, saya tidak mampu sekali pertemuan wawancara. Akhirnya dilakukan 2 pertemuan.
Saya sangat senang dengan tema ini, sebab Ilmu Kedokteran dan Fikih selalu memiliki keterkaitan. Contohnya saat membahas Sound Horeg beberapa waktu lalu, data-data yang kami perlukan disampaikan oleh guru besar kedokteran spesialis THT. Demikian pula berkaitan dengan kedokteran Obsitetri dan Ginekologi (kelahiran dan reproduksi wanita). Ini menunjukkan masih banyak dari para dokter dan umat Islam yang menjalankan norma dan aturan dalam Islam untuk aktivitas kesehatan mereka.
Di samping itu, sebelum kita memakai pasta gigi dan sikat di zaman sekarang, Nabi shalallahu alaihi wasallam sudah mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga kebersihan mulut dengan siwak. Uniknya ada beberapa pertanyaan dari 52 soal penelitian ini terjawab dengan hadis-hadis dan teks Fikih Klasik. Memang ada sisi perkembangan dari kesehatan gigi dan mulut, khususnya berkaitan dengan teknologi.
Contoh operasi untuk kasus gusi terlihat saat tersenyum (gummy smile), bisa dengan gingivektomi (pemotongan jaringan gusi berlebih), reposisi bibir (memindahkan bibir atas ke posisi yang lebih tinggi), elongasi mahkota (menyesuaikan gusi dan tulang untuk mengekspos lebih banyak permukaan gigi), atau operasi ortognatik (memposisikan ulang rahang atas jika masalahnya karena tulang rahang yang terlalu tinggi). Pilihan prosedur bergantung pada penyebab dan tingkat keparahan gummy smile.
Fatwa MUI secara spesifik tentang ini memang belum ada. Tapi tindakan mengubah organ tubuh ada batas-batas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Fatwa MUI No 11 tahun 2020 menjelaskan:
Bedah plastik rekonstruksi untuk memperbaiki fungsi dan bentuk anatomis yang tidak normal menjadi mendekati normal, seperti bibir sumbing, kontraktur, keloid, tumor, replantasi digiti, rekonstruksi payudara pasca-tumor, lesi kulit, hipospadia, dan kelainan alat kelamin, merupakan jenis tindakan medis yang masuk kategori al-dharurat atau al-hajat, hukumnya boleh dengan syarat:
a. tindakan yang dilakukan manfaatnya nyata
didasarkan pada pertimbangan ahli yang kompeten
dan amanah;
b. aman dan tidak membahayakan; dan
c. dilakukan oleh tenaga yang ahli yang kompeten dan
amanah.
2. Bedah plastik estetik untuk mengubah ciptaan dan bersifat permanen, seperti memancungkan hidung, mengubah alat kelamin, mengubah sidik jari, dan/atau untuk tujuan yang dilarang secara syar’i bukan termasuk kategori al-tahsiniyat (Tersier), hukumnya haram.
3. Bedah plastik estetik yang merupakan jenis al-tahsiniyat (Tersier), seperti membuang kelebihan lemak, kelebihan kulit, mengencangkan otot agar tidak kerut, hukumnya boleh dengan syarat:
a. tidak untuk tujuan yang bertentangan dengan syari’at.
b. menggunakan bahan yang halal dan suci;
c. tindakan yang dilakukan terjamin aman;
d. tidak membahayakan, baik bagi diri, orang lain,
maupun lingkungan; dan
e. dilakukan oleh tenaga yang ahli yang kompeten dan
amanah.
4. Bedah plastik estetik sebagaimana dimaksud angka 3 yang berdampak pada terjadinya bahaya (dlarar), penipuan (tadlis), ketergantungan (idman), atau hal yang diharamkan hukumnya haram, saddan li al-dzari’ah.