Bismillahirrohmaanirrohiim

KEMBALI KE PESANTREN, KEMBALI KE IDEOLOGI BANGSA

oleh Ahmad Baso

“Anak ambtenaren, senang pakaian, ideologis kosong ...”

---- Ejekan kaum santri di Banten tahun 1940-an kepada anak-anak priyayi anak sekolahan yang masuk tentara Peta di masa Pendudukan Jepang.

Dikutip dalam Michael C. Williams, “Banten: Rice Debts Will Be Repaid With Rice, Blood Debts With Blood”, dalam Audrey K. Kahin (editor), Regional Dynamics of The Indonesian Revolution: Unity From Diversity (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), hal. 78.

Hari-hari ini kita mengalami proses pemiskinan ideologi bangsa kita. Krisis moral, korupsi, krisis keteladanan dan hedonisme merajalela dimana-mana. Tanah,  aset-aset bangsa dan sumber alam kita dengan gampang dijual kepada bangsa asing. Pemimpin tidak lagi bisa melindungi rakyatnya, ketika TKI/TKW-nya dihukum pancung. Para wakil rakyat dari pusat ke daerah sibuk memperkaya diri atau mencari proyek agar terpilih 5 tahun berikutnya. Pancasila sudah dilupakan mahasiswa yang sibuk dengan civil society, demokrasi dan reformasi. Anak-anak sekolah lebih mendalami Upin-Ipin daripada Ideologi Negara dan Pembukaan UUD 1945. Bahkan guru-guru agama sebuah organisasi (yang dulunya dianggap kantong pembaruan dan reformisme Islam) kini menganjurkan anak didik untuk tidak hormat pada Bendera Merah-Putih. Dan lagu Indonesia Raya kalah nyaring dibanding lagu Peter Pan. Isu pluralisme, minoritas, kebebasan beragama, Ahmadiyah, dan lain-lain, justru dipakai untuk mengoyak dasar-dasar kebersamaan kebangsaan dan persatuan kita.
            Tidak salah kalau sejak Muktamar NU di Makassar 2010 lalu PBNU menggelorakan semangat “kembali ke pesantren”. Apa arti kembali kepada pesantren?
            Pertama-tama tentu adalah kembali kepada ideologi bangsa kita, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika; serta kembali kepada akar-akar kebangsaan kita: kemandirian, kemerdekaan, adaptabilitas yang sangat tinggi, solidaritas yang kokoh, dan berdikari dengan pilar kesederhanan, qanaah, keikhlasan dan etos kerja.

            Saya sengaja mengutip di atas salah satu sikap kalangan santri di masa dulu yang pernah berjuang gigih melawan penjajah, baik Kompeni Belanda maupun fasisme Jepang. Sikap orang-orang pesantren yang mengejek anak-anak ambtenar, anak-anak priyayi, anak-anak sekolahan didikan Belanda, dengan menyebut “ideologi [mereka] kosong”. Dengan ejekan ini, bahkan yang ditunjukkan dalam sebuah sikap kolektif anti kolonial, orang-orang pesantren percaya bahwa orang-orang Indonesia yang dikader dalam sekolah-sekolah Belanda tidak akan bisa dipercaya untuk memimpin bangsa ini.[1] Apalagi dalam alam Indonesia yang merdeka dan bersatu. Contoh kalangan orang-orang Banten yang santri yang taat kepada ulama adalah contoh ekstrim bagaimana sikap sosial tersebut ditunjukkan dengan tindakan revolusi sosial: para pemimpin dan calon-calon pemimpin kader Belanda (terutama dari keluarga besar Djajadiningrat) dicopot dari kekuasaan, dari jabatan wedana dan bupati dalam sebuah revolusi rakyat di tahun 1945. Bahkan ada yang dibunuh karena ternyata menjadi perpanjangan dari kekuasaan jahat penjajah Belanda, seperti Raden Soekrawardi, keponakan Hilman Djajadiningrat, Wedana Anyer, dan R. T. Hardiwinangun, Bupati Lebak, yang merupakan kader binaan Ch. O. van der Plas yang licik itu.[2]
            Saya kira bukan cuma para santri Banten yang benci anak-anak sekolahan kader-kader Belanda. Tokoh nasionalis sekaliber Dokter Soetomo, salah seorang pendiri Boedi Oetomo, dan Ki hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa, juga puna pendirian yang sama.
Dalam satu polemik kebudayaan di tahun 1930-an, di masa konsolidasi penguasa kolonial Belanda pasca pemberontakan komunis dan kebangkitan organisasi politik radikal anti penjajahan, Dokter Soetomo, salah seorang tokoh pendiri Boedi Oetomo, dan Ki Hajar Dewantara (sebelumnya bernama Suwardi Suryaningrat) tampil membela pesantren di tengah serangan para pendukung sekolah kolonial. Di satu kubu, pendukung sekolah modern-kolonial, para pejabat kolonial dan antek-antek inetelktualnya, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Sjahrir, Armijn Pane, dan kelompok Pujangga Baru, mengkampanyekan pencerdasan anak-anak bangsa melalui sekolah-sekolah modern untuk mencintai pemerintah kolonial. Kubu ini menyebut pesantren sebagai sekolah feodal, tradisional dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman [sebuah tema kampanye yang hingga kini tetap disuarakan oleh para intelektual modernis antek-antek sekolah Barat]. Sementara di kubu lainnya, seperti Soetomo dan Ki Hajar, meski pernah mengenyam sekolah ala Barat, mereka berdua justru datang membela hakikat pengajaran pesantren.[3]
Soetomo, yang pernah nyantri di sebuah pesantren di Surabaya, menganggap pesantren sebagai wahana penggemblengan rakyat dan pembangunan mental populisme-kebangsaan. “Sekolah-sekolah pemerintah [kolonial] hanya menghasilkan pegawai, dan hanya ditujukan untuk mengasah otak saja, serta menicptakan manusia-manusia yang hanya memusatkan perhatian pada diri-sendiri (egoistik) dan yang saling bersaing untuk mendapat secupak nasi”, kata Soetomo dalam Kongres Pendidikan Nasional yang pertama pada Juni 1935.[4] Menurutnya, pendidikan modern-kolonial telah mengasingkan anak didik bangsa Indonesia dari masyarakatnya, serta mencetak manusia-manusia yang tidak peduli dengan bangsanya sendiri.
Di pesantren itulah anak-anak muda bangsa ini digembleng. Di sana mereka ditempa oleh nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian, semangat kerja sama, solidaritas, dan keikhlasan. Kesederhanaan menunjukkan pengunduran diri dari ikatan-ikatan dan hirarki-hirarki masyarakat Jawa, dan pencarian suatu makna kehidupan yang lebih dalam yang terkandung dalam hubungan-hubungan sosial. Semangat kerjasama dan solidaritas juga mewujudkan hasrat untuk peleburan pribadi ke dalam suatu masyarakat yang tujuannya adalah ikhlas mengejar hakikat hidup.
Dalam konsep keikhlasan atau pengabdian tanpa memperhitungkan untung rugi pribadi ini, terjelmalah makna hubungan bukan hanya di antara para santri sendiri, tapi juga antara para santri dan kiai mereka. Dalam pandangan pesantren, santri tidak akan mengerti apapun jika ia tidak ikhlas. Hanya jika sikapnya terhadap kiainya murni, ikhlas, tekun, dan taklid, barulah ia mampu menyerap misteri-misteri dari ngelmu atau ma'rifat yang dikuasai kiainya. Jenis pendidikan semacam inilah yang kemudian menempa dan membentuk jiwa, karakter dan semangat anak-anak bangsa ini untuk berjuang membela negara, nusa dan  bangsa ini.
Dalam satu tulisannya, Soetomo juga mengungkap, untuk mengubah keadaan yang menyedihkan ini, harus dimulai dari tingkat desa. Semangat sekolah rakyat haruslah demokratis sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam. Sang guru haruslah menjadi kiai di tempatnya, sebab tempat “dimana jiwa yang egoistik dapat diubah menjadi jiwa yang bersedia untuk berkorban bagi kepentingan rakyat”, tulis Soetomo.
Sementara Ki Hajar Dewantara menyebut pesantren sebagai tipe ideal pendidikan nasionalis.[5] Bahkan karakter kebangsaan Taman Siswa menghubungkannya dengan dunia pesantren. Dalam banyak kasus para aktifis pesantren adalah juga aktifis Taman Siswa.  Demikian pula sebaliknya.[6] Di Jawa Timur, basis NU dan pesantren, Taman Siswa lebih banyak diterima dibandingkan di Jawa Tengah dan Yogyakarta dimana sekolah-sekolah Muhammadiyah dominan. Bahkan ada tokoh ulama pesantren di Aceh yang mendirikan sekolah Taman Siswa.[7]
Sukarno melalui PNI-nya di tahun 1927-9  juga mengajarkan kepada kader-kader kursus politik PNI di Bandung gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan nasional yang diperolehnya dari pesantren. Terutama pandangan Taman Siswa bahwa “sistem onderwijs (pendidikan) ini (yakni pendidikan kolonial modern) hanya mendidik murid-murid untuk menjadi klerk (pegawai), dan tidak supaya mereka kemudian bisa berdiri atas kekuatan sendiri”.

Mengapa Pendidikan Pesantren Ideal untuk Pendidikan Kebangsaan Kita? 
Ciri khas pesantren dengan tradisinya yang kini terpelihara adalah penghargaan terhadap leluhur, para ulama, para pejuang yang berjuang untuk bangsa ini serta para pendahulu yang berjasa. Pesantren membantu anak-anak bangsa memelihara segenap memori kolektif bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu mereka mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk bangsa dan tanah air ini. Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan berkebudayaan yang menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas berbangsa, persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini jadi terjaga.
Selain itu, tradisi-tradisi ini juga dipelihara oleh pesantren karena kedekatan tradisi seperti ini dengan penghormatan terhadap tanah, air, laut, hutan, gunung dan sumber-sumber daya alam yang dimiliki Nusantara ini. Keberadaan makam-makam keramat di dekat mata air, di hutan, di gunung, semuanya dirawat oleh orang-orang pesantren untuk kepentingan menjaga kesinambungan sumber-sumber air bagi kehidupan umat manusia. Demikian pula temapt-tempat etrtentu yang dianggap ekramat (dalam bahasa awam, “angker”, “dipenuhi”), juga dipelihara oleh pesantren karena keterkaitan hisoris tempat-tempattsb dengan sejumla jejak para tokoh ulama atau wali atau petilasan sejumlah pendakwha Islam pertama, pembuka desa pertama,atau jejak kehadirna pesantren awal, juga karena keberadaan tempat-tempat ekramat tersebut di daerah-daerha konservasi air, tanah, hutan, dan sumebr-sumebr ekonomi masyarakat sekitar, sehingga segenap kekayaan alam tersebut bisa diperoleh dan menjadi aian dari ketahana kultural-ekonomi masyarakat, tanpa dikavling-kavling atau diliberalisasi (dikapitlaisasi dan disawatanisasi) untuk kepentingan pemodal atau untuk investasi asing, yang dmapknay kita lihat sendiri, adalah proses pemiskinan masyarakat di sekitar proyek-proyek liberalisasi-swastanisasi tersebut, bersamaan dengan peminggniran orang-orang pesantren di sana.[8]
            Selain itu, pesantren juga menjadi wadah kaderisasi anak-anak bangsa untuk menjadi pemimpin di masa depan. Calon-calon pemimpin bangsa yang dikader untuk menjadi pelindung, penjaga dan pemelihara tradisi-tradisi berkebudayaan bangsa ini. Pangeran Diponegoro misalnya, ketika dikader di Pesantren Mlangi Yogyakarta yang diasuh oleh Kiai Taftajani, diajarin bukan hanya pelajaran dasar-dasar keagamaan, tapi juga warisan peradabn leluhur bangsa ini, dari Sriwijaya hingga Majapahit, dari karya-karya Pararaton, Tajussalatin, Serat Ambiya hingga Kitab Tohfah.[9] Bukan hanya itu. Mereka juga dikader untuk mengerti dan mengenal betul keadaan rakyat jelata di bawah, untuk bisa berkomunikasi dengan mereka, dan juga untuk mengikuti cara hidup para ulama yang dekat dan merakyat dengan penduduknya.[10]
Demikian pula para kaum menak dan anak-anak ningrat di Priangan dan di Banten, dikader di pesantren untuk bisa mengenal tradisi bangsanya yang bhinneka tunggal itu. Mereka juga dikader di pesantren untuk menjadi populis, menyatu dan menghayati kehidupan rakyatnya. Tidak jarang ada di antara mereka yang bercita-cita ingin menjadi ulama.[11] Contoh tipikal dari keluarga kaum menak yang santri itu adalah Raden Wiranatakusumah yang mengajar kepada tokoh-tokoh pendiri bangsa ini untuk dekat, mengenal dan bergaul dengan para ulama di Priangan.[12] (Justru kehadiran penjajah dan sarjana-sarjana kolonial lainnya yang membuat mereka etraisng dari pesantren, seperti cara Snouck mengkader anak-anak keluarga Djajadiningrat, Haji Hasan Mustafa, serta cara F. Holle mengakder Raden Haji Muhammad Moesa dari Limbangan (Garut), dan cara Kompeni mengkader anak-anak kraton Surakarta dan Yogyakarta dan sekian anak-anak ningrat di Nusantara untuk mentradisikan “Agama” dan “Adat” mereka  yang “asli” dan “otentik” sebagai imbangan dan bahkan lawan terhadap yang disebut “Islam”-nya orang-orang pesantren.[13])


Pesantren juga menjadi pusat pemeliharaan berbagai tradisi keilmuan yang diproduksi oleh anak-anak bangsa ini. Mulai dari tradisi kesastraan Nusantara[14] hingga tradisi ilmu-ilmu sosial pesantren.[15]
Orang-orang pesantren juga mengajarkan anak-anak bangsa ini akan persatuan bangsa. KH Saifuddin Zuhri menyebut tradisi kitab kuning merupakan perakat dari Islam Nusantara, dan itu berarti perekat kebangsaan kita.[16] Salah satu instrumen persataun yang digalang kalangan pesantren adalah tradisi santri kelana. Mereka mebentuk jaringan kebangsaan; tapi ini pula yang menjadi obyke penjinakan kekuatan-kekuatan penjajah di negeri. Penjajah untuk berkuasa, yang dilkauakn eprt-tama adalah memcah-belah ikatan bangsa ini. Nah, salah satu cara untuk meruska ikatan antr komunitas itu dalam bangsa ini adalah dengan memootng pergerkan kalangan santri kelana ini. Dan kini tradisi itu menjadi hialng seriign dengan dipelruasnya sistem amdrasah dengan segenpa kompelksitan dan kerumitnanaya yang diperkenalkan oleh Kementerian Agama sejak awal 1970-an.
Sejak dari masa Mataram, sejak Perjanjian Gyanti 1755, hingga di masa Perang Jawa, dan pernag anti kolonial, orang-orang pesantren menjadi aktor perlawanan itu, dengan tujuan persatuan dan kesatuan. Ketika muncul gerakan-gerakan pemberontak setelah kita merdeka, para ulama dan komunitas pesantren pun tampil membela NKRI dari rongorngan para kaum separatis. Mereka menyebut pemebrontakan itu mazmumah (tercela).[17] (kini yang aneh, sudah banyak orang-orang di bangsa kita yang mentolerir aktor-aktor yang dulu memberontak kepada NKRI, dengan argumen yang mengenakkan dan diakal-akalin.[18] Ini seiring dengan menjauhnya logika kini dengan logika yang eprnha dulu dijaga dan dipelihara oleh orang-orang pesantren, ini karena banyaknya pemimpin bangsa ini yang sudah amnesia kolektif dari dunia pesantren).


[1] Dalam otobiografi seorang bupati Serang di masa kolonial, yang mengingat kembali pengalamannya di semasa menjadi santri di sebuah pesantren di Karundan, Pandeglang, Banten, di tahun 1890-an, disebut bagaimana kalangan santri selain belajar Tashrifan dan Matn al-Ajurumiyah tentang gramatika bahasa Arab, juga belajar tentang hidup sederhana, disiplin, patuh kepada guru, kebersamaan dan juga sikap anti pemerintah Belanda dan kebencian terhadap pegawai-pegawai dan para ambtenarnya. P. A. Achmad Djajadiningrat, Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (Jakarta: Paguyuban Keturunan P.A. Achmad Djajadiningrat, 1996 [1936]), hal. 25-8, 437-8. Masa itu sudah menunjukkan bahwa orang-orang pesantren adalah orang-orang yang paling siap dalam menghadapi kolonialisme, dan bukan malah meminta-minta atau bergelatungan di ketiak penguasa-penguasa kolonial.

[2] Williams, “Banten”, hal. 70 dan 80. Dalam bukunya, Berangkat dari Pesantren (hal. 168-9), KH. Saifuddin Zuhri melukiskan pertemuan van der Plas dengan Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari:
“Sewaktu penyelenggaraan Muktamar NU di Surabaya tahun 1940, van der Plas, waktu itu sebagai guebrnur Jawa Timur, meminta hadir dan  memberi pidato sambutan dalam acara resepsi muktamar NU itu.
“Van der Plas ini benar-benar satu tipe dengan pemerintahan kolonial dalam menghadapi umat Islam”, Kiai Wahid Hasyim memberikan tanggapan, “Suatu golongan seperti NU ini merupakan kelompok kekuatan yang membahayakan kedudukan mereka, satu ketika bisa menjadi ancaman buat Belanda. Untuk menghancurkan NU begitu saja tentu tidak mungkin. Van der Plas tahu benar filsafat orang Indonesia terutama orang Jawa, dicerminkan oleh watak hurufnya, ho-no-co-ro-ko. Huruf Jawa itu selalu hidup mandiri. Di layar tetap hidup, di wulu tetap hidup, di cakra tetap hidup, bahkan di taling dan di tarung tetap  juga hidup. .. Tetapi .. Tetapi kallau di pangku ... mati..!”
“Oh ya, bagaimana ceritanya Van der Plas menemui Hadlratusysyekh, Gus,” Kiai Mahfudz Shiddiq mengajukan pertanyaan kepada KH.A. Wahid Hasyim. ...
“Hadlratusysyekh tengah mengajar tatkala Bupati Jombang memberitahukan bahwa dalam kurun setengah jam Gubernur Van der Plas akan mengunjungi Tebuireng, khusus untuk bertatap-muka dengan Hadlratusysyekh.” Kiai A. Wahid Hasyim memulai ceritanya. “Setelah pembicaraan basa-basi tentang kabar keselamatan, lalu sampailah kepada tujuan kedatangannya. Kata van der Plas bahwa pemerintah ingin menganugerahkan sebuah bintang penghormatan kepada  Hadlratusysyekh berhubung dengan jasa-jasanya selaku guru agama Islam”.
“al-Harbu khid’ah,” sela Kiai Shiddiq, yang  artinya, perang selamanya pertarungan tipu muslihat.
“Saya yang duduk bersama Hadlratusysyekh keluar keringat juga mendengar bujukan van der Plas yang tidak disangka-sangka. Tapi alhamdulillah, Hadlratusysyekh paham juga akan tujuan kedatangan van der Plas itu. Dengan kata-kata halus dan sikap ramah, ditolaknya pemberian bintang jasa itu. Alasan beliau bahwa bintang jasa itu akan membuat dirinya takabur dan ‘ujub. Beliau merasa malu sekali kepada Allah SWT karena menyadari keekcilan dan kedlaifannya. Tentang pekerjaan mengajar, itu memang sudah menjadi kewajiban tiap orang alim dan tiap ulama, sebab itu tidak layak dianggap berjasa.... Akhirnya van der Plas berpamitan dan pulang dengan tangan hampa.”
Belakangan, kalangan santri pun tahu, ternyata ada juga anak-anak Indonesia kader Belanda yang menerima pinangan van der Plas itu, bahkan menerima imbalan ribuan gulden. Seperti Amir Syarifuddin dan kader-kader sosial-modernisnya, yang kemudian bersekutu dengan Sjahrir, pendiri PSI. Lihat Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (Jakarta & Singapore: Equinox Publishing, 2006 [1972]). Kita juga baca dari cerita Rosihan Anwar dalam Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi: “Di antara perwira-perwira Inggris yang pertama datang ke Jakarta terdapat orang-orang Belanda. Ch. O. Van der Plas , pernah jadi Gubernur Jawa Timur, pejabat Belanda yang pintar mengadu domba orang Indonesia, tahu-tahu sudah ada di Jakarta. Ia mengadakan pertemuan diam-diam dengan beberapa cendekiawan Indonesia”. Rosihan Anwar, Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), hal. 26. Tentang van der Plas, lihat William Frederick, “The Man Who Knew Too Much: Ch. O. van der Plas and the Future of Indonesia, 1927–1950”, in Hans Antlöv and Stein Tønneson (editor), Imperial Policy and South East Asian Nationalism (Chippenham: Curzon, 1995).

[3] Lihat Achdiat K. Mihardja (pengumpul), Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), cet. 4.

[4] Paul W. van der Veur (ed.), Kenang-kenangan Dokter Soetomo (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 35-36.

[5] Kenji Tsuchiya, Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (terj. H.B. Jassin) (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal. 153-4. Lihat juga Taman Siswa 30 Tahun 1922-1952 (Yogyakarta: Madjelis Luhur Taman Siswa, 1952).

[6] Seperti pengalaman aktifis NU di Medan era 1930-an seperti dinarasikan oleh Daoed Joesoef dalam bukunya, Emak (Jakarta: Aksara Karunia, 2003), yang menceritakan kembali pandangan-pandangan keagamaan-sosial-politik ibunya, ayahnya, dan juga pamannya, yang merupakan aktifis NU di Medan (yang semuanya berguru kepada tokoh dan pengurus NU Medan, Syekh Muhammad Zen), dan juga aktifis pergerakan dan aktif di Taman Siswa, sehingga pamannya, Pak Leman, sempat dbuang oleh kolonialis Belanda ke Boven Digul, Papua.

[7] Seperti yang dtunjukkan oleh seorang ulama dayah terkemuka di Aceh, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga (wafat 1968), pengasuh Dayah Tanjungan Samalanga, Aceh. Dayah ini sudah dirintis sejak masa Sultan Iskandar Muda di abad 17. Pada 1933 teungku nasionalis ini mendirikan Perguruan Taman Siswa di Jeunien, Aceh Utara, tempat kelahirannya. Hubungan antara kehidupan dayah dengan kalangan rakyat dipupuk dalam sekolah ini. Pada usia 18 tahun telah menjadi anggota SI cabang Samalanga. Dalam penggerebekan terhadap para pelaku pemberontakan terhadap Belanda di tahun 1920-an, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga sempat lolos dan berangkat ke Mekkah menuntut ilmu pada 1926. Sekembalinya ke Tanah Air, ia langsung membentuk wadah pengkaderan nasionalisme melalui pendidikan kebangsaan, mengasuh dayah atau pesantren, mendirikan madrasah dan juga sekolah Taman Siswa. Lihat A. Hasjmy, Ulama Aceh: Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 155-66.

[8] Lihat misalnya tulisan Robert W. Hefner, “Islamizing Java?: Religion and Politics in Rural East Java”. The Journal of Asian Studies, vol. 46, No. 3, Agustus 1987, hal. 533-54, yang menunjukkan keterkaitan proyek pembangunan Orde Baru tentang pembukaan lahan untuk industrialisasi dengan upaya untuk mematikan kepercayaan masyarakat terhadap tempat-tempat keramat dengan cara memelihara kelompok-kelompok Islam puritan-modernis-reformis yang akan mendakwahkan kepada masyarakat tentang praktik-prakitk yang syirik, takhayul dan khurafat di hutan, gnung, pantai, sehingga sumebr-sumber kekayaan alam dan ekonomi tersebut dengan mudah menjadi lahan garapan dan eksploitasi oleh para kapitlais yang serakah, sehingga hal seperti ini, yang diperhalus dengan bahasa seksi “isu lingkungan hidup”, “pemanasan global” atau “go green”.

[9] Lihat Peter carey, “Waiting for the ‘Just King’: The Agrarian World of South-Central Java from Giyanti (1755) to the Java War (1825-30)”. Modern Asian Studies, vol. 20, no. 1, tahun 1986, hal.  59-137.

[10] Pangeran Diponegoro pernah menuturkan, “Untuk meniru apa yang dilakukan oleh para ulama, kami kerapkali pergi ke Pasar Gede, Imogiri (Jimatan), Guwa Langse dan Selarong. Apabila ke Pasar Gede dan Imogiri, kami biasa berjalan kaki. Tetapi apabila ke Guwa Langse dan Selarong, kami naik kuda dengan banyak pengiring. Di kedua tempat terakhir ini, kami sering menolong petani menuai atau menanam padi. Memang semestinya para pembesar menyenangkan hati rakyat kecil”. Lihat Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka & Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), vol. 4, edisi 2, hal. 169.

[11] Nina Herlina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: LP3ES, 2004); dan, Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998).

[12] Sukarno misalnya mengenal seorang ulama besar Priangan, Kiai Sukanegara, dari Cianjur selatan, berkat anjuran RAA Wiranatakusumah, orang menak yang santri, yang pernah menjabat sebagai Bupati Cianjur dan kemudian Bupati Bandung. Lihat R. Soeharto, Saksi Sejarah: Mengikuti Perjuangan Dwi-Tunggal (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 14; dan, AA. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1989).

[13] Ini yang disinyalir oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu skema divide-et-impera favorit penjajah terhadap segenap potensi persatuan bangsa Indonesia, seperti dikatakannya: “Di jaman Belanda kita dipecah-pecah secara sistematis, hingga daerah yang satu dijauhkan dari daerah yang lain. Usaha memajukan kebudayaan oleh Belanda itu sungguhpun sudah diadakan, namun nampak jelaslah maksudnya, yaitu untuk ‘memurnikan’ kebudayaan-kebudayaan daerah-daerah masing-masing. Untuk itu didirikan Java-Instituut, di samping ada Batak-Instituut, ada pula Bali Instituut dan lain-lain.” Ki Hadjar Dewantara, Kebudayaan, Buku 2, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1994), hal. 98.

[14] Dalam sejarahnya tradisi kesastraan yang muncul dan dipelihara pesantren ditulis menggunakan huruf Arab pegon, dengan beragam bahasa Nusantara. Kandungannya bermacam-macam, mulai dari cerita roman, ada yang mengandung sejarah dan realitas sosial, hingga cerita-cerita yang dipenuhi tema-tema moralitas dan kepahlawanan. Meski beragam, tapi mengandung atau melukiskan kenyataan sosial, bahkan terkesan realis, yang melibatkan tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya. Tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan. Pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra. Pujangga-pujangga kraton, seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat dan babad. Sumber inspirasi mereka bukan hanya kitab kuning, melainkan juga pengalaman sejarah bangsa ini sendiri sebagaimana dialami oleh kerajaan Hindu, Budha dan zaman Wali Sanga. Yasadipura I (wafat 1801) misalnya adalah pujangga istana dari Kraton Surakarta. Ia pernah nyantri di sebuah pesantren di Kedu-Bagelen. Pesantren ini saat itu dikenal mengajarkan kesastraan Jawa maupun Arab. Dalam satu karya, Serat Cabolek, Yasadipura menggambarkan seorang ulama dari Kudus, pesisir Jawa Tengah, yang menunjukkan keahliannya dalam membaca dan menafsirkan naskah-naskah Jawa kuno di hadapan para priyayi Kraton Surakarta. Cakupan bacaannya sedemikian luas, dari naskah-naskah Jawa Kuno, Serat Dewaruci hingga Suluk Malang Sumirang.
Karya-karya pesantren berkisar pada cerita-cerita rakyat, dan juga cerita-cerita Timur Tengah dan India yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan lokal Islam Nusantara. Seperti Tjarita Ibrahim (1859), Tjarita Nurulqamar, dan Hibat (1881) ditulis dalam bahasa Sunda dengan aksara Arab dalam bentuk puisi. Karya-karya Raden Mohammad Moesa (kepala penghulu Garut dan pernah nyantri di satu pesantren di Purwakarta) berjumlah 17 naskah berbahsa Sunda pada 1860-an. Yang terkenal di antaranya adalah Wawacan Panji Wulung. Bahan-bahannya diperoleh dari pusat-pusat pesantren di sekitar daerah Priangan, Jawa Barat. Demikian pula karya-karya Penghulu Haji Hassan Musthafa (1852-1930). Dari sekitar 49 buah karyanya, kebanyakan diperoleh dari tradisi kesastraan pesantren. Ciri khas kesastraan pengulu-kepala ini ada pada bentuk-bentuk bahasa yang berbentuk puisi, tapi penuh lelucon, plastis tapi orisinil. Selain itu, ia juga mengintegrasikan khazanah fiqih dan sufisme pesantren ke dalam adat kebiasaan orang Sunda dalam bentuk simbol-simbol pemaknaan yang akrab. Pada karya modern yang sudah menggunakan huruf Latin, ada Pahlawan ti Pesantren (Pahlawan dari Pesantren). Ini adalah sebuah roman dalam bahasa Sunda, yang menceritakan perjuangan para santri menghadapi kolonialisme Belanda karya Ki Umbara (Wiredja Ranusulaksana) (1914-2004) dan S.A. Hikmat (Soeboer Abdoerrachman) (1918-1971).
Dalam bahasa Jawa, Serat Jatiswara, Serat Centhini, dan Serat Cabolek adalah contoh-contoh karya-karya pesantren dari wilayah pesisir utara Jawa. Ini adalah teks-teks sastra kaum santri sejak abad 17 dan 18, yang diproduksi di lingkungan kaum santri dan beredar di kalangan kaum santri, terutama di lingkungan masyarakat pesisir, yang kemudian dibakukan menjadi “milik kraton” oleh Yasadipura II pada pertengahan abad 19. Kisah perjalanan kaum santri pengembara (santri lelana) menuntut ilmu di berbagai pondok dan tempat keramat mendominasi karya-karya ini. Kekayaan tradisi keillmuan pesantren juga ditunjukkan dalam Hikayat Pocut Muhammad dan Hikayat Indrapura dalam beberapa versi lokalnya.
Sastra pesantren juga menunjukkan satu fungsi sosial. Serat Jatiswara misalnya dalam versi yang beredar dari abad 18 di pesisir utara Jawa dan Lombok, menunjukkan satu fungsi sosial bagi komunitasnya. Para pemilik manuskrip kesastraan ini yang kebanyakan berpendidikan pesantren, menegaskan kepemilikannya dengan menambahkan kolofon, catatan dan tanda tangan pada dua halaman terakhir. Di daerah pesisir dan dalam suasana pesantren yang relatif demokratis, pembuatan buku dan penyalinan teks nampaknya lebih merupakan urusan orang-orang kecil dan masyarakat bawah, ketimbang dalam kalangan kraton Jawa Tengah. Dalam lingkungan kraton, manuskrip hanya menjadi miliki segelintir orang.
Fungsi sosial sastra pesantren ini ditunjukkan dari cara kaum santri melakukan penggubahan, tulis-ulang, atau penambahan dan penyisipan, untuk disesuaikan dengan cita-cita sosial-keagamaan kaum pesantren. Seperti dalam Hikayat Malem Diwa, suatu hikayat berbahasa Melayu dengan huruf Arab pegon yang sepenuhnya hampir diwarnai oleh kosmologi Hindu. Dalam naskah tersebut disisipkan satu predikat “guru ngaji di meunasah (semacam langgar di Aceh)” kepada tokoh protagonis. Meski sangat kecil, sisipan tersebut mengandung arti yang sangat signifikan. Karena keseluruhan konstruksi bercerita berubah total, dimana pesantren memainkan peran baru dalam memberi spirit dan corak kesastraan lama. Meski dalam karya tersebut sang tokoh tidak disebut terang-terangan memeluk agama Islam.
Demikian pula cerita epos I La Galigo, dengan tokoh protagonisnya, Sawerigading. Karya sastra berbahasa Bugis ini sepenuhnya berasal dari masa sebelum Islam. Namun, disisipkan satu versi cerita – lisan dan tertulis -- dimana Sawerigading nyantri ke Mekkah, naik haji, bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dan kembali ke kampungnya mendirikan “masigi” (mesjid plus pondok). Versi “Sawerigading santri” baik lisan maupun tulisan ini masih terpelihara di beberapa pesantren Bugis-Makassar.
Selain berfungsi pedagogis, yakni sebagai pengajaran etika atau akhlak, sastra pesantren juga mengintegrasikan tradisi ke-syuyukhiyah-an (jejer pandita) sebagai  bagian penting dari lakon dalam karya-karya sastra klasik. Seperti penulisan kembali Hikayat Iskandar Dzulqarnain dari Timur Tengah ke dalam berbagai versi bahasa Nusantara, Melayu, Jawa, dan bahasa-bahasa lokal Nusantara lainnya, dengan memasukkan figur Nabi Khaidir sebagai guru. Ia membimbing, mengarahkan, dan membawa kesuksesan bagi Iskandar yang juga ditunjukkan taat kepada gurunya tersebut. Berbagai versi hikayat ini, dengan penekanan pada relasi guru-santri ini, muncul misalnya dalam Sejarah Melayu, Hikayat Aceh, dan Tambo Minangkabau (dalam satu versi disalin oleh Pakih Sagir, ulama fiqih Syafi’i asal Minangkabau dari akhir abad 18).
Sastra pesantren juga mengungkapkan diri dalam karya-karya etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan yang merekam tradisi-tradisi masyarakat setempat dalam bentuk sastra. Seperti dalam Poerwa Tjarita Bali, ditulis pada 1875 dalam bahasa Jawa, oleh seorang santri di Pondok Sepanjang, Malang, bernama Raden Sasrawijaya, asal Yogyakarta. Pengetahuan tentang “kota-kota, adat-istiadat pembesar dan orang kebanyakan yang tinggal di desa-desa” ini kemudian dituangkan sebagai bagian dari kegiatan bersastra (maguru ing sastra) orang-orang pesantren.
Sastra pesantren juga berkontribusi dalam memperkaya bahasa-bahasa Nusantara dengan khazanah kosa-kata dan peristilahan berkosmologi pesantren. Bahkan, kekayaan tersebut membantu penerjemahan karya-karya sastra dari luar. Penerjemah-penerjemah Tionghoa misalnya menggunakan kosa-kata “santri”, “ngaji”, “koran”, “langgar”, dst, untuk menerjemahkan satu karya sastra klasik Cina Daratan, Serat Ang Dok, ke dalam bahasa Jawa dari abad 19. Demikian pula di awal abad 20. Perhatikan bait terakhir Boekoe Sair Tiong Hwa Hwe Kwan koetika Boekanja Passar Derma (1905), campuran bahasa Melayu, Hokian, dan juga bahasa khas pesantren: Sekalian Hwe Kwan poenja alamat/Terpandang Kwi-khi sebagi djimat/Nabi Kong Hoe-tjoe jang kita hormat/Allah poedjiken dengan slamat. Terasa kuat sekali dalam syair ini pengaruh kesastraan pesantren – bahasa plus pandangan dunia mereka – dalam kesadaran orang-orang Tionghoa yang waktu itu sedang menyambut era kebangkitan kebangsaan mereka.
Kini muncul nama-nama penulis dan sastrawan asal pesantren yang sangat kuat menonjolkan peradaban dan kejiwaan kaum santri, seperti pada karya-karya Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor atau karya-karya novelis Ahmad Tohari. Meski belakangan muncul Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) yang memperkaya gelanggang puisi Indonesia.
Namun, di tengah serbuan sastra Indonesia modern dan kekuatan sastra koran yang didominasi selera estetika sastra perkotaan, karya-karya kaum santri masih marjinal. Keberadaan mereka, terutama penulis-penulis muda, menjadi resmi setelah mendapatkan legitimasi pula baik dari segi tema, alur cerita hingga bahasa yang digunakan dalam arus sastra kanonik. Karya-karya Abidah el-Khaliqiy misalnya, meski menampilkan latar pesantren, tapi masih kuat dorongan ke arah tema utama, individualisasi maupun modernisasi kosmologi pesantren.
Kreativitas jadi menurun karena bergesernya di satu sisi fungsi dan peran pesantren, serta situasi yang melingkupinya. Sementara di sisi lain, menjadi korban diskriminasi oleh standar-standar umum kesusastraan baik standar tema dan bahasa. Maka tentu saja pengembangan sastra pesantren setidaknya harus mampu melepaskan diri dari belenggu tersebut. Di sisi lain kehadiran sastra pesantren sangat dibutuhkan, seperti yang diperankan di masa lalu, untuk memberikan warna lain pada sastra dan seni budaya Indonesia pada umumnya, yang selama ini cenderung satu warna, satu alur dan satu selera, sehingga kelihatan monoton. Watak moral-religius sastra pesantren sangat dibutuhkan untuk memberikan spirit baru bagi bangsa ini untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran. Lihat T.E. Behrend, Serat Jatiswara (1995); Pardi, et. al., Sastra Jawa (1995); Ahmad Baso, “Sastra Pesantren: Antara Kanonisasi dan Islamisasi”. Naskah, 2007; Nancy K. Florida, Writing the Past, Inscribing the Future (1995); Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sawerigading (1985); Dédé Oetomo, “Serat Ang Dok: A Confucian Treatise in Javanese”. Archipel (vol. 34, 1987); Claudine Salmon, “Le Sjair de l‘’Association chinoise’ de Batavia (1905)”. Archipel (vol. 2, 1971).

[15] Tradisi imu-ilmu sosial kaum pesantren dimulai dari perspesi tentang karakter umum dari penjajah dan kaki-kaki tangannya. Buku-buku kaum santri, mulai dari Syekh Ahmad Chatib Minangkabau, guru hadlratussyekh KH Hasyim Asy'ari, berjudul Dlaw as-Siraj, syair dan hikayat-hikayat tentang Perang Sabil yang ditulis oleh ulama-ulama Aceh,  hingga buku KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren, dibuat satu bab tentang “Memetakan wajah-wajah Kaki Tangan Penjajah”. Di sana tidak akan Anda jumpai teori tentang kebudayaan besar berhadapan tradisi kecil, dikotomi kota-desa, soal buta huruf, soal rakyat miskin, atau tentang mentalitas konservatif dan tradional atau kebudayaan primitif orang-orang desa. Sebagaimana halnya tradisi ilmu-ilmu sosial Marxian dimulai dari persepsi tentang musuh mereka, kapitalisme (Marx memulainya dari perpsektif Hegelian tentang tesis-antitesis-sintesis), pergumulan orang-orang pesantren dengan penjajahan, dimulai dari konsolidasi tesis-nya,yakni dari tradisi pesantren. Dari tradisi ini, ilmu-ilmu sosial menginspirasi sebuah aksi, praksis, dua lapis. Lapis pertama, ideologi; lapis kedua, praksis-gerakan, sehingga lahirlah pesantren bergerak, seperti pengalaman sejumlah pesantren yang dekat dengan pabrik-pabrik gula di masa kolonial. Pergaulan dekat itu akan memunculkan ilmu orang-orang pesantren tentang ekonomi-politik, tentang pabrik gula, tentang logika kapitlaisme global, tentang perdagangan, tentang ketimpangan dalam ekonomi kolonial, tentang pengalaman kaum buruh yang etrlibat di dalam ekonomi kapitlaisme, tentang menyiasati cara bagaimana mengambil keuntungan material dari industri tersebut, tentang bagaimana melawan eksploitasi, hingga bagaimana melakukan revolusi dalam kepemilikan industri-industri tersebut.

[16] Lihat KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren; dan, Sejarah Kebangkitan Dunia Islam.

[17] Ketika pemberontakan DI/TII meletus, Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba dengan ulama-ulama Aceh lainnya yang berhaluan Aswaja, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (guru Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba sendiri), Teungku Syekh Haji Muhammad Wali al-Khalidy (dikenal dengan laqab Syekh Muda Wali al-Khalidy), menyebut pemberontakan tersebut sebagai “bughah mazmumah” (pemberontakan tercela). Menurut mereka, orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tersebut dianggap menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya. Sebab mereka memberontak terhadap pemerintahan Republik yang sah, dan pemimpinnya, waktu itu Sukarno, adalah seorang muslim. Pandangan ini sesuai dengan apa yang beliau tulis dalam bukunya, Hakikat Islam, bahwa politik atau siyasah adalah semacam daya helah atau strategi yang diusahakan untuk mencapai sesuatu tujuan, yaitu kemaslahatan negara. Karena pemberontakan tersebut, lanjut sang teungku ini, dianggap mengganggu kemaslahatan bernegara, maka dianggap tercela atau mazmumah. Lihat Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba, Hakikat Islam (1980); Tim Penulis IAIN Ar-Raniry, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh (2004); dan, A. Hasjmi, Ulama Aceh (1997).

[18] Contoh akal-akalan itu bisa kita lihat misalnya pada edisi Majalah Tempo tentang takoh-tokoh Islam di awal kemerdekaan, yang memasukkan empat tokoh sekaligus dalam seri terbitan mereka tahun ini dalam bentuk buku, dimana ketiganya adalah mantan pemberontak terhadap NKRI (Natsir, Kartosuwiryo dan Daud Beureueh) bersama dengan tokoh NU KH Wahid Hasyim! Sebuah ironi dalam logika majalah ini yang menempatkan pembela NKRI dengan para perongrong NKRI!


.

PALING DIMINATI

Back To Top