Oleh Gus Gopur
Kajian ini membahas hukum Syariah mengenai penggunaan emas dan perak untuk menghiasi properti, khususnya atap dan dinding rumah, berdasarkan pandangan para ulama mazhab Syafi'i.
1. Hukum Menghiasi Properti dengan Emas/Perak
| Status Polesan | Pekerjaan Awal (Mengecat/Memoles) | Membiarkan/Mempertahankan (Setelah Dibeli) | Keterangan |
| Tipis (Tidak bisa dikerok/dicairkan) | Haram secara mutlak. | Tidak Haram (jika membelinya dalam kondisi sudah terpoles). | Keharaman hanya berlaku pada perbuatan pertama (yaitu mengecat/memolesnya). |
| Tebal (Bisa dikerok/dicairkan) | Haram secara mutlak. | Haram (wajib merusak/melepas lapisan tersebut). | Wajib menghilangkan lapisan emas/perak karena dianggap sebagai harta yang penggunaannya dilarang. |
| Ragu-Ragu | Haram (berdasarkan kehati-hatian). | Haram (berdasarkan kehati-hatian, karena hukumnya lebih ketat daripada kasus perak pada wadah). | Hukum asal (al-ashl) adalah haram jika ada keraguan mengenai ketebalannya. |
Keharaman Mutlak: Keharaman ini tidak terbatas pada atap dan dinding saja, tetapi mencakup menghiasi bagian rumah manapun dengan emas atau perak, meskipun seseorang sangat kaya raya.
Definisi Tebal/Tipis: Kriteria "tebal" adalah lapisan emas/perak tersebut bisa dikerok atau dikumpulkan dan dicairkan menjadi harta benda (dengan cara dipanggang di api atau dilunturkan dengan cairan). Jika tidak bisa, itu dianggap "tipis."
2. Hukum Membiarkan (Kasus Beli Rumah Mewah)
Jika Anda membeli rumah mewah yang sudah terpoles emas/perak:
Jika lapisan itu tebal, Anda wajib merusaknya (mengerok/melepasnya) karena haram membiarkannya.
Jika lapisan itu tipis, Anda tidak haram membiarkannya tetap ada (hanya pekerjaan memolesnya saja yang haram).
3. Adab dan Etika dalam Pengajaran
Pengajar (Guru) sebaiknya memperhatikan etika ketika memberikan contoh dalam mengajarkan hukum fikih:
Nisbatkan Kebaikan: Pengajar harus menisbatkan hal-hal yang baik atau positif kepada jamaah, dengan harapan menjadi doa bagi mereka. Contohnya menisbatkan kekayaan atau kemampuan membeli rumah mewah (seperti dalam contoh hukum di atas). Jamaah dianjurkan mengamini doa tersebut.
Hindari Nisbat Buruk: Pengajar hendaknya tidak menisbatkan hal-hal buruk atau musibah kepada jamaah.
Contoh buruk: "Seandainya Anda kecelakaan dan tangan Anda patah, begini cara wudhu orang yang diperban..."
Meskipun tujuan mengajarkan ilmu itu baik (yaitu hukum wudhu orang sakit), menisbatkan jamaah dengan kecelakaan/patah tulang dianggap tidak beretika (kurang ajar) karena dikhawatirkan menjadi doa yang buruk.
Hukum Tambahan (Dari Matan Al-Iqna')
Kajian ini juga mencantumkan beberapa hukum terkait perhiasan selain emas/perak pada wadah:
Benda Berharga (Selain Emas/Perak): Halal menggunakan dan memiliki benda berharga seperti Yakut, Zamrud, Kristal, Karang, Akik, atau wewangian mewah seperti Kesturi, Ambar, dan Gaharu. Ini karena tidak ada larangan Syariah, dan dianggap tidak mengandung makna Israf (pemborosan ekstrem) atau Khuyala' (kesombongan).
Menambal Wadah dengan Perak:
Tambalan Besar (untuk hiasan): Haram menggunakan dan memilikinya.
Tambalan Kecil (sebatas kebutuhan): Halal, bahkan tidak makruh (berdasarkan hadis Nabi ﷺ menambal gelasnya dengan perak).
Jika ada keraguan mengenai ukuran tambalan (besar atau kecil), hukum asalnya adalah boleh (al-ibahah).
Menambal Wadah dengan Emas: Mutlak Haram, baik untuk kebutuhan atau hiasan, karena kesombongan (Khuyala') dalam emas lebih kuat daripada perak.