Bismillahirrohmaanirrohiim

Inilah Syarat Tasyarruf (Meniru Kemuliaan) Leluhur Kita

Gus Baha dan Kiai Said Gayeng Bincang Syarat Tasyarruf (Meniru Kemuliaan) Leluhur Damaran

Oleh M Abdullah Badri

DALAM Silaturrahim Halal Bihalal Napaktilas KH. Said Aqiel Siradj ke Pesantren Leluhur: Damaran 78 Kudus, bersama Gus Baha’ dan para santri, Ahad malam (7 Juli 2019), terjadi dialog beberapa menit, yang kemudian penulis transkrip dalam bentuk teks.

Di bawah ini adalah transkrip sambutan Gus Baha’ yang hanya berdurasi 5 menitan, sebelum Kiai Said mendapatkan kesempatan dari Gus Baha’ untuk memberi ular-ular (pesan-pesan) kepada para santri Damaran selama 25an menit.

*Gus Baha:*
Ini (kunjungan Kiai Said ke Damaran, pen) memang sebetulnya hal yang harus terjadi karena ini sowan mbahnya. Penting sekali saya utarakan. Kata Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, تعلموا أنسابكم تصلوا أرحامكم (belajarlah pada nasab-nasab kalian supaya kalian bisa nyambung silaturrahim). Nyambung silaturrahim ini penting sekali untuk mengetahui status keluarga dan tradisi keluarga.

Kata Imam Syafi'i, boleh تشرف بالأنساب (membanggakan nasab, pen), tapi tujuannya للتجنب عن مدائم الأخلاق. Boleh merasa ber-tasyarruf dengan nasab tapi tujuannya untuk menjauhkan diri dari mada'imil akhlak (akhlak tercela). Tentu termasuk mada'imil akhlak adalah kebodohan. Karena afsakhul-fawakhisy (أفشخ الفواخش/seburuk-buruknya kejelekan) sebetulnya adalah al-juhl (bodoh). Yang bisa menghilangkan kebodohan hanya ma'rifatullah dan itu ulama'-ulama' kita, guru-guru kita (memiliki hal itu, pen).

Alhamdulillah, beliau (Kiai Said) sudah melihat kitab-kitab khazanah buyut-buyutnya (di ndalem inti Damaran, pen). Saya tadi guyon: satu, ya menghormati buyut-buyut, dua, ta'allum supaya tidak humul (حمول/sombong) luhur, karena buyut-buyut kita sudah alim. Jadi ya (sebaiknya, pen) biasa-biasa saja.

Ini penting saya utarakan karena  ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِن بَعْضٍ/(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. (QS. Ali Imron: 34). Jadi kita memang boleh تشرف بالأنساب, asal tujuannya untuk للتجنب عن مدائم الأخلاق.

Banyak guru saya cerita, termasuk Mbah Maimoen Zubair, dulu Mbah Raden Asnawi itu murid kesayangan Syaikh Nawawi Banten, di Makkah. Bu Nyai paling muda (istri Mbah Nawawi, pen) dinikah, namanya Nyai Hamdanah. Mbah Moen sering cerita, Syaikh Nawawi itu kadung punya anak namanya Zuhriyyah, sehingga ketika Raden Asnawi menikah dengan Nyai Hamdanah, (dan) punya anak, dinamai Zuhri. Nah, Zuhri ini yang kemudian punya anak Minan, Ni'am dan seterusnya.

Link esai ini: http://bit.ly/2S3FE9W

Dan beliau nginduk nasab ke mbah-mbahnya saya dan mbah-mbahnya beliau (Kiai Said), yaitu Mbah Asnawi sepuh. Mbah Asnawi sepuh itu generasi keempat dari Mbah Mutamakkin. Kalau istrinya (Raden Nganten Salamah, pen), adalah generasi yang munasabah ke Mbah Sunan Kudus. Ini semuanya tidak ada littasyarruf bil-ansab, tapi semuanya ini karena Allah menunjukkan ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِن بَعْضٍ.

Ketika Allah menyifati para Nabi, kata Allah:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا

Artinya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih”. (QS. Maryam: 58).

Jadi menyebut dzurriyah itu boleh. Yang penting tidak untuk تَفَاخُر (berbangga diri) dan tidak untuk إِسـتِطَالة على المؤمنين (memperpanjang urusan atas orang-orang beriman, seperti menggunakan nama orangtua untuk kepentingan yang tidak dibenarkan, pen). Tapi kemudian kita-kita kok misalnya nasabnya tidak ketemu, insyaAllah kita ketemu di Nabi Adam as.

*Para santri:*
Hahaha...

Sudah cukup pakai yang umum وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا (dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih). Yang penting, kita punya tradisi إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا (.....apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis | QS. Surat Maryam, ayat 58 juga).

Sehingga kita merasa insyaAllah meneruskan tradisi buyut-buyut (yang) sebagian besar mereka itu hafal Al-Qur'an. Kita juga insyaAllah ikut menghafal. Kalau nggak hafal ya minimal menghafal.

*Kiai Said:*
Qulhu apal...!

*Gus Baha:*
Qulhu...Hahahaha.

Karena sekali nasab ini tidak terjaga, (maka tidak ada ukuran, pen) secara kualitas. Ketika Allah menghitung nasab, itu sebetulnya menjaga kualitas amal dan akidah. Bukan untuk tafakhur. Misalnya begini, kata Nabi Yusuf,

وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ

Artinya:
"Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub" (QS. Yusuf: 38).

Kita ikut tradisi leluhur kita. Tapi apa tradisi itu?

مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ

Artinya:
"Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah" (QS. Yusuf: 38).

Kita tidak akan melakukan syirik. Jadi (inilah cara yang benar, pen) menyebutkan nasab, tidak untuk tafâkhur tapi untuk menunjukkan kualitas tadi, (yakni) kualitas untuk tidak melakukan syirik. Tidak mungkin melakukan syirik.

Cara agar tidak mungkin kita melakukan syirik bagaimana? Kita bener-bener, عن علم و يقين و بصيرة أنه لاإله إلا الله (secara ilmu, keyakinan dan kemantapan hati, dengan sungguh-sunggu mengakui Lâ Ilâha IllaAllâh).

Dan itu yang memulai tradisi kita. Raden Asnawi punya tulisan banyak tentang Tauhid. Buyut-buyut saya, buyut-buyut Pak Said, (dan) macem-macem. Ini penting saya utarakan karena semua ini demi للتشرف بالأنساب tapi لشرف الأحوال, insyaAllah bukan تَفَاخُر.

Sekian, saya mohon Pak Said untuk memberi ular-ularan (pesan-pesan) sama anak-anak sini karena pondok buyut-buyut beliau dan saya mohon santri mendengarkan secara baik. [*badriologi.com*]

M Abdullah Badri,
Santri Damaran 78 Kudus


.

PALING DIMINATI

Back To Top