Oleh Muhammad Zulfa
Saya tidak heran jika Imam al-Ghazali menjadi tokoh yang sering dibicarakan para orientalis. Dari pengalaman mereka meneliti negeri-negeri Muslim, mereka menemukan masyarakat yang tertinggal dalam bidang sains, teknologi, dan peradaban material. Pada saat yang sama, mereka juga mendapati masyarakat tersebut begitu akrab dengan karya-karya al-Ghazali, terutama Ihya’ ‘Ulum al-Din dan Minhaj al-‘Abidin. Fakta ini, bagi mereka, menjadi dasar untuk menyusun sebuah premis: keterikatan umat Islam dengan al-Ghazali adalah penyebab kemunduran mereka.
Namun, kesimpulan ini jelas bermasalah. Terdapat setidaknya dua kekeliruan logis dan historis dalam klaim tersebut.
1. Kekeliruan Logis
Kesalahan pertama ialah menjadikan dalil iqtiran (kebersamaan) sebagai sebab-akibat. Bahwa dua hal hadir bersamaan tidak serta merta menandakan adanya hubungan kausalitas di antara keduanya. Misalnya, jika seseorang meninggal dunia pada saat terjadi gerhana bulan, tidak berarti kematiannya disebabkan oleh gerhana. Demikian pula, kedekatan umat dengan karya al-Ghazali pada masa kemunduran tidak otomatis berarti beliau adalah penyebab kemunduran itu.
2. Kekeliruan Historis
Kesalahan kedua ialah melakukan lompatan sejarah. Jika yang dimaksud dengan kemunduran adalah masa setelah al-Ghazali, maka bukti sejarah justru menunjukkan sebaliknya. Setelah wafatnya al-Ghazali, dunia Islam masih melahirkan para pemikir besar yang menguasai filsafat, kalam, dan sains sekaligus.
Fakhruddin al-Razi, seorang teolog, mufasir, sekaligus filosof yang karya-karyanya menjadi rujukan lintas disiplin, bahkan panggung filsafat dan kedokteran di abad itu di kuasai oleh madrasahnya yang sebelumnya dikuasai oleh madrasah Ibnu Sina.
Nasiruddin al-Tusi, selain dikenal sebagai filsuf dan mutakallim, juga saintis kelas dunia. Ia menulis Tajrid al-I‘ttiqad (teologi), al-Tadhkira fi‘Ilm al-Hay’a (astronomi), dan al-Akhlaq al-Nasiriyyah (etika). Di bawah perlindungan Hulagu Khan, ia mendirikan observatorium Maragha yang menjadi pusat riset astronomi terdepan pada masanya dan memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, termasuk yang membantu Tusi adalah Al-Katiby, Qutb Ar-Razi.
Saifuddin al-Amidi,ahli usul fikih, filsafat, dan kalam yang karya-karyanya dipelajari hingga kini dan sederajat dengan Ar-Razi dalam usul dalm filsafat.
Tokoh-tokoh lain seperti al-Kalanbawi di Turki, al-Jabarti di Mesir, dan al-Abhari di wilayah Ajam juga menunjukkan integrasi antara ilmu agama, filsafat, dan sains.
Dengan demikian, sulit diterima jika al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi kemunduran umat. Sebab pada era setelahnya, justru muncul kebangkitan intelektual yang luas, dengan pengaruh al-Ghazali tetap kuat dalam berbagai bidang keilmuan.
3. Faktor Kemunduran Nyata
Jika kita melihat lebih jauh, kemunduran besar umat Islam justru terjadi pada masa pasca-era kolonial. Penyebabnya kompleks dan mayoritas berasal dari faktor eksternal: penjajahan, penjarahan sumber daya, dominasi politik, serta penetrasi budaya asing. Menyederhanakan masalah itu hanya pada sosok al-Ghazali bukan hanya reduksionis, tetapi juga bertolak belakang dengan bukti sejarah.