Bismillahirrohmaanirrohiim

JANGAN MAU MENERIMA BANTUAN MERTUA


Oleh: Jum’an Basalim

Slogan provokatif itu bukanlah pendirian saya. Ketika rekan saya yang baru menikah menolak tinggal dirumah yang disediakan oleh mertua, saya menyalahkan sikapnya. Jangan angkuh dan jangan bodoh. Bantuan itu wajar dan terpuji sebagai tanda peduli dan penghargaan bagi seorang yang akan melindungi anak gadisnya dan memberikan seorang cucu bagi mereka. Lagipula entah kapan ia sanggup membeli rumah sendiri. Dengan menerima bantuan itu, ia bisa mencurahkan tenaga dan pikirannya mengejar target cita-citanya yang lain. Tetapi teman saya bersikukuh menolak dan memilih untuk tinggal dirumah kontrakan. Ia tidak mau mertuanya kelak mencampuri urusan rumah tangganya, apalagi kalau ia harus tunduk pada kemauan-kemauan istrinya mentang-mentang ia tinggal dirumah pemberian mereka. Dia sadar bahwa pemberian bantuan itu akan menyebabkan ketergantungan dan melemahkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Lebihcelaka lagi kalau terjadi hal yang tidak diharapkan seperti perceraian misalnya, dialah yang terpaksa hengkang dari rumah itu bukan istrinya. Alangkah amat malunya! Siapa tahu itulah tujuan dibalik bantuan itu, agar istrinya bisa meneriakkan umpatan “angkat kaki kau dari sini” bila terjadi petengkaran. Ah..itu khayalan sinis dan penuh prasangka.  Tetapi teman saya tetap berpendirian: jangan pernah mau terima bantuan dari mertua!

Dia bukan satu-satunya pemuja kebebasan dan harga diri yang mengejar kepuasan dan anti ketergantungan. Banyak orang yang berpendirian begitu dalam kehidupan mereka. Mereka adalah para pemberani yang memilih membanting tulang berjuang sendiri demi kepuasan dan menghindari beban hutang budi dibelakang hari. Seperti kata peribahasa berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Tahukah anda mengapa mereka melawan arus menentang logika dengan memilih jalan yang berliku dan mendaki,  menolak jalan datar yang langsung ke tujuan? Bukankah mereka “mencari masalah”? Apakah masalah bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan? Jangan menduga tidak. Memang bisa. Ada yang berkata, masalah adalah peluang yang menyamar. Problems are opportunities in disguise.

Dalam penelitian psikologi sesuatu yang sekilas kedengaran bertentangan sering kali terbukti merupakan kebenaran belaka. Orang-orang yang tidak pernah menghadapi kesulitan tidak pernah berkesempatan merasakan bagian penting dari kebahagiaan; yaitu menghadapi dan menaklukkan tantangan. Kata Gerald Huther peneliti otak dari Jerman, menaklukkan tantangan manciptakan kebahagiaan, karena rasa bahagia itu selalu dihasilkan ketika pergolakan dan rangsangan dalam otak berubah menjadi tenang dan selaras. Rasa menaklukkan tantangan dengan kekuatan sendiri sangatlah penting. Kata Huther rasa bahagia yang paling intens adalah ketika seorang merasakan potensi dari tindakannya sendiri. Tentu kita menghargai kalau orang datang menolong, tetapi ketika kita mampu menanganinya sendiri, efek kebahagiannya jauh lebih besar dal lebih lama.

Ketika kita menangani masalah dan berkonsentrsai pada hal yang spesifik otak kita mengluarkan hormon dophamine . Ini saja sudah menciptakan rasa menyenangkan. Harapan bahwa ada kemungkinan berhasil dalam usaha kita, merangsang tubuh kita mengeluarkan sintesa opioid yang berperan lebih mengintensifkan emosi-emosi positif. Begitu kita benar-benar berhasil mengatasi masalah, kemenangan itu dibarengi oleh rasa bahagia yang benar-benar intensif dan berterusan. Begitu kata Gerald Huther. Puncak kepuasan dari hasil perjuangan sendiri..........tanpa bantuan mertua! 


.

PALING DIMINATI

Back To Top