Bismillahirrohmaanirrohiim

Langit adalah kiblat doa, Bukan tempat Allah SWT

Sebagian orang yang mengaku beragama Islam dari kalangan Musyabbihah berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit, pernyataan mereka ini sangat tidak rasional. Lebih mengherankan lagi, pada saat yang sama mereka juga berkeyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Ini artinya mereka menetapkan Allah pada dua tempat. Padahal perbandingan antara besarnya langit dengan besarnya arsy tidak ubahnya seperti setetes air di banding lautan yang sangat luas, atau dalam perbandingan keduanya bahwa arsy laksana padang yang sangat luas sementara langit yang tujuh lapis langit dan bumi hanyalah sebesar kerikil yang sangat kecil saja.

Arsy dan langit adalah makhluk Allah. Dengan demikian Allah tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya sendiri. Kemudian langit adalah juga tempat para Malaikat, dan beberapa orang Nabi Allah. Lalu di atas langit ke tujuh terdapat surga, al-Baitul Ma’mur, Air, al-Kursyy, al-Lauh al-Mahfuzh (menurut sebagian pendapat ulama), al-Qalam al-A’la, dan makhluk lainnya. Lalu di atas itu semua terdapat arsy yang merupakan langit-langit surga. Kemudian di atas arsy terdapat kitab yang bertuliskan “Inna Rahmatî Sabaqat Ghadlabî”, dan al-Lauh al-Mahfuzh menurut pendapat sebagian ulama juga terletak di atas arsy.

Dari langit turun rizki-rizki Allah bagi para makhluk-Nya yang ada di bumi, oleh karena langit adalah tempat yang diberkahi dan penuh dengan rahmat Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah:

وَفِي السَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَاتُوعَدُونَ (الذاريات: 22)

“Di langit terdapat rikzi kalian dan segala apa yang dijanjikan bagi kalian” (QS. Adz-zariyat: 22).

Karena itu saat kita berdoa dengan menghadapkan telapak tangan ke arah langit adalah karena langit sebagai kiblat dalam berdoa, bukan karena langit sebagai tempat bagi Allah. Seperti halnya saat kita shalat menghadapkan tubuh kita ke arah ka’bah, bukan berarti bahwa Allah berada di dalam ka’bah, tetapi karena ka’bah adalah kiblat kita dalam ibadah shalat.

Berikut ini kita kutip beberapa pendapat ulama Ahlussunnah dalam penjelasan bahwa langit adalah kiblat doa.


  1. Al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi; Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah, dalam salah satu karyanya berjudul Kitâb al-Tauhîd menuliskan sebagai berikut:

    “Adapun menghadapkan telapak tangan ke arah langit dalam berdoa adalah perintah ibadah. Dan Allah memerintah para hamba untuk beribadah kepada-Nya dengan jalan apapun yang Dia kehendaki, juga memerintah mereka untuk menghadap ke arah manapun yang Dia kehendaki. Jika seseorang berprasangka bahwa Allah di arah atas dengan alasan karena seseorang saat berdoa menghadapkan wajah dan tangannya ke arah atas, maka orang semacam ini tidak berbeda dengan kesesatan orang yang berprasangka bahwa Allah berada di arah bawah dengan alasan karena seseorang yang sedang sujud menghadapkan wajahnya ke arah bawah lebih dekat kepada Allah. Orang-orang semacam itu sama sesatnya dengan yang berkeyakinan bahwa Allah di berbagai penjuru; di timur atau di barat sesuai seseorang menghadap di dalam shalatnya. Juga sama sesatnya dengan yang berkeyakinan Allah di Mekah karena Dia dituju dalam ibadah haji” (Kitâb al-Tauhîd, h. 75-76).


  2. Al-Imâm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H) dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn menuliskan sebagai berikut:

    “Adapun mengangkat tangan ketika berdoa kepada Allah dengan menghadapkan telapak tangan tersebut ke arah langit adalah karena arah langit kiblat dalam doa. Dalam pada ini terdapat penjelasan bahwa Allah yang kita minta dalam doa tersebut adalah Yang Maha Pemiliki sifat yang agung, Yang maha mulia dan maha perkasa. Karena Allah atas setiap segala sesuatu maha menundukan dan maha menguasai” (Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, j. 1, h. 128).


  3. Al-Imâm al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam menjelaskan perkataan al-Imâm al-Ghazali di atas dalam karya fenomenalnya berjudul Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn menuliskan:

    “Jika dikatakan bahwa Allah ada tanpa arah, maka apakah makna mengangkat telapak tangan ke arah langit ketika berdoa? Jawab: Terdapat dua segi dalam hal ini sebagaimana dituturkan oleh al-Thurthusi.

    Pertama: Bahwa hal tersebut untuk tujuan ibadah. Seperti halnya menghadap ke arah ka’bah dalam shalat, atau meletakan kening di atas bumi saat sujud, padahal Allah Maha Suci dari bertempat di dalam ka’bah, juga Maha Suci dari bertempat di tempat sujud. Dengan demikian langit adalah kiblat dalam berdoa.

    Kedua: Bahwa langit adalah tempat darinya turun rizki, wahyu, rahmat dan berkah. Artinya dari langit turun hujan yang dengannya bumi mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Langit juga tempat yang agung bagi para Malaikat (al-Mala’ al-A’lâ). Segala ketentuan yang Allah tentukan disampaikannya kepada para Malaikat, lalu kemudian para Malaikat tersebut menyampaikannya kepada penduduk bumi. Demikian pula arah langit adalah tempat diangkatnya amalan-amalan yang saleh. Sebagaimana di langit tersebut terdapat beberapa Nabi dan tempat bagi surga (yang berada di atas langit ke tujuh) yang merupakan puncak harapan. Maka oleh karena langit itu sebagai tempat bagi hal-hal yang diagungkan tersebut di atas, termasuk pengetahuan Qadla dan Qadar, maka titik konsen dalam praktek ibadah di arahkan kepadanya” (Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 5, h. 34-35).


    Pada bagian lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh al-Zabidi menuliskan:

    “Langit dikhusukan dalam berdoa agar tangan diarahkan kepadanya karena langit-langit adalah kiblat dalam berdoa, sebagaimana ka’bah dijadikan kiblat bagi orang yang shalat di dalam shalatnya. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di arah ka’bah” (Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, h. 25).


    Masih dalam kitab yang sama al-Hâfizh al-Zabidi juga menuliskan:

    “Adapun mengangkat tangan ketika meminta dan berdoa kepada Allah ke arah langit karena ia adalah kiblat dalam berdoa, sebagaimana ka’bah merupakan kiblat shalat dengan menghadapkan badan dan wajah kepadanya. Yang dituju dalam ibadah shalat dan yang dipinta dalam berdoa adalah Allah, Dia Maha suci dari bertempat dalam ka’bah dan langit. Tentang hal ini an-Nasafi berkata: Mengangkat tangan dan menghadapkan wajah ketika berdoa adalah murni merupakan ibadah, sebagaimana menghadap ke arah ka’bah di dalam shalat, maka langit adalah kiblat dalam berdoa sebagaimana ka’bah adalah kiblat dalam shalat” (Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, h. 104).


  4. Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H) dalam kitab Fath al-Bâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan:

    “Langit adalah kiblat di dalam berdoa sebagaimana ka’bah merupakan kiblat di dalam shalat” (Fath al-Bâri, j. 2, h. 233).


  5. Asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari (w 1014 H) dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, salah satu kitab yang cukup urgen dalam untuk memahami risalah al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:

    “Langit adalah kiblat dalam berdoa dalam pengertian bahwa langit merupakan tempat bagi turunnya rahmat yang merupakan sebab bagi meraih berbagai macam kenikmatan dan mencegah berbagai keburukan. Asy-Syaikh Abu Mu’ain al-Nasafi dalam kitab at-Tamhîd tentang hal ini menyebutkan bahwa para Muhaqqiq telah menetapkan bahwa mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah murni karena merupakan ibadah” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 199).


  6. Asy-Syaikh Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam kitab Isyârât al-Marâm berkata:

    “Mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit bukan untuk menunjukkan bahwa Allah berada di arah langit-langit yang tinggi, akan tetapi karena lngit adalah kiblat dalam berdoa. Karena darinya diminta turun berbagai kebaikan dan rahmat, karena Allah berfirman: “Dan di langit terdapat rizki kalian dan apa yang dijanjikan kepada kalian”. (QS. Al-Dzariyat: 22)” (Isyârât al-Marâm, h. 198).


  7. Al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam kitab Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah menuliskan sebagai berikut:

    “Adapun mengangkat tangan dan wajah saat berdoa ke arah langit adalah murni merupakan ibadah, seperti halnya menghadap ke arah ka’bah di dalam shalat. Artinya bahwa langit sebagai kiblat dalam berdoa, sebagaimana ka’bah sebagai kiblat dalam shalat” (Izh-hâr al-’Aqîdah as-Sunniyyah, h. 128).


Apa yang kita tuliskan di atas dari beberapa pernyataan para ulama tentang bahwa langit adalah kiblat dalam berdoa hanyalah dari sebagian kecil saja. Akan tetapi walaupun sedikit sudah lebih dari cukup dapat menambah kekuatan bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.

Waspada terhadap kesesatan aqidah Wahabi... Jangan sampai merusak aqidah keluarga kita!!!! tengok kanan-kiri, hati-hati... wahabi selalu membawa jargon "Ahlussunnah", padahal sebenarnya mereka penghancur Ahlussunnah.


.

PALING DIMINATI

Back To Top