Oleh : Moh. Husein Rowy
Jika kita mau berguru pada sejarah, tidak ada organisasi yang tidak pernah sepi dari masalah. Begitu juga organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama. Sejarah juga yang mencatat bahwa kebesarannya berbanding lurus dengan besarnya "ujian" yang menerpa. Sebagai orang awam, hingga hari ini, saya hampir kehabisan kata-kata untuk sekedar bersuara dan meneriakkan sebuah harapan agar sengketa ini segera berakhir. Apapun alasannya, perselisihan di tingkat "prestisius" akan berdampak pada beberapa hal :
Pertama, jika ini dibiarkan berlarut-larut, kepercayaan dari organisasi di bawahnya akan (perlahan tapi pasti) luntur dan pada saat yang sama akan menggerogoti kewibawaan para "elite" di mata nahdliyyin dalam bentuk massif. Bersama dengan itu pula, desas-desus akan cenderung membentuk area abu-abu (gree area) dan dari tempat inilah fitnah itu tumbuh dan berkembang. Premis-premis liar akan melahirkan ketimpangan di sisi kepercayaan dan pengelolaan cara pandang. Masyarakat bawah tidak lagi memiliki keberanian untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian oleh karena kehilangan preferensi.
Walaupun banyak yang diam (silent voicers), masyarakat level menengah ke bawah sesungguhnya (secara sosiologis) sedang menggambarkan kegamangan dan ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan struktural organisasi. Diamnya para pengurus di tingkat PW, PC, dan MWC di satu sisi merupakan "penampakan" ketundukan pada faktor instrumen vertikal. Tetapi, di sisi lain, akan menjadi kontra produktif oleh karena roda organisasi harus berputar dengan cepat sesuai dengan kehendak kompetitif. Kondisi seperti ini tidak bisa dianggap hal yang biasa. Orang-orang luar yang punya kepentingan akan lebih leluasa bergerak tanpa kontrol dari dalam ketika energi habis terkuras hanya untuk hal-hal yang tidak jelas (latar belakang dari perseteruan itu).
Kedua, kerapuhan di tubuh PBNU sudah tidak bisa disembunyikan. Kerapuhan intellektualisme dan spiritualisme sedang menggejala justeru di kalangan para pembesar. Pengelolaan konflik yang tidak proporsional mengakibatkan "kebocoran" asumsi yang mengarah pada kondisi saling curiga dan menghantarkan orang-orang yang terbiasa berpikir cerdas dan kritis pada polarisasi akut. Bagi saya, ini sangat berbahaya jika dibiarkan terlalu lama. Asumsi-asumsi yang berserakan di mana-mana telah mengalami proses metamorfosis di ranah "netizens". Mereka yang memang dari awal tidak memiliki kemampuan literasi yang memadai, bersama dengan kelompok lain, akan menjadi "kekuatan baru" dalam pembentukan opini dan, anehnya, orang-orang NU di bawah terlalu cepat mempercayainya.
Kerapuhan itu kelihatannya semakin komplikatif setelah para sesepuh berusaha untuk mempertemukan pihak-pihak yang sedang bersitegang mempertahankan argumentasinya, tetapi tidak diikuti (terutama oleh barisan syuriah). Kegagalan ini melambangkan betapa saat ini perselisihan sudah berada di ujung tanduk. Ego sektoral menggema di sepanjang jalan menuju "ishlah". Komentar-komentar miring, yang menambah keruwetan, berserakan di Media Sosial. Masing-masing kubu menghabiskan waktunya hanya untuk membela diri, bukan membela dan menyelamatkan organisasi. Orang-orang kecil di bawah semakin berani berkomentar bahwa kepentingan sesaat telah mampu mengalahkan kepentingan ummat.
Ketika "dawuh" para sesepuh sudah tidak didengar, ketika mereka yang tulus menginisiasi jalan menuju musyawarah sudah tidak diperhatikan, ketika para penasehat sudah tidak mempan, maka kalimat apalagi yang pantas untuk dihaturkan buat mereka yang sedang bersaing ? Bila berkaca pada perselisihan di periode sebelumnya, kali ini adalah yang paling krusial. Ambisi pribadi untuk saling menguasai dan saling mengalahkan terlalu gampang untuk dilihat. Sepertinya, mereka sudah kehilangan "ruh" ke-ILMU-an dan "himmah" perjuangan. Baju kebesaran mereka tidak mampu menembus lapisan paling dalam : kerelaan hati untuk melakukan "mudzakarah" dan "muhasabah", sebuah lakon yang sudah tidak asing lagi bagi kepemimpinan di NU.
Ketiga, begitu kuatnya egosentris mereka, sehingga anjuran dari orang-orang yang berada di atasnya bak "air yang jatuh ke daun talas". Kebanyakan para nahdliyyin yang masih setia dengan NU, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Wajah-wajah yang santun itu tertutupi oleh aksesoris panggung yang sengaja dibangun oleh orang lain untuk saling unjuk kekuatan. Berbeda dengan para pemimpin sebelumnya, kehadiran mereka di tengah-tengah ummat saat ini terkesan "hambar", bahkan, menambah keputusasaan. Kekecewaan oleh karena mereka (ternyata) tidak mampu memposisikan diri sebagai orang-orang bijak, tidak bisa ditutupi dengan berbagai "dalil" dan alasan formal-konstitusional sekalipun.
Setelah dianggap tidak ada niat baik untuk segera duduk "bareng" dan bicara dari-hati-ke-hati, para petinggi itu akan menerima sangsi moral dan sangsi sosial berupa kehilangan wibawa (karisma) selama masih bertahan di jabatannya masingmasing. Walau belum terlambat, kedua belah pihak sedang menghadapi "pengadilan" pencitraan yang bisa berakibat pada lunturnya nilai-nilai etika dan kehormatan sebagai tokoh sentral. Cara pandang seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang berlebihan mengingat betapa besarnya harapan ummat agar mereka segera bersatu.
Sengketa di bagian atas, jika dibiarkan terlalu lama, pasti berekses pada rusaknya tatanan organisasi secara hirarkis. Walaupun sudah ada himbauan agar sub-sub di bawah tetap seperti sedia kala, kekisruhan itu, dari sudut pandang psikososial, pasti menyisakan "trauma" yang penyembuhannya butuh waktu lama. Yang paling menghawatirkan adalah bahwa tradisi "pemecatan" yang (oleh pihak tanfidziyah) dianggap bertabrakan dengan regulasi dan AD/ART, akan menjadi "preseden" buruk buat kematangan organisasi di bawahnya. Di tengah masih adanya harapan, goncangan ini harus segera diatasi. Nahdlatul Ulama tidak boleh mengalami keretakan yang berakibat kehancuran hanya karena persoalan "orang-per-orang". Semoga.