Bismillahirrohmaanirrohiim

‎KARENA NU ADALAH "KEBANGKITAN KEILMUAN"


‎Oleh : Moh. Husein Rowy 
‎Sebagai nahdliyyin, kita harus memiliki kemampuan untuk menggaransi wawasan dan watak kita pada apapun yang berkaitan (langsung maupun tidak langsung) terhadap pengembangan pemikiran, utamanya tentang NU dan "harokah"-nya. Ini adalah konsekuensi logis dari "message" yang dipesankan oleh para "muassis" terdahulu. Berbeda dengan organisasi lain, NU selalu membuka diri untuk diisi dengan kerangka epistemologis sebagai wujud nyata dari proses justifikasi. Penyesuaian-penyesuaian dimaksud adalah ketulusan untuk tetap terpeliharanya asas kontinuitas dan fleksibilitas. Mengingat begitu rumitnya problematika sosiologis yang bernuansa kekinian, NU memandang perlu melakukan kaderisasi yang berafiliasi pada entitas akademik dengan catatan tidak menghilangkan sama sekali karakter dasar berupa "paternalisme" -- sebuah tatanan lama yang mengusung tema kepatuhan terhadap tokoh (Ulama/Kyai) yang diberi amanah untuk menjaga ummat. 
‎Walaupun terasa berat, orang-orang yang dipercaya untuk menduduki kursi kepemimpinan di organisasi, oleh karenanya, adalah pribadi unggul, teruji, dan (jika memungkinkan) punya sambungan "nasab" dengan pendiri (KH. Hasyim Asy'ari). Formulasi ini dipilih agar garis hirarki tidak terputus oleh gencarnya propaganda orang-orang di luar untuk mengambil alih sejarah itu. Karena NU merupakan satu-satunya organisasi terbesar dan memiliki pengikut paling besar se-dunia, maka wajar jika banyak yang "tergila-gila" bagaimana cara memilikinya : sebagai sarana untuk meraih ketenaran dan meraup keuntungan (secara finansial). Kalimat terakhir ini terinspirasi oleh berbagai peristiwa yang mengiringinya. 
‎Sosok yang, dalam hal ini, sering dijadikan preferensi adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Kehadiran Beliau dianggap sebagai sebuah jawaban atas banyak tuntutan dari-dan-oleh perkembangan zaman. Disamping ke-ILMU-an yang dikuasainya, Beliau mewarisi "aliran darah" pendiri (cucu). Selama 12 tahun Beliau menjadi Ketua Umum PBNU dan sekaligus sebagai peletak "batu pertama" bangunan pemikiran dan cara pandang (vision) yang bisa diterima oleh generasi berikutnya. Walaupun tak jarang dianggap tokoh kontroversial, Gusdur telah berhasil merancang NU sebagai organisasi yang bergerak di level multidimensional. 
‎Baginya, keterampilan membaca kitab "kuning" dan kitab "putih" harus berjalan secara simultan. Bukan hanya untuk menjaga keseimbangan (check and balance), penguasaan Ilmu Pengetahuan secara luas dibutuhkan untuk mengelola organisasi secara proporsional, berdasarkan realitas yang berkembang di bawah. Apa yang dilakukan oleh Beliau (yang kemudian diteruskan oleh generasi di bawahnya) adalah dalam rangka mendorong semua elemen di tubuh NU untuk tidak pernah berhenti "mengaji" dan membaca keadaan, terutama, ketika sedang berhadapan dengan perubahan cepat di era digital. 
‎Digitalisasi harus dimaknai secara komprehensif. Penggunaannya tidak boleh menabrak kemapanan (establishment) yang berbasis ilmiah. Hingga hari ini, nahdliyyin tetap mendambakan seorang pemimpin yang terasah secara analisis dan terarah secara intelektual, sehingga apapun hebatnya rancang-bangun di Media Sosial yang arahnya untuk menguliti organisasi (NU), akan mudah dipahami dan mudah pula ditemukan SIAPA pelaku (aktor) utamanya. Untuk menjaga kondusifitas di sisi lalu lintas pemikiran, diharapkan para pengamat, peneliti, dan simpatisan agar bersikap jujur dan objektif (sekali lagi berdasarkan perspektif ke-ILMU-an) dalam melontarkan pendapat. 
‎Sudut pandang yang berbeda itu harus tegak lurus dengan cita-cita besar : "menyelamatkan ummat dari perpecahan berkepanjangan". Di sisi lain, masih dijumpai banyak tulisan yang terkesan apriori dan sarat dengan muatan subjektivitas. Kritik tajam yang muncul ke permukaan lebih diwarnai oleh ekspresi persaingan "panggung" dan ini pasti tidak mendidik. Perbedaan pandangan yang mengemuka tidak lahir dari semangat "menggali" lebih dalam tentang substansi dan nilai perjuangan (sebagaimana yang diisyaratkan oleh salah satu tokoh sentral dan pelaku sejarah : KH. As'ad Syamsul Arifin), tetapi lebih pada luapan kekecewaan oleh karena merasa tidak "diorangkan". 
‎Karena NU merupakan organisasi yang bergerak di bidang "kebangkitan ummat melalui kebangkitan ke-ILMU-an", turbulensi pemikiran dan gerakan adalah hal yang niscaya. Apapun alasannya, figur kepengurusan dari tingkat PB hingga ranting harus menjadi teladan kajian di (hampir) semua aspek. Tradisi membahas (sebagaimana yang dihaturkan oleh Gusdur) harus menjadi denyut nadi "Jam'iyyah". Selain "bahtsul masaail", forum-forum diskusi hadir untuk, minimal, mengimbangi arus balik informasi yang masih mentah. Ketaatan dan ketundukan pada "dawuh" seorang Ulama/Kyai tidak boleh bersifat doktrinal semata. Pengelolaan setiap fatwa diletakkan pada proporsi yang benar, yang mengedepankan aspek "aqliyah" dibandingkan aspek "qauliyah". Jika tidak, penafsiran yang salah terhadap fatwa itu justeru menjadi bola liar yang berujung pada pengkaburan isi.
‎Prahara yang menimpa PBNU hari ini adalah sebuah "test case" untuk mengukur kesiapan kita, terutama pada pemangku, dalam menyongsong kompetensi dan kompetisi gagasan. Peran idealisme menjadi sangat penting saat masih belum ditemukannya solusi terbaik dari perseteruan di tingkat "elite". Hingga hari ini, masing-masing pihak masih fokus pada "pembelaan" diri, belum pada penemuan solusi. Di pojok kebuntuan inilah sesungguhnya diharapkan lahir para pemikir yang solutif, hadir sebagai penengah, penyeimbang, dan sekaligus pencerah. Dengan kematangan Ilmu dan kejernihan hati, mereka para sesepuh didambakan hasil "istikharah"-nya sebagai jalan terbaik menuju "ishlah" bagi yang sedang mengalami sengketa. Aamiin.


.

PALING DIMINATI

Back To Top