Oleh Abdul Wahab Ahmad
Sewaktu ramai isu konsesi tambang bagi ormas, saya tidak tertarik sama sekali membahasnya. Anda pun tidak akan menemukan tulisan saya soal istilah "Wahabi Lingkungan" yang heboh saat itu. Namun, bencana alam besar di Sumatera akibat penebangan sembrono kali ini membuat saya merasa perlu untuk membahas soal pelestarian lingkungan hidup dalam pandangan fikih agar persepsi masyarakat tidak malah liar soal tema ini.
Gerakan lingkungan atau gerakan pelestarian alam tidak hanya gerakan untuk melawan perusakan alam atau sekedar mendorong penanaman pohon dan menjaga lingkungan. Pada dasarnya, semua manusia akan sepakat bahwa menjaga lingkungan itu penting dan merusak lingkungan itu buruk dan tercela.
Yang tidak semua orang tahu, di balik gerakan lingkungan ada semacam ideologi yang dipropagandakan secara massif hingga menjadi basis ekologi atau ekoteologi modern. Saya akan menyebut dua di antaranya sebagai contoh.:
Pada tahun 1973, Arne Naess menerbitkan artikel “The Shallow and The Deep, long‐range ecology movement. A summary”. Ia mengkritik pandangan yang ia sebut sebagai “shallow ecology” atau ekologi dangkal. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan istilah "deep ecology" atau ekologi mendalam yang menolak pandangan bahwa manusia berada di pusat alam (antroposentrisme). Ia menyatakan bahwa semua makhluk memiliki nilai intrinsik, bukan sekadar nilai instrumental bagi manusia. Dengan kata lain, manusia hanyalah satu spesies di antara spesies lain yang setara secara moral.
Sejalan dengan itu, Paul W. Taylor dalam bukunya yang berjudul Respect for Nature yang terbit pada tahun 1986 mengajukan prinsip bahwa semua organisme memiliki “equal inherent worth” atau nilai hakiki yang setara. Sebab itu, baginya tidak ada alasan moral yang membenarkan keunggulan manusia di atas makhluk lain.
Kedua pendapat di atas adalah cara pandang utama dalam gerakan lingkungan (ekologi dan ekoteologi) modern yang menekankan kesetaraan nilai antara manusia dan entitas hidup lainnya.
Pandangan di atas, atau bisa kita sebut sebagai "ideologi lingkungan" di atas, adalah cara pandang yang tidak kompatibel dengan Islam. Dalam al-Qur'an, banyak ayat yang secara eksplisit mengatakan bahwa bumi dan seluruh isinya ditundukkan untuk manusia, dalam arti memang disediakan untuk kemaslahatan manusia, misalnya:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya". [Surat Al-Jatsiyah: 13]
Di ayat lain, secara eksplisit pula Allah berfirman bahwa Bani Adam adalah makhluk yang dimuliakan di atas makhluk lain (QS. al-Isra': 70). Dengan kata lain, ada perbedaan hierarki antara manusia dan makhluk hidup lain beserta lingkungan.
Sebab itulah, manusia tidak hanya halal untuk mengeksplorasi tetapi juga boleh melakukan eksploitasi alam, selama dampaknya terukur dan tidak malah berubah menjadi mafsadah bagi manusia itu sendiri ke depannya.
Yang haram bukan penebangan hutan, tapi penebangan yang gegabah tanpa perhitungan berbasis kemaslahatan hingga menyebabkan banjir seperti yang kita lihat sekarang. Yang haram bukan pertambangan, tapi penambangan yang mengabaikan pertimbangan maslahat dan mudarat jangka panjang. Yang juga haram bukan izin konsesi, tapi izin konsesi yang hanya menghitung keuntungan tanpa memperhatikan dampak kerusakannya di masa depan.
Soal bagaimana pengukurannya, apakah suatu aktivitas penebangan hutan, pertambangan atau izin konsesi sudah mencapai batas mudarat atau masih dalam batas aman, itu merupakan wilayah yang dapat diperdebatkan. Tapi prinsipnya, Islam tidak melarang eksploitasi lingkungan secara mutlak dan jelas tidak memandang manusia sebagai entitas yang setara dengan hewan, pepohonan dan lautan. Islam menjadikan manusia sebagai khalifah yang memimpin, mengambil manfaat sekaligus bertugas merawat.
Adapun pandangan para aktivis lingkungan barat sebagaimana di atas bisa dilacak inspirasinya dari agama lain, bukan agama Islam. Ideologi lingkungan berlebihan yang berujung pada pengharaman semua jenis eksploitasi seperti itulah yang oleh Gus Ulil Abshar Abdalla disebut sebagai pandangan "Wahabi Lingkungan" atau pandangan lingkungan hidup yang terlalu ekstrem, sebagaimana ciri khas Wahabi yang punya pandangan ekstrem dalam beragama. Terlepas dari istilahnya atau pun batasan teknisnya, yang dimaksud Mas Ulil tersebut tidak salah secara prinsip. Tapi karena tidak semua paham bahwa ada ideologi ekstrem dalam gerakan pelestarian lingkungan ini, dikiranya label "Wahabi Lingkungan" berlaku pada semua gerakan pelestarian alam hingga Mas Ulil secara khusus dan NU secara umum dibully oleh netizen sebab menerima konsesi tambang dan bahkan ikut dikambinghitamkan dalam bencana alam Sumatera, padahal tidak ada kaitannya dan malah memalingkan fokus isu.
Ketika Sumatera banjir bandang, saya ikut mengutuk pihak-pihak yang menyebabkan bencana tersebut sebagaimana bisa anda baca dalam beberapa postingan saya sebelum ini. Beberapa netizen menyindir saya sebagai Wahabi Lingkungan gara-gara itu, sekaligus menyindir posisi saya sebagai pengurus NU yang dipersepsikan pasti mendukung perusakan lingkungan di Indonesia. Saya hanya tersenyum sambil teringat pada kajian saya tentang ekoteologi di UIN Jember pada tanggal 5 Agustus 2025 lalu di mana ketika ditanya soal isu "wahabi lingkungan", sambil bercanda saya menyebut diri saya sebagai "muktazilah lingkungan", hahaha.... Ya, muktazilah yang terkenal dengan prinsip al-shalah wa al-ashlah sepertinya cocok untuk istilah candaan ini.
Sebagai akhir, perlu diketahui bahwa saya tidak pro pertambangan atau penebangan hutan sebagaimana banyak terjadi di negeri Konoha tanpa Naruto ini. Saya pernah secara aktif terlibat dalam penolakan rencana pertambangan di Jember, kota saya, sebab pertimbangan ekologis dari para ahli. Saya juga tidak ada urusan dengan konsesi tambang NU dan tidak tertarik dengan itu. Saya juga tidak dalam posisi membela Gus Ulil atau siapa pun yang berpolemik. Hanya saja sebagai pengkaji fikih dan akademisi, saya harus tegas dan objektif mengatakan bahwa pertambangan, penebangan pohon, dan eksploitasi alam bukan hal yang terlarang dalam Islam selama aspek maslahatnya lebih besar dari mafsadahnya. Soal pengukuran besar kecilnya, siapa pun boleh berdebat selama berdasarkan data, bukan emosi atau sentimen.
Yang jelas, soal banjir Sumatera kali ini mafsadahnya secara faktual telah tampak jauh lebih besar dari kemaslahatannya sehingga para pejabat dan perusahaan yang terlibat di baliknya seharusnya diseret ke meja hijau. Namun jangan sampai hal ini membuat kita berlebihan memandang eksploitasi sebagai hal yang mutlak terlarang, apalagi malah menunjuk jari pada NU atau pihak yang tidak terlibat apa-apa.
Semoga bermanfaat.