Bismillahirrohmaanirrohiim

Kayu adalah kehidupan

Oleh Tri Wibowo Budi Santoso
Dalam tradisi spiritual, semesta ini dilambangkan sebagai pohon. Misalnya, ada istilah syajaratul kawni (pohon kosmik atau pohon alam semesta).  Simbolisme pohon  menggambarkan struktur  seluruh wujud, dari Allah sampai makhluk yang paling rendah. Dalam khazanah Nusantara, ada pendapat bahwa istilah batang pohon, yang disebut kayu, berasal dari penyerapan istilah arab, al-hayyu (hidup), salah satu asmaul husna.  "Kayu iku jenengé Allah, améh wujudé sakalir," atau "Kang dingin Ingsun anitahake Kayu,"  demikian tertulis dalam suatu serat.   Maka semesta ini dilambangkan sebagai pohon kehidupan. 

Orang kuno menghormati pohon-pohon, terutama yang berusia tua dan besar,  karena mereka tahu pohon adalah unsur penting yang membuat kehidupan berjalan baik, aman dan selamat. Ketika pohon dikeramatkan, sebenarnya aslinya itu adalah cara merawat kehdupan yang sakral, karena hidup adalah manifestasi dari Tuhan lewat asma al-Hayyu. Kita ingat dalam wayang jawa ada Kayon, berasal dari kata kayu yang diimbuhi akhiran -an, juga melambangkan awal-mula hidup (hayyu). Dalam istilah jawa, pohon disebut wit, yang ditafsirkan sebagian orang sebagai kependekan dari wiwit (awal permulaan). Karena itu ada istilah Wit Ana (Pohon Ada, Pohon Eksistensi). Dalam pandangan spiritual Islam, akarnya adalah al-Haqq, dan buahnya adalah Insan Kamil, yang personifikasi tertingginya adalah Muhammad. 

Dari segi lahir, kumpulan pohon yang disebut hutan adalah paru-paru bumi. Pohon mengeluarkan oksigen yang kita butuhkan, memperbaharui kualitas udara. Jika di tempat kita masih ada  banyak capung di siang hari dan kunang-kunang di malam hari, itu salah satu tanda kualitas udaranya amat bagus. Kita hidup butuh oksigen, dan sebagian besar oksigen dipasok oleh bumi melalui, salah satunya, pohon. Suatu tempat yang masih banyak pohon dengan daun rimbunnya akan lebih segar udaranya dari pagi sampai malam dibanding tempat yang minim pohon. Di masa kecilku, anak-anak  siang-siang bisa tidur pulas di bawah pohon rindang tanpa merasa gerah. Pohon  itu punya hidup dan karena itu bisa mati, sama seperti manusia. Menjaga kelestarian alam, termasuk hutan, adalah merawat kehidupan itu sendiri yang dinugerahkan oleh al-Hayyu, dari Tuhan Yang maha tak kasat mata (al-Bathin).  Dalam pandangan sufi melayu disebutkan, "Hayyu namanya Kayu, tumbuh di dalam batin." 

Orang-orang kuno melestarikan hutan, dan alam lingkungan pada umumnya,  karena mengikuti gagasan yang berbasis spiritual ini, memadukan segi lahir (material) dan batin (spiritual). Mereka memandang alam bukan sebagai sekadar objek, tetapi juga subjek, sebagai sesama pelaku. Karena itu mereka menghormati alam — laut, hutan, gunung, dan lainnya — melalui tradisi (misal sedekah bumi, sedekah laut). Mereka tahu pohon bukan hanya bisa dimanfaatkan manusia, tetapi pohon juga "aktif" menjaga hidup manusia. Pohon juga aktif mengayomi banyak makhluk: burung, serangga, semut, dan banyak lagi, dan bahkan juga menjadi tempat tinggal makhluk gaib.  Pohon yang ada buahnya juga memberi banyak manfaat. Bahkan daun pohon yang sudah dipetik atau gugur  bisa dimanfaatkan, minimal menjadi pupuk untuk tanah. Melslui tradisi itu, manusia tradisional ingin menjaga hubungan baik dengan alam, karena sama-sama ciptaan Tuhan.  

Dengan cara pandang itu, sebagian orang arif menghormati dan berterima kasih  kepada alam, bukan untuk disembah, tetapi dihormati sebagai sesama makhluk Tuhan al-Hayyu. Sesungguhnya alam itu diciptakan boleh  dimanfaatkan oleh manusia selama tidak dengan cara yang merusak dan menghancurkan kehidupan manusia. Ketika kayu (hayyu)  dirusak oleh ketamakan, maka hidup (hayyu) pun bisa rusak. 

:: semoga musibah di Sumatera lekas berlalu dan pulih lagi.


.

PALING DIMINATI

Back To Top