Oleh: Kholili Hasib
Krisis organisasi di tubuh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) akhir-akhir ini menyisakan kegelisahan mendalam. Bagi warga NU khususnya maupun kaum muslimin Indonesia secara umum. Narasi legalitas, kewenangan dan otoritas beradu di ruang publik digital. Antara Syuriah dengan pihak Ketua Umum.
Mungkin lebih baik persoalan ini tidak dipandang semata-mata sebagai urusan administratif. Pergulatan gagasan dan cara pandang sepertinya adalah masalah yang lebih mendasar. Kembalikan kepada budaya tradisional keulamaan NU patut menjadi acuan. Bagaimana jamiyyah berusia satu abad ini memaknai tradisi otoritas keagamaan, bagaimana nilai dan adab diwariskan secara implimentatif di tubuh organisasi. Lebih dari itu menjaga keseimbangan antara warisan tradisi kiai dan tuntutan struktur-adminstratif modern adalah sebuah tantangan.
PBNU memiliki dua sumber legitimasi yang selama ini berjalan beriringan: legitimasi organisatoris (AD/ART, mekanisme formal, struktur kepengurusan) dan legitimasi moral-spiritual (kharisma ulama, sanad keilmuan, pengakuan jamaah). Ketika keduanya selaras, organisasi berjalan stabil. Tapi ketika yang satu menekan yang lain, krisis pun muncul. Singkatnya, jamiyyah NU itu menganut dua otoritas secara seimbang; otoritas organisasi dan otoritas moral etik. Kadang, otoritas moral-etik lebih menonjol. Khas pesantren.
Sepertinya, saat ini mesin organisasi berjalan tidak seimbang antara legimitasi organisatoris dengan otoritas moral tradisional NU. Pelaksana otoritas organisatoris dilaksanakan oleh pimpinan tanfidziyah. Namun, keputusan dan argumentasi hukum formal biasanya tidak berhenti pada otoritas tanfidziyah. Musyawarah berbasis pimpinan kiai syuriyah serta restu sesepuh kiai pimpinan memiliki legitimasi yang lebih kuat. NU merupakan organisasi modern. Tetapi kultur kepesantrenan tidak bisa dihilangkan.
Dalam sejarah keilmuan Islam—mulai dari para fuqaha, mutakallimun, hingga para sufi—otoritas selalu dipahami sebagai perpaduan antara kapasitas keilmuan dan kematangan akhlak. Bila otoritas kemudian dipersempit hanya pada aspek legalitas struktural dan formalitas organisasi, maka terjadilah penyusutan makna epistemologis. Sebuah organisasi keagamaan bisa menjadi institusi yang bersifat korporatif belaka, kehilangan ruh ilmiah dan moral.
Polemik yang muncul akhirnya menyingkap persoalan yang cukup mendasar. Yaitu cara pandang di dalam tubuh organisasi keagamaan. Cara pandang mencakup cara seseorang menilai dan memahami struktur kepemimpinan, otoritas, amanah, moral serta makna ukhuwah. Ketika pandangan ini retak, maka relasi kekuasaan dan etika-moral dalam berorganisasi ikut mengalami kerusakan.
Jamiyyah NU sebagai organisasi yang historisnya dibangun oleh otoritas kiai dan jaringan pesantren, menghadapi tantangan modernitas organisasi: birokrasi yang kompleks, tuntutan profesionalisme, pengaruh dinamika politik nasional, hingga ekspektasi publik. Di tengah kompleksitas itu, nilai dasar seperti adab, amanah, dan ukhuwah berisiko terpinggirkan.
Maka, polemik internal yang mengemuka ini mengindikasikan terjadinya gesekan dua otoritas yang tidak lagi berjalan seimbang. Di tambah lagi pola komunikasi organisasi yang tidak tertata dan struktur pengambilan keputusan yang timpang-tindih. Yang lebih menonjol: hilangnya ruang musyawarah moral yang biasanya menjadi penyangga tradisi pesantren. Jika organisasi kehilangan adab sebagai fondasi, maka yang tersisa hanyalah perebutan legalitas — bukan lagi perebutan kemuliaan moral.
Dulu sudah pernah terjadi. Ketua PBNU menanda-tangani rekomendasi pengiriman kader NU studi di Iran. Otoritas syuriah dan beberapa jajaran pimpinan kiai sepuh tidak mengetahui. Beberapa kader sudah dikirim berangkat. Kemudian para kiai bertindak. Mungkin saja, keputusan Rais Am saat ini untuk mengantisipasi beberapa efek tidak baik ke depan tidak terjadi lagi. Tidak ada dualisme dikotomik dalam tubuh organisasi.
Permasalahan seperti ini menunjukkan perlunya kerangka etika organisasi yang tidak hanya mengandalkan legalitas struktural-formal. Tetapi memadukan prinsip akhlak: keadilan, amanah, musyawarah, dan pemeliharaan persatuan. Dalam literatur klasik, para ulama membahas etika pemimpin, kewajiban menjaga persatuan umat, serta pentingnya pembersihan jiwa sebelum memegang jabatan publik. Prinsip ini relevan untuk konteks organisasi modern.
Ulama terdahulu memadukan hikmah (kebijaksanaan), ‘adalah (keadilan), dan maslahah sebagai fondasi pengambilan keputusan. Adopsi model organisasi modern Islam seharusnya tetap mengacu pada kerangka ini. Konflik sekarang harus menjadi titik refleksi bahwa struktur saja tidak pernah cukup tanpa landasan moral. Santri manut kepada kiai. Sementara kiai mengedepankan hikmah dan maslahah dalam memayungi organisasi.
Dalam sejarah Islam, perselisihan di antara ulama tidak selalu buruk — selama ada ruang dialog, adab, dan saling menghormati. Konflik PBNU bisa menjadi titik awal untuk membangun kembali tradisi ijtihad jama‘i yang selama ini menjadi kekuatan tradisi pesantren.
PBNU adalah rumah besar umat Islam Indonesia. Ia bukan milik satu figur, satu faksi, atau satu struktur. Ia adalah institusi yang diwarisi dari para pendiri, dengan amanah untuk menjaga agama, moralitas, dan kepentingan umat. Karena itu, konflik internal yang terjadi harus diselesaikan bukan hanya dengan prosedur, tetapi dengan adab — sesuatu yang sering hilang dalam hiruk-pikuk organisasi modern.
Harapan terbesar kita adalah munculnya kembali budaya kepemimpinan berbasis hikmah, bukan sekadar formalitas; mengedepankan ukhuwah, bukan rivalitas; dan memulihkan tradisi keilmuan ulama sebagai pilar organisasi. Budaya dan kultur pesantren dikedepankan. Dengan tetap mengedepankan moral dan keikhlasan.
Tapi rupanya, tantangan jamiyyah NU saat ini adalah cara pandang modernis para pemegang organisasi. Amaliyah tradisonal, tetapi cara pandang modernis. Maka, narasi penyamarataan otoritas itu dibangun.
Syuriah-tanfidziyah equal. Santri sejajar kedudukan dengan kiai jika sudah di organisasi. Mestinya, tidak begitu. Mengintegrasikan tata kelola organisasi modern dengan kultur tradisional harusnya dengan hikmah.
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ingin agar setiap pemimpin umat mengontrol ego, menjaga takzim, dan menempatkan ukhuwah di atas kepentingan pribadi. Dalam “Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah beliau mengatakan: “Jauhilah perpecahan! Sesungguhnya perpecahan adalah kehancuran, sementara kebersamaan adalah keselamatan.”
Kalam ini tepat sekali untuk kondisi sekarang, karena perpecahan struktural dapat merembet menjadi perpecahan kultural dan sosial di tingkat jamaah. Ini harus diantisipasi.
Pesan KH. Wahid Hasyim menekankan bahwa ulama harus menjaga muru’ah, keadaban, dan kehormatan agar tidak hilang karena tarik-menarik kekuasaan internal.