Abstrak
Tulisan ini mengkritik pendekatan jurnalistik yang sering kali gagal memahami kompleksitas budaya pesantren. Melalui kerangka antropologi simbolik Clifford Geertz, artikel ini menyoroti bias epistemik media yang menggunakan lensa modern-sekuler dalam membaca fenomena kultural-religius.
Praktik seperti mencium tangan kiai atau khidmah kepada guru sering direduksi menjadi narasi eksploitasi, padahal dalam sistem nilai pesantren, praktik tersebut memiliki makna simbolik yang dalam.
Dengan menggunakan pendekatan hermeneutik dan prinsip thick description, tulisan ini menegaskan pentingnya membaca pesantren dari dalam horizon maknanya sendiri. Akhirnya, disarankan pendekatan emik, kontekstualisasi, dan triangulasi metodologis agar muncul pemahaman yang lebih seimbang antara nilai tradisional pesantren dan rasionalitas modern.
Kata kunci: Pesantren, Clifford Geertz, antropologi simbolik, hermeneutika, jurnalisme, budaya religius.
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia jurnalistik Indonesia menunjukkan ketertarikan yang meningkat terhadap kehidupan pesantren. Namun, sering kali pemberitaan media tersebut menimbulkan kontroversi karena gagal memahami konteks budaya yang melatarbelakangi fenomena pesantren.
Praktik sosial-keagamaan seperti khidmah, ngalap barakah, atau penghormatan simbolik kepada kiai kerap dipahami secara dangkal melalui lensa modern-sekuler. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksiapan kultural dan bias epistemik, di mana realitas religius diterjemahkan ke dalam narasi rasionalistik yang reduktif.
Tulisan ini mengajukan kritik terhadap kecenderungan tersebut melalui kacamata antropologi simbolik Clifford Geertz, dengan menawarkan pendekatan hermeneutik yang berupaya memahami makna kultural pesantren secara “tebal” (thick description).
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa tindakan sosial selalu berakar pada sistem simbol dan makna yang hidup di dalam masyarakat.
Ketidaksiapan Kultural dan Reduksi Kompleksitas.
Salah satu masalah mendasar dalam liputan media terhadap pesantren adalah ketidaksiapan kultural dalam membaca simbol dan praktik keagamaan. Misalnya, tindakan santri mencium tangan kiai sering diinterpretasikan sebagai bentuk subordinasi atau feodalisme. Padahal, dalam kosmos nilai pesantren, gestur tersebut adalah manifestasi adab dan pencarian barakah — sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan secara memadai melalui logika hubungan kuasa modern.
Geertz (1973) menekankan bahwa memahami tindakan sosial menuntut deskripsi “tebal,” yakni upaya membaca makna di balik simbol dan tindakan.
Dengan demikian, fenomena mencium tangan bukanlah sekadar “tindakan fisik,” melainkan representasi spiritual yang meneguhkan relasi pengetahuan dan kesucian. Di sinilah pendekatan jurnalistik yang dangkal kehilangan kedalaman hermeneutiknya: ia gagal menangkap bagaimana makna religius membentuk perilaku sosial.
Logika Relasional Pesantren dan Sistem Simbolik
Pesantren adalah institusi sosial-keagamaan yang beroperasi dalam logika relasional yang khas. Nilai-nilai seperti adab, barakah, dan khidmah menjadi pusat orientasi moral dan epistemik. Dalam kerangka ini, otoritas kiai tidak hanya bersifat hierarkis, tetapi juga spiritual-intelektual: ia lahir dari legitimasi keilmuan dan keikhlasan.
Jika kita membaca pesantren dengan perspektif Geertzian, maka pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan sistem simbolik yang menebalkan kehidupan. Di dalamnya, ritual belajar, doa, dan interaksi sosial membentuk “jaringan makna” (webs of significance) yang saling terkait.
Menyapu halaman rumah kiai, misalnya, bukanlah kerja domestik belaka, tetapi ritual simbolik untuk membersihkan hati dari keangkuhan intelektual.
Krisis Representasi dalam Media
Pendekatan jurnalistik yang gagal memahami kompleksitas pesantren menciptakan krisis representasi (Clifford & Marcus, 1986).
Representasi media kerap mengonstruksi dunia pesantren sebagai ruang ketimpangan kekuasaan, tanpa menelisik basis spiritual dan maknawi yang menopangnya. Dengan demikian, praktik sosial yang kaya dimensi direduksi menjadi narasi onfrontatif.
Kritik terhadap pesantren tentu tetap sah, tetapi harus berangkat dari pemahaman kontekstual dan metodologis, bukan dari horizon nilai yang asing.
Sebaliknya, memuja pesantren tanpa kritik juga menutup ruang refleksi. Tantangan intelektual kita hari ini adalah membangun keseimbangan antara kritisisme epistemik dan empati hermeneutik.
Menuju Pendekatan Hermeneutik-Etnik
Untuk memahami dunia pesantren secara adil, dibutuhkan pendekatan hermeneutik-emik, yaitu memahami tindakan sosial sebagaimana makna yang diberikan oleh pelakunya sendiri. Hal ini menuntut peneliti atau jurnalis melakukan fusion of horizons — pertemuan antara cakrawala makna peneliti dan pelaku budaya (Gadamer, 1975). Dalam konteks pesantren, berarti berupaya masuk ke dalam dunia simbolik para santri dan kiai dengan kesediaan memahami tanpa segera menghakimi.
Selain itu, triangulasi metodologis perlu diterapkan untuk menggabungkan observasi partisipan, wawancara mendalam, dan analisis teks keagamaan.
Pendekatan ini membantu menjembatani jarak antara pengetahuan ilmiah dan pengalaman kultural.
Penutup
Pendekatan hermeneutik-antropologis terhadap pesantren memungkinkan kita melihat dunia religius bukan sebagai residu tradisionalitas, tetapi sebagai bentuk rasionalitas alternatif yang menolak reduksi modern. Pesantren bukanlah dunia yang terbelakang, melainkan sistem makna yang kaya dan dinamis.
Tugas jurnalis dan akademisi adalah menghadirkan representasi yang nuanced — penuh empati, namun tetap kritis.
Dengan mengingat pesan Geertz bahwa tugas ilmu sosial adalah to make sense of the meaning people give to their lives, kita diingatkan bahwa memahami pesantren berarti memasuki medan spiritual di mana pengetahuan, pengabdian, dan kesucian menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Clifford, J., & Marcus, G. E. (Eds.). (1986). Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography. Berkeley: University of California Press.
Gadamer, H.-G. (1975). Truth and Method. New York: Seabury Press.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.
Howell, J. D. (2014). Modernity and Islamic Spirituality in Indonesia. Singapore: ISEAS.
van Bruinessen, M. (1994). Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and Change in a Tradition of Religious Learning. In Text and Context: The Social Anthropology of Tradition, edited by T. Abdullah dan S.Siddique
