Bismillahirrohmaanirrohiim

Debat antara al-Imam al-Baqillani dan kaum Mu‘tazilah

Debat antara al-Imam al-Baqillani dan kaum Mu‘tazilah di hadapan Raja ‘Adhud Daulah

Oleh Nur Hasyim S Anam

Kekuatan kaum Mu‘tazilah di Irak pada masanya sangat kuat, sampai datang masa Raja ‘Adhud Daulah. Ia seorang raja yang mencintai ilmu dan para ulama. Ia memiliki majelis khusus untuk berdiskusi dengan para ulama. Qadhi al-Qudhat pada masanya adalah seorang Mu‘tazili.

Suatu hari ‘Adhud Daulah berkata kepadanya:
“Majelisku ini penuh dengan para ulama, hanya saja aku tidak melihat seorang pun dari kalangan Ahlus Sunnah yang membela madzhabnya.”

Qadhi itu menjawab:
“Mereka hanyalah orang awam, pengikut buta, hanya bersandar pada riwayat dan hadis. Mereka meriwayatkan suatu berita dan juga kebalikannya, lalu mempercayai keduanya sekaligus—padahal salah satunya pasti menasakh yang lain atau perlu ditakwil. Aku tidak tahu seorang pun dari mereka yang sanggup berdiri menghadapi hal ini.”
Kemudian ia mulai memuji-muji kaum Mu‘tazilah sekuatnya.

Sang Raja berkata:
“Tidak mungkin suatu madzhab yang tersebar ke seluruh penjuru bumi tak memiliki pembela. Carilah siapa yang layak untuk berdebat, tuliskan namanya, dan hadirkan ia ke majelis kita.”

Itu adalah takdir Allah untuk menolong kebenaran. Maka disebutlah kepadanya:
“Wahai Raja, kami mendengar di Bashrah ada dua orang: seorang tua dan seorang muda. Yang tua dikenal dengan Abu al-Hasan al-Bahili, yang muda dikenal dengan Ibn al-Baqillani.”

Saat itu majelis kerajaan berada di Syiraz. Raja pun menulis surat kepada gubernurnya agar mengirim keduanya, sekaligus membekali biaya perjalanan dari harta halal.

Qadhi Abu Bakar al-Baqillani berkata:
“Ketika surat itu sampai kepada kami, sebagian ulama kami berkata: ‘Mereka itu orang-orang fasik, tidak halal bagi kita menginjakkan kaki di istana mereka. Tujuan raja hanya agar bisa berkata bahwa majelisnya telah menghimpun seluruh golongan ulama. Kalau niatnya karena Allah, tentu aku akan berangkat. Maka aku tidak akan hadir ke tempat mereka.’”

Aku (al-Baqillani) menjawabnya:
“Beginilah dulu kata Ibn Kullab, al-Muhasibi, dan ulama mutakallim lain di zamannya: ‘Kami tidak akan menghadiri majelis al-Ma’mun.’ Hingga akhirnya Imam Ahmad digiring ke Tarsus, lalu al-Ma’mun meninggal, digantikan al-Mu‘tasim, yang kemudian memaksanya dan mencambuknya. Mereka meninggalkannya begitu saja. Seandainya mereka mau hadir dan berdebat, tentu al-Ma’mun akan terhenti dari pendapatnya. Ia menyangka bahwa Ahlus Sunnah tak punya hujjah. Kalau saja hujjah itu disampaikan kepada al-Mu‘tasim, mungkin ia akan berhenti. Tapi karena mereka diam, Imam Ahmad harus menanggung ujian berat itu. Dan engkau, wahai Syaikh, menempuh jalan yang sama, hingga nanti para fuqaha akan mengalami nasib serupa atau mereka dipaksa berkata Al-Qur’an itu makhluk dan menolak ru’yatullah! Aku sendiri akan berangkat bila engkau tidak mau.”

Maka aku pun berangkat bersama utusan menuju Syiraz lewat laut, hingga sampai di sana. Saat masuk kota, aku disambut Ibn Khafif bersama rombongan sufi dan Ahlus Sunnah. Kami duduk di tempat biasanya Ibn Khafif mengajar kitab al-Luma‘ karya Abu al-Hasan al-Asy‘ari. Aku berkata kepadanya:
“Teruskanlah pengajaranmu seperti biasa.”

Ia menjawab:
“Wahai Qadhi, aku ini seperti orang bertayamum ketika air tidak ada. Jika air sudah hadir, maka tidak perlu tayamum lagi.”

Aku balas:
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Engkau bukan bertayamum, engkau juga punya bagian besar dalam ilmu ini. Engkau di atas kebenaran, dan Allah akan menolongmu.”

Lalu aku bertanya:
“Kapan aku bisa masuk menemui ‘Adhud Daulah?”
Mereka menjawab: “Hari Jumat, saat itu siapa pun boleh masuk, bahkan tanpa izin khusus.”

Hari Jumat pun tiba. Aku masuk, orang-orang telah berkumpul. Raja duduk di singgasananya. Para ulama berderet di sisi kirinya. Di atas mereka ada Qadhi al-Qudhat, Bisyr ibn al-Husain, yang kedudukannya sangat tinggi dan suaranya didengar dalam urusan negara.

Aku enggan duduk di belakang, dan tak pantas pula melangkahi orang-orang untuk maju. Aku lihat sisi kanan raja kosong, biasanya hanya diisi menteri agung atau bangsawan besar. Maka aku maju dan duduk di sebelah kanannya, sejajar dengan Qadhi al-Qudhat. Semua orang kaget, gusar, dan gempar, karena mereka menganggap itu pelanggaran besar.

Di majelis itu hanya ada seorang yang mengenalku. Ia berkata kepada Qadhi al-Qudhat:
“Semoga Allah memanjangkan umur Tuan! Inilah orang yang diminta sang Raja.”
Qadhi al-Qudhat pun berkata:
“Benar, inilah orang yang aku tuliskan tentangnya. Dialah juru bicara kaum Ahlus Sunnah.”

Raja lalu berkata:
“Ujilah dia dengan suatu masalah.”

Di sana hadir tokoh besar Mu‘tazilah Baghdad, dikenal dengan sebutan al-Ahdab (si bungkuk). Ia paling fasih dan paling berilmu di zamannya menurut mereka. Dari pihak Bashrah hadir pula banyak tokoh, yang tertua Abu Ishaq al-Nashibini.

Al-Ahdab berkata kepada murid-muridnya:
“Tanyakan kepadanya: apakah Allah boleh membebani hamba dengan sesuatu yang tak mampu mereka lakukan, atau tidak?”

Mereka pun bertanya kepadaku. Aku menjawab:
“Jika yang kau maksud dengan taklif hanyalah sekadar perintah, maka itu benar adanya. Allah berfirman: 

} قُلْ كُونُوا۟ حِجَارَةً أَوْ حَدِيدًا﴾

‘Katakanlah: Jadilah kalian batu atau besi’ (QS. Al-Isra: 50). Kita jelas tidak bisa menjadi batu atau besi. Allah juga berfirman: 

﴿أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِن كُنتُمْ صَدِقِينَ﴾

‘Sebutkan kepada-Ku nama-nama mereka ini, jika kalian benar’ (QS. Al-Baqarah: 31), padahal mereka tidak tahu. Dan firman-Nya: 

﴿ويدعون إلى السجود فلا يستطيعون )

‘Mereka diseru untuk sujud, tetapi tidak mampu’ (QS. Al-Qalam: 43). Semua ini adalah perintah dengan sesuatu yang tak bisa dilakukan.
Namun, jika maksudmu dengan taklif adalah perintah terhadap sesuatu yang bisa dilakukan atau ditinggalkan, maka pertanyaanmu kontradiktif dan rusak. Tidak pantas mendapat jawaban. Sebab engkau menyebutnya ‘taklif’, sedangkan taklif adalah tuntutan terhadap sesuatu yang mungkin dilakukan dengan susah payah. Sementara sesuatu yang mustahil, jelas tidak bisa dilakukan baik dengan susah payah maupun tidak.”

Al-Ahdab menyanggah:
“Wahai tuan, engkau ditanya dengan jelas, tapi engkau melemparnya ke berbagai kemungkinan. Itu bukan jawaban. Seharusnya kau jawab: ya, boleh; atau tidak, tidak boleh. Tetapi kau berkelit. Ini kelemahan.”

Aku pun berkata kepadanya:
“Wahai tuan, engkau seperti orang yang sedang berenang padahal kakinya tetap di air. Aku hanya membuka kemungkinan, tetapi engkau tidak bisa menanggapi kecuali dengan celaan. Jika punya jawaban, bawakanlah. Jika tidak, beralihlah ke persoalan lain.”

Raja menegur al-Ahdab:
“Dia sudah menjelaskan kemungkinan-kemungkinan dan membacakan ayat-ayat. Aku mengumpulkan kalian bukan untuk saling mencaci, tapi agar kita mendapat manfaat.”
Kemudian Raja menoleh kepadaku:
“Bicaralah lagi tentang masalah ini.”

Aku berkata:
“Yang disebut tidak mampu ada dua macam:

1. Tidak mampu karena benar-benar lemah.
2. Tidak mampu karena sibuk dengan lawannya. Misalnya: seseorang tidak mampu menulis karena sedang sibuk berbicara.
   Begitulah orang kafir: ia tidak mampu beriman bukan karena lemah, tapi karena sibuk dengan lawannya, yakni kekufuran. Maka sah jika ia diperintah dengan sesuatu yang tidak ia lakukan. Adapun orang yang benar-benar lemah, syariat tidak membebaninya. Namun, seandainya Allah membebani pun, itu tetap sah. Karena Allah berhak berbuat apa saja dalam kerajaan-Nya. Buktinya, para hamba berdoa agar tidak dibebani sesuatu di luar kemampuan mereka.”

Raja pun cenderung pada jawabanku.

Lalu Abu Ishaq al-Nashibini bertanya:
“Apakah Allah bisa dilihat dengan mata? Jika bisa, bagaimana mungkin, padahal sesuatu yang dilihat harus berhadapan dengan mata?”

Raja berkata kepadaku:
“Bicaralah tentang ini.”

Aku menjawab:
“Kalau sesuatu itu harus terlihat dengan mata secara langsung seperti yang ia katakan, maka mustahil. Tetapi kenyataannya sesuatu itu tidak dilihat dengan mata!”

Raja terkejut:
“Kalau begitu, dengan apa sesuatu dilihat kalau bukan dengan mata?”

Aku jawab:
“Dengan idrak (daya) yang Allah ciptakan di mata, yaitu bashar (penglihatan). Kalau sesuatu dilihat dengan mata itu sendiri, maka setiap mata pasti melihat. Padahal orang yang buta, matanya tetap ada, tapi ia tidak melihat apa pun.”

Raja makin kagum. Al-Nashibini pun mengaku:
“Aku tidak menyangka ia akan menjawab seperti ini. Aku hanya menyusun pertanyaan dengan prasangka ia akan mengakui bahwa penglihatan itu dengan mata.”

Raja pun marah:
“Engkau tidak sebanding dengan dia, karena dasar pertanyaanmu hanya dugaan.”

Aku melanjutkan:
“Mata (al-‘ain) tidak melihat. Yang melihat adalah penglihatan (bashar) yang Allah ciptakan. Lihatlah orang yang sekarat: ia melihat malaikat, sementara kita tidak. Nabi ﷺ melihat Jibril, sedangkan orang di sekitarnya tidak. Para malaikat melihat sesama mereka, tetapi kita tidak. Dalil bolehnya melihat Allah Ta‘ala adalah: tidak ada dalam hal itu pembalikan hakikat, tidak merusak dalil akal, dan tidak menetapkan sifat kekurangan pada Allah. Maka Allah termasuk dalam kategori sesuatu yang bisa dilihat, karena Dia ada. Sesuatu dilihat bukan karena ia ‘jenis’ tertentu, karena kita juga melihat berbagai jenis yang berbeda-beda. Juga bukan karena ia punya sifat tertentu, karena kita bisa melihat sifat-sifat yang tidak memiliki makna tambahan. Dan telah tetap dengan nash Al-Qur’an bahwa Allah akan dilihat di akhirat...”

Kemudian dalam majelis itu berlangsung banyak pembicaraan yang sangat mengagumkan sang raja. Lalu ia menoleh kepada qadhi al-qudhat dan berkata kepadanya: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu: suatu madzhab yang tersebar di seluruh permukaan bumi pasti mempunyai pembela?”

Setelah majelis usai, seorang dari para pengawal mengantarkanku ke sebuah rumah yang telah disiapkan untukku dengan segala yang kubutuhkan, lalu aku menempatinya.

Ketika al-Baqillani keluar, raja berkata kepada qadhinya: “Dahulu aku sempat berpikir siapa gerangan yang akan kukenakan hukuman karena duduknya dia di tempat itu tanpa izinku; tetapi sekarang aku tahu bahwa dia lebih berhak atas tempatku. Namun aku sedang diuji oleh kedudukan kerajaan.”

Kemudian ia menyerahkan putranya, Shamsham ad-Daulah, kepada al-Baqillani agar ia mengajarkan padanya madzhab Ahlus Sunnah; maka al-Baqillani mengajarkannya dan menyusun untuknya kitab al-Tamhid.


.

PALING DIMINATI

Back To Top