Bismillahirrohmaanirrohiim

INILAH TARIKAT MALAMATIYAH

Oleh Nuzul Iskandar 

Saat jagat medsos dihebohkan oleh hikayat wali malamatiyah yang konon-ke-konon itu, saya dikirimi kitab ini oleh seorang guru (semoga Allah merahmati dan memanjangkan umurnya). Judulnya “Al-Malamatiyah wa al-Shufiyah wa Ahl al-Futuwah” (2015), karangan Abu al-‘Ala al-‘Afifi. Tentu saja kitab ini tidak asing bagi para pengkaji tasawuf, tapi sama sekali baru buat saya yang awam ini. Maka, dengan segala keterbatasan, saya coba pula mengeja-eja kitab ini dengan tertarih-tatih, dan karena itu pula, bacaan saya sangat mungkin keliru.

Kitab ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat tentang akar sejarah malamatiyah, kerangka epistemologinya, dan pilar-pilar ajarannya. Bagian kedua berisi penjelasan tentang siapa saja tokoh-tokohnya dan kitab-kitab apa saja yang memberi uraian tentang malamatiyah. Walau terbilang cukup singkat (140-an halaman), kitab ini sudah sangat membantu kita untuk menimbang-nimbang mana malamatiyah sejati dan mana malamatiyah dalih (ngaku-ngaku malamatiyah). 

Seperti diuraikan di kitab ini, terdapat sejumlah perbedaan antara malamatiyah dan shufi/tasawuf pada umumnya (lagi-lagi ini pemahaman saya pribadi dan berpotensi keliru):
1.  Jika titik tekan dalam tasawuf adalah banyak melakukan/memperbuat, maka titik tekan malamatiyah adalah banyak meninggalkan. Maksudnya, dalam tasawuf secara umum ada banyak anjuran untuk melakukan zikir, wirid, dan amalan-amalan sunnah sebagai suluk (jalan) mendekatkan diri pada Allah, tetapi dalam ajaran malamatiyah  suluknya adalah meninggalkan banyak hal, terutama riya. Justru, malamatiyah meninggalkan banyak amalan zikir, wirid, dan amalan sunnat lainnya karena sangat berpotensi menjadi riya. Bahkan, jika zikirnya membawa kelezatan pada diri sendiri (talazzuz bizzikr), itu justru harus dihindari, karena berarti kelezatan zikir menciptakan riya yang telah menghijabnya dari Allah. 
2.  Dalam tasawuf, zahir mencerminkan batin, sedangkan dalam malamatiyah adalah sebaliknya. Ulama sufi yang semakin tinggi capaian spritualnya akan semakin memancarkan aura keteduhan, kedamaian, kesalehan, dan seterusnya. Sementara, dalam malamatiyah, mereka akan semakin baik jika dipandang semakin hina dan cela di mata manusia.
3.  Dalam tasawuf, boleh saja berkabar tentang capaian spiritual dan ahwal tertentu (tapi tentu saja tidak digembar-gemborkan), tetapi dalam malamatiyah tidak boleh ada da’awa (klaim) tentang capaian tertentu berupa karomah, kekhusu’an, kewalian, dan seterusnya. 

Namun demikian, titik samanya adalah:
1.  Baik ahli tasawuf maupun malamatiyah sama-sama tidak mengabaikan syari’at dan amalan fardhu;
2.  Sama-sama memiliki genealogi, silsilah keilmuan, dan guru-guru yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. 

Salah satu pokok ajaran malamatiyah adalah memerangi riya yang tercakup dalam tiga aspek: riya dalam amal, riya dalam ahwal capaian spiritual, dan riya dalam ilmu. Karenanya, penganut malamatiyah tidak boleh menampakkan amal perbuatannya di depan umum (tetapi juga tidak melakukan maksiat). 

Juga tidak ada klaim bahwa mereka telah mencapai derajat tertentu: punya karomah, musyahadah, mukasyafah, mencapai derjat kewalian tertentu, berpenampilan seperti orang saleh, dan seterusnya. Bahkan, mereka menghindakan rasa manisnya zikir atau menangis saat berzikir, karena semua rasa itu hanya akan menjauhkan mereka dari Allah.

Malamatiyah membedakan antara mu’jizat Nabi dan karomah wali. Bagi malamatiyah, mu’jizat Nabi harus ditampakkan di hadapan umat, karena itu menunjukkan kesempurnaan. Sementara, karomah wali harus disembunyikan, karena menampakkan karomah berarti kehinaan.

Malamatiyah juga akan menyembunyikan ilmu dan makrifat di hadapan orang lain. Mereka memilih diam atau dihina orang. Mereka mengutamakan zikir qalb ketimbang zikir lisan, karena zikir lisan bisa menampakkan kesalehan di hadapan orang.  Ketika mereka merasa ada karomah, maka rasa itu harus dilawan dan dibuang jauh-jauh, karena hanya akan mengurangi kedekatan mereka dengan Allah. Bagi mereka, karomah (dalam pengertian umum) hanyalah penghalang dari kebenaran. 
***
Nah, kalau ada yang ngaku-ngaku wali malamatiyah, tetapi ngaku juga memiliki karomah ini dan itu, lalu mencetak foto close up dengan penampilan bersurban, bergamis, dan dibubuhi gelar sayid, mualana, atau syekh dan disebar ke banyak orang, kemungkinan besar itu bukan malamatiyah. Bahkan, sikap ngaku-ngaku itu sendiri sudah bertolak belakang dengan hakikat malamatiyah. 

Kalau ada yang ngaku-ngaku malamatiyah tapi mengajarkan zikir bersama dengan sistematika tertentu, bahkan ada lafaz “ila hadhratillah ta’ala” (berkirim pahala alfatihah untuk Allah), lalu mereka merasa khusu’ bahkan sampai menangis lantaran bacaan itu, kemungkinan besar itu bukan malamatiyah. 
      
Seperti namanya, malamatiyah (atau disebut juga malamiyah) berasal dari kata “ma-la-ma” yang berarti hinaan. Maksudnya, pengamal malamatiyah ini biasa menampakkan keburukan dan menyembunyikan kebaikan agar dicela oleh manusia lain, bahkan ia sendiri akan mencela dirinya ketika menganggap ada sesuatu yang sudah baik dalam dirinya. 

***
Nah, dilemanya adalah bagi orang-orang yang tashdiq (percaya) pada sosok yang mengaku malamatiyah itu. Ketika banyak orang mengkritik, mencaci, bahkan menghina si sosok yang ngaku-malamatiyah itu, maka orang-orang yang tashdiq ke dia akan semakin percaya bahwa dia betul-betul malamatiyah sejati, buktinya ia banyak dihina dan dicaci orang. Semakin dihina, semakin tashdiq pengikutnya. Saya kira, ini titik rawan yang perlu diwaspadai. Kecuali kita memang ingin membiarkan mereka semua larut dengan segala halusinasi itu. 

Mohon dikoreksi jika ada kleru.


.

PALING DIMINATI

Back To Top