Bismillahirrohmaanirrohiim

Lebih Dekat Mengenal Thabathaba'i dan Tafsirnya (al-Mizan)

oleh Muhammad Idris Mesut pada 8 Oktober 2010 pukul 17:36  


"Tesis Goldziher dalam Madzahib Tafsirnya bahwa para mufassir Syi'ah Imamiyah tidak mau mengutip pendapat sahabat dan tabi'in ternyata keliru. Buktinya Thabathaba'i berkali-kali mengutip pendapat mereka. Bahkan hebatnya ia mau merefer kitab-kitab Sunni.!!" ‘Ali al-Awsiy"
  1. I.                   MENGENAL THABÂTHABÂ’Î
    1. A.    Riwayat Hidup

Al-Thabâtabâ'î bernama lengkap Sayyid Muhammmad Husain bin al-Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza ‘Alî Ashghar Syaikh al-Islâm al-Thabâthabâ’î al-Tabrîzî al-Qâdhî. Nama al-Thabâtabâ'î adalah sebuah nama yang dinisbatkan kepada salah satu kakeknya, yakni Ibrâhîm Thabâthabâ bin Ismâ’îl al-Dîbâj.  Ia dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah 1321 H/1892 M. Ia lahir dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga ulama terkemuka dan terkenal akan keutamaan dan pengetahuannya (terhadap agama, pen). Nasabnya bersambung hingga Nabi Muhammad Saw., dan termasuk dari keturunan yang keempat belas. Semua kakek-kakeknya adalah ulama-ulama terkemuka dan terkenal di kota Tabriz.[1]
Al-Thabâtabâ'î tumbuh berkembang dalam kehidupan yang dipenuhi dengan tradisi keilmuan. Sistem pendidikan yang diperolehnya sedari kecil adalah sistem pendidikan khusus yang dikenal dengan sebutan sistem pendidikan Hauzah. Ia begitu aktif mengikuti kajian-kajian yang diadakan di masjid-masjid.[2]
 Ibunya meninggal ketika ia masih berumur lima tahun, empat tahun berselang kemudian ayahnya meninggal. Sejak itu, untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari, seorang wali (pengurus harta peninggalan orang tua) menyerahkan al-Thabâtabâ'î dan adik putrinya kepada seorang pelayan laki-laki dan seorang pelayan perempuan.[3]


  1. B.     Karir Intelektual

Perjalanan panjang al-Thabâtabâ'î dalam mencari intelektualitasnya dimulai di kota kelahirannya, Tabriz. Kemudian pada tahun 1903 M, ia pindah ke kota Najf. Di kota Najf, ia sempat bermukim selama sekitar sepuluh tahun lamanya. Selama rentang waktu sepuluh tahun tersebut, ia sudah mendapatkan berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Hingga ia menggondol predikat mujtahid yang layak untuk melakukan ijtihad. Kemudian setelah bermukim di Najf, ia kembali ke tanah kelahirannya. [4]
Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali melakukan pengembaan intelektualnya ke daerah Qum dan menetap di sana. Tidak lama kemudian,  namanya  semakin dikenal hingga di luar Iran, lebih-lebih ketenarannya dalam bidang tafsir dan filsafat.
Ali al-Awsy mengomentari sistem pendidikan yang ditempuh oleh Tabhâtabhâ’î adalah sistem pendidikan yang ideal. Sistem pendidikan yang ditempuh Tabhâtabhâ’î melalui tiga tahapan, yakni sebagai berikut;
  1. Pendidikan dasar atau awal (Dirâsah al-Muqaddimâh). Pada tingkat dasar ini, ia mengenyam pelajaran-pelajaran seperti Mantiq, Nahwu, Sharf, Balaghah, Arudh, Fiqh dan Ushul Fiqh dasar.
  2.  Pendidikan menengah (Dirâsah al-Suthûh). Pada tingkat ini, ia menikmati pelajaran kajian kitab-kitab Fiqh, Ushul Fiqh, dan Filsafat.
  3. Pendidikan luar atau pendidikan tinggi (Dirâsah al-‘Ulyâ). Sebuah tingkat pendidikan yang mengedapankan analisa dari seorang pelajar. Pada tingkat ini para pelajar disuguhi beberapa pendapat ulama dalam berbagai disiplin, kemudian   menganalisa berbagai pendapat dan mentarjihnya.[5]

Mengenai kemampuan al-Thabâtabâ'î dalam bidang fiqh dan usul fiqh ini, Sayyid Husain Nasr memberikan penilaian, kalau saja ia tetap bertahan sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.[6]

Al-Thabâthabâ'î belajar Fiqh dan Ushul Fiqh di bawah asuhan dua ulama besar, Syaikh Muhammad Husain al-Nâînî dan  Syaikh Muhammad Husain al-Kimbânî. Sementara dalam disiplin ilmu Filsafat ia belajar di bawah bimbingan Sayyid Husain Al-Bâdikubî. Kemudian dalam bidang ilmu Etika ia belajar kepada Al-Haj Mirzâ ‘Alî al-Qâdhî[7]

Sebagaimana ulama-ulama hebat lainnya, karena ketenaran dan kehebatan intelektualnya, al-Thabâtabâ'î juga memiliki jumlah murid yang sangat banyak. Di antara muridnya yang paling terkenal di seantero dunia, khususnya di dunia Muslim adalah Sayyid Muhammad Murtadhâ Muthaharî.[8]

Al-Thabâtabhâ'î wafat pada tanggal 15 November 1981 di kota Qum dan dimakamkan disana, setelah lama dirundung sakit. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan menghadiri pemakamannya.


  1. C.    Karya-karyanya yang lain

Dalam bidang tulis menulis, al-Thabâtabâ'î  juga termasuk penulis produktif yang menghasilkan karya-karya orisinil. Di samping karya monumentalnya, Tafsir al-Mîzân, Al-Thabâtabâ'î juga memiliki karya-karya lainnya dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya adalah:
  1. Risalah fi al-Burhan (Risalah tentang Penalaran) berbahasa Arab.
  2. Risalah fi al-Mugalatah (Risalah tentang Sofistri) berbahasa Arab.
  3. Risalah fi al-Tahlil (Risalah tentang analisis) berbahasa Arab.
  4. Risalah fi al-Tarkib (Risalah tentang susunan) berbahasa Arab.
  5. Risalah fi al-I’tibariyyat (Risalah tentang Gagasan Asal-Usul Manusia) berbahasa Arab.
  6. Risalah fi al-Nubuwwah wa al-Manamat (Risalah tentang Kenabian dan Mmpi-mimpi) berbahasa Arab.
Sedangkan buku-buku yang ditulis ketika ia bermukim di Tabriz adalah:
  1. Risalah fi al-Asma’ wa al-Sifat (Risalah tentang Nama-nama dan Sifat Tuhan) berbahasa Arab.
  2. Risalah fi al-Af’al (Risalah tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan) berbahasa Arab.
  3. Risalah al-Insan Qabla al-Dunya (Risalah tentang Manusia Sebelum di Dunia) berbahasa Arab.
  4. Risalah al-Insan fi al-Dunya (Risalah tentang Manusia di Dunia) berbahasa Arab.
  5. Risalah al-Insan Ba’da al-Dunya (Risalah tentang Manusia Setelah di Dunia) berbahasa Arab.
  6. Risalah fi al-Wilayah (Risalah tentang Kekuasaan) berbahasa Arab.
  7. Risalah fi al-Nubuwwah (Risalah tentang Kenabian) berbahasa Arab.
  8. Kitab Silsilah al-Thabâthabâ’î fi al-Ajrbaijan (Kitab Silsilah al-Thabâthabâ’î di Azerbaijan) berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang ditulisnya di Qum adalah:
  1. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, berbahasa Arab.
  2. Usul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat) berbahasa Persi.
  3. Ta’liqat ‘Ala Kifayah al-Usul (Anotasi atas Kitab Kifayat al-Usul) berbahasa Arab.
  4. Ta’liqat ‘Ala al-Asfar al-Arba’ah (Anotasi atas kitab al-Asfar al-Arba’ah) berbahasa Arab.
  5. Risalah fi al-I’jaz (Risalah tentang Mu’jizat) berbahasa Persi.
  6. Al-Syi`ah fi al-Islam (Islam Syi`ah) berbahasa Arab.
  7. Al-Qur’an fi al-Islam (al-Qur’an dalam Islam) berbahasa Persi.[9]


  1. II.                MENGENAL TAFSIR AL-MIZAN
    1. Iran pada saat penulisan

Sudah menjadi sebuah ketentuan akademik bahwa mengkaji pemikiran seseorang harus mengetahui situasi dan kondisi yang mengitari penulisnya. Hal ini dimaksudkan agar menjadi salah satu piranti dalam memahami pemikiran penulis secara utuh. Karena sebuah teks tidak berada dalam ruang yang hampa.

            Dalam hal ini, penulis akan mencoba menelusuri sejarah situasi dan kondisi Iran (lebih khusus daerah Tabriz dan Najf) yang menjadi tempat kelahiran sekaligus tempat ditulisnya tafsir al-Mizan karya Thabâthabâ’î.

            Kota Tabriz adalah kota subur yang banyak melahirkan ulama-ulama yang membaktikan dirinya untuk agama dan Negara. Hasil karya mereka tidak hanya dalam bentuk bahasa Persi, melainkan juga dalam bentuk bahasa Arab ataupun Inggris.

            Berbeda dengan Tabriz, Najf, kota yang dikunjungi oleh Thabâthabâ’î dalam pengembaraan intelektualnya, sebagaimana penjelasan dari Muhammad Mahdi al-Isfahani – yang dikutip oleh Evra Wilya dalam disertasinya- adalah kota kering. Kondisi ini sesuai dengan namanya al-Najf atau al-Najfah yang berarti daerah yang tidak bisa dialiri air atau kering. [10]

            Situasi dan kondisi politik kota Najf antara tahun 1923-1933, kurun waktu ketika Thabâthabâ’î belajar di Najf, berada dalam pergolakan social dan politik sebagai imbas dari Perang Dunia Pertama. Setelah inggris menguasai Iran, maka dengan sendirinya najf, dahulu sebagai wilayah kekaisaran Utsmaniyyah, terlepas. Keadaan ini memberi bias bagi penduduk untuk melakukan pemberontakan. Masyarakat mendirikan sebuah lembaga dan organisasi dalam menghimpun kekuatan untuk melawan penjajahan Inggris.[11]


  1. B.     Proses penulisan

              Tafsir al-Mîzân terdiri dari delapan ribu empat puluh satu halaman (8041). Kitab berbahasa Arab ini telah dicetak hingga tiga kali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Mula-mula tujuan Thabâthabâ’î menulis kitab tafsir ini adalah untuk dijadikan mata kuliah di Universitas Qom, Iran.  Kemudian mahasiswa-mahasiswanya mengusulkan agar tafsir yang masih berbentuk makalah-makalah tersebut untuk dibukukan menjadi sebuah kitab tafsir. Kemudian Thabâthabâ’î mengabulkan permintaan mahasiswa-mahasiswanya  dengan menerbitkan volume pertama dari kitab tafsir ‘gemuk’ ini pada tahun 1956 M. Selanjutnya volume-volume berikutnya dirampungkan olehnya hingga mencapai dua puluh volume.


  1. C.    Sekilas tentang al-Mizan

            Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa kitab ini hingga tahun 1995 telah diterbitkan selama tiga kali. Dan jumlah volume dari tafsir ini adalah dua puluh. Penulis tidak mendapatkan data-data akurat terkait perkembangan penerbitan kitab ini, baik tentang jumlah penerbitan buku  hingga tahun 2010 ini, atau nama-nama penerbit yang menerbitkan buku ini.

  1. III.             KARAKTERISTIK PENAFSIRAN AL-MIZAN
    1. A.    Sumber penafsiran yang dominan

              Tafsir al-Mizân sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang bertitel Dalîl al-Mizân adalah bak sebuah ombak yang meninggi dari samudera ilmu-ilmu al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak terhingga.[12]

              Seperti yang tertera dalam buku-buku ulum al-Quran bahwa sumber penafsiran terbagi menjadi dua; Bi al-Ra’yi dan Bi al-Ma’tsûr.[13] Sementara kitab tafsir al-Mizân karya Thabâthabâ’î ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (baca; Bi al-Ma’tsûr). Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas Klantre dengan menuturkan, “Pengakuan Thabâthabâ’î sesuai dengan bukti.”[14]

              Sementara hemat penulis, sumber penafsiran kitab tafsir al-Mizân tidak hanya berdasarkan Bi al-Ma’tsur. Sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya, Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa pendekatan lainnya dalam menafsirkan teks al-Qur’an, seperti pendekatan lingusitik, filosofis, sejarah, teologi dan sebagainya. [15]

              Di samping itu, Thabâthabâ’î juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbas, Tafsir Thabari, Tafsir al-Kasyâf Zamakhsyari, Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Fakhrurrazi, Tafsir al-Manâr dan sejumlah tafsir lainnya.

              Selain merujuk pada tafsir-tafsir lain, Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan kamus bahasa Arab, seperti Lisân al-Arab, Al-Muhith dan lainnya. Untuk mengkomparatifkan kajian agama-agama, Thabâthabâ’î juga mengutip beberapa kitab-kitab agama lain, seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.[16]


  1. B.     Kecenderungan perspektif penafsiran

Kecenderungan Thabâthabâ’î dalam menafsirkan al-Quran secara umum penulis kategorikan sebagai tafsir yang multi disiplin. Artinya, segala bidang keilmuan hampir semua corak penafsiran dijelaskan dalam tafsir ini. Hanya saja sebagian orang ada yang mengkategorikannya sebagai tafsir yang memiliki corak filosofis, hal ini berangkat dari penguasaan Thabâthabâ’î dalam bidang filsafat. 

  1. C.    Langkah penafsiran

Langkah atau sistematika penafsiran Thabâthabâ’î dalam tafsir al-Mizân (sebagaimana terlampir dalam halaman lampiran) adalah dimulai dengan penjelasan seputar mufradât (arti kalimat), kemudian penjelasan dari segi hukum, teologi, dan diakhiri dengan kajian berbagai riwayat.

   Tampak dari uraian-uaraian yang telah disampaikan bahwa tafsir al-Mizan ini menggunakan metode tafsir tahlili. Semua asumsi tersebut didasarkan pada bentuk penafsiran al-Thabâthabâ’î yang meliputi:[17]
  1. Dalam kitab tafsirnya, al-Thabâthabâ’î memasukkan rujukan-rujukan yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah, tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan kalangan Syi`ah saja.
  2. al-Thabâthabâ’î menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dia juga memasukkan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir[18] baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.
  3. Perhatian terhadap masalah asbab al-nuzul, masalah qira’at, kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munasabat), juga mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi’in menjadi  pertimbangan al-Thabâthabâ’î ketika menafsirkan suatu ayat.
  4. Penolakan terhadap kisah-kisah Israiliyat dilakukan al-Thabâthabâ’î, sehingga dia jarang mengutip kisah Israiliyat ketika menafsirkan al-Qur’an.
  5. Menurut al-Thabâthabâ’î, setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua sisi, yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat atau makna yang terdapat “di balik” teks ayat yang disebut aspek batin. Dia menggunakan istilah ta’wil, dalam kitab tafsirnya, untuk maksud mengarahkan kembali pada permulaan atau asalnya. Dengan ta’wil berarti berusaha memahami rahasia batin teks karena makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an. Sebuah proses yang mengarahkan penemuan sesuatu dalam teks sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta’wil hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam menerjemahkan agama, menurut al-Thabâthabâ’î adalah Nabi  dan para imam Ahl al-Bayt.[19]
  6. Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut sesuai dengan maksud ayat. Ini dilakukan al-Thabâthabâ’î hanya sebagai penjelasan  tambahan tapi terkadang menolak pendapat-pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
  7. Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, al-Thabâthabâ’î berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya.


              Di samping itu, Thabathabâ’î juga memiliki perhatian yang cukup dalam menjelaskan tentang kajian makkiyah dan madaniyyah sebuah ayat.[20]

  1. IV.             PLURALISME MENURUT THABÂTHABÂ’Î
    1. A.    Tafsir Thabathaba’i atas ayat tentang pluralisme

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  (البقرة/62)

“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran di antara mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

              Al-Thabâthabâ’î mengutip sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab al-Dur al-Mantsûr, karya al-Suyûthî bahwa ayat di atas memiliki setting historis (asbâb al-wurûd) tersendiri. Yaitu sebuah kisah yang diriwayatkan dari Salmân al-Fârisî bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang posisi ahli kitab yang hidup bersamanya, kelak di akhirat? Kemudian ia menuturkan tentang ritual ibadahnya . Lalu turunlah ayat di atas.

              Al-Thabâthabâ’î menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pengulangan kata iman  (من أمن) adalah sebuah sifat yang hakiki. Yakni kebahagiaan yang dijanjikan oleh ayat di atas tidak diharuskan beragama Islam, orang-orang Yahudi, Nashrani.  Melainkan orang-orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebaikan.[21]

  1. B.     Tafsir Mufassir lain atas ayat tentang pluralisme

Sementara Imam al-Qurthûbî mengutip pendapat dari Ibnu Abbas bahwa ayat di atas telah dinasakh dengan ayat yang berbunyi:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ [آل عمران/85]

“Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima.”[22]

Dilain pihak, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyafnya memberikan komentar atas ayat di atas dengan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah, akan selamat sekiranya mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shaleh serta masuk Islam dengan tulus.[23]

  1. C.    Analisis Perbandingan

Dari ketiga pendapat para mufassir di atas setidaknya bisa dianalisa lebih mendalam bahwa perbedaan pendapat antara Thabâthâba’î dengan al-Qurthûbî adalah berangkat dari permasalah Naskh. Bagi Thabâthabâ’î, Naskh dalam ayat ini tidak terjadi, karena naskh hanya berkaitan dengan masalah hukum, bukan dalam masalah ancaman dan janji sebagaimana ayat di atas. Sementara bagi al-Qurthubi, naskh bisa dilakukan dalam wilayah non hukum.

              Sedangkan pendapat al-Zamakhsyari bermula dari redaksi kewajiban beriman kepada Allah dipahami bahwa secara implisit ayat itu bermakna keharusan masuk Islam.  

  1. V.                Kesimpulan


Dari contoh ayat yang penulis suguhkan di atas, setidaknya bisa disimpulkan secara sederhana bahwa penafsiran Thabâthabâ’î adalah penafsiran yang mengkompromikan kedua sumber tafsir, baik bi al-Ma’tsûr maupun bi al-Ra’yi.

Di samping itu, kajian yang ia tawarkan dalam kajian pluralism agama juga bisa dikatakan progresif, karena tidak hanya berhenti pada riwayat-riwayat. Melainkan juga menggunakan nalar, di samping sejarah agama-agama yang juga dieksplornya dalam kajian ini.

Perangkat tafsir yang digunakan oleh Thabâthabâ’î dalam menafsirkan ayat pluralism di atas, pada gilirannya akan menyimpulkan sebuah tesis bahwa keselamatan di akhirat tidak hanya dimiliki oleh kaum Muslim saja, melainkan juga dimiliki oleh umat non Muslim lainnya, dengan syarat ia mengimani Allah, Hari Akhir, dan Berbuat kebaikan. 


Wallahu A’lam

Daftar Pustaka


 ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân (Teheran; Mu’âwaniyah al-Ri’âsah Li al-‘Alâqâh al-Dauliyyah Fi Mandzamah al-A’lam al-Islâmî, 1985)
Thâbatabâ`î, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah,  (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M)
-------------, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an (Qum ; Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1995)
Sayyid Muhammad ‘Alî ‘Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum  Wa Manhajuhum (Teheran; Mu`assasah al-Thibâ’ah Wa al-Nasyr, 1994) 
Sayyid Husain Nashr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Thabhâtabhâ'î, Al-Qur’an fi al-Islâm, , terjemahan M. Wahyudin, (Bandung:Mizan, 2009)
Evra Wilya, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabâthabâ’î, (UIN Jakarta, disertasi doctoral)
Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985)
Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarânî, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt)
Imam al-Qurthûbî, Jâmi’ al-Ahkâm al-Quran (Beirut; Dâr al-Fikr, tt)
            Al-Zamakhsyarî, Al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)


[1] ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân (Teheran; Mu’âwaniyah al-Ri’âsah Li al-‘Alâqâh al-Dauliyyah Fi Mandzamah al-A’lam al-Islâmî, 1985) cet 1. h.44

[2]Ibid

[3] Thâbatabâ`î, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah,  (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M), hlm. 15.

[4]Sayyid Muhammad ‘Alî ‘Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum  Wa Manhajuhum (Teheran; Mu`assasah al-Thibâ’ah Wa al-Nasyr, 1994)  cet. 1 h. 703 

[5]‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.46 

[6] Sayyid Husain Nashr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Thabhâtabhâ'î, Al-Qur’an fi al-Islâm, , terjemahan M. Wahyudin, (Bandung:Mizan, 2009), hlm. 21 

[7] ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î, op.cit. h. 47-48

[8] Ibid                                              

[9]Ibid

[10] Evra Wilya, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabâthabâ’î, (UIN Jakarta, disertasi doctoral) hal.98

[11] Ibid

[12] Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985) cet 1. h. 7

[13] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarânî, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 2. h.10-69

[14] Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân, op.cit h. 7

[15] Sebagaimana yang tertulis dalam  setiap  cover dalam dari tiap-tiap volume kitab tafsir al-Mizân. Hal ini juga dibuktikan dengan sistematika penulisan tafsir tersebut.

[16] Mengenai rujukan-rujukan Thabâthabâ’î terhadap kitab tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab agama lainnya, lihat ‘Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.49-70 

[17] `Ali al-Awsi, "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu’assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/ 1973 M).

[18] Mutawatir, dalam ilmu al-hadis, adalah hadis-hadis yang dirwayatkan oleh lebih dari dua orang dalam setiap tingkatannya (tabaqat).

[19] al-Tabataba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1415 H/1994 M),  hlm. 47.

[20] Ali al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân. Op.cit h.114-118

[21] Sayyid Muhammad Thabâthabâ’î, al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an (Qum ; Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1995) cet 8. Vol. 1 h 193

[22] Imam al-Qurthûbî, Jâmi’ al-Ahkâm al-Quran (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 1. h. 394

[23] Al-Zamakhsyarî, Al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) vol.1, h.137



.

PALING DIMINATI

Back To Top