Bismillahirrohmaanirrohiim

Bom di Pesantren Umar bin Khathab dan Upaya Deradikalisasi Pesantren

Oleh Irwan Masduqi

Tulisan ringan ini hanya uneg-uneg saya berkaitan dengan bom rakitan yang meledak di Pesantren Umar bin Khathab, Nusa Tenggara Barat. Ledakan itu spontan mendapat respon dari berbagai kalangan diantaranya Menteri Agama Suryadharma Ali. Ia menyatakan bahwa jika pesantren tersebut terbukti menganut garis keras maka akan ditutup.

Selaku santri yang pernah dididik di kalangan pesantren tentu saya juga ikut merasa “prihatin” (meminjam istilah pak Beye) atas kejadian itu. Namun keprihatinan saja tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ada upaya kongkret untuk membendung gejala terorisme di kalangan pesantren melalui deradikalisasi teologi kekerasan. Sejauh pengalaman saya yang pernah bertahun-tahun hidup di kalangan pesantren, harus diakui bahwa pesantren selama ini memang mengajarkan kurikulum yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin yang berpotensi menumbuhkan benih-benih radikalisme. Kebanyakan kitab fikih yang diajarkan di kalangan pesantren memuat bab tentang kewajiban mendirikan Khilafah Islamiyah (wujub nasb al-imamah fi nidhami khilafah al-Islamiyah).

Bab khilafah Islamiyah ini akan disikapi secara beragam oleh kyai-kyai dan santri-santri. Sebagian besar kyai yang bijak dan nasionalis di kalangan NU selama ini telah berusaha berpikir realistis bahwa masyarakat Islami lebih utama diwujudkan ketimbang menegakkan negara Islami secara formalistik. Namun bagi sebagian kecil kyai ada saja yang berpikir layaknya para pemimpin DI/TII/NII/JI bahwa khilafah Islam adalah harga mati. Hanya melalui sistem itulah syariat dapat diterapkan secara total. Konsekuensinya, pemerintah dan aparat negara yang menolak penegakan khilafah adalah kafir sehingga halal darahnya.

Nah, pemikiran seperti ini harus dibendung dengan cara kyai-kyai harus berani mendekonstruksi wacana khilafah, atau setidaknya memberikansecond opinion dari ulama sekular dari kalangan Muktazilah maupun pemikir kontemporer seperti Ali bin Abd al-Raziq, penulis buku al-Islam wa Ushul al-Hukm. Kyai-kyai sudah saatnya semakin giat menjelaskan kepada para santri bahwa demokrasi dan pancasila merupakan hal yang kompatible dengan prinsip Islam. Kemudian perlu dibangun kesadaran di kalangan santri bahwa khilafah islamiyah hanyalah produk sejarah yang terikat dengan konteks masa lalu, sehingga kitab-kitab fikih yang menerangkan hal itu tidak selayaknya dikultuskan bagaikan kitab suci.

Doktrin lain yang sangat berpotensi menumbuhkan benih radikalisme adalah doktrin jihad. Kitab-kitab tafsir dan fikih yang dijadikan kurikulum pesantren juga mengandung ajaran jihad permanen dan global. Dalam kitab Fath al-Mu’inal-MahaliTafsir ibn Katsir, dan lain-lain terdapat keterangan bahwa perang melawan non-muslim harus dilakukan minimal setahun sekali. Jihad permanen ini didasari teori ushul fiqh/ulum al-Quran bahwa ayat pedang menghapus ayat-ayat toleransi la ikraha fi din (tak ada paksaan dalam agama), sehingga jihad adalah bersifat permanen dan global. Doktrin inilah yang sering digunakan oleh para teroris untuk menjustifikasi aksi kekerasannya. Dengan demikian, kyai-kyai saat ini bertugas melakukan reinterpretasi dan deradikalisasi makna jihad. Di kalangan pesantren harus diwacanakan opini ulama toleran antinasikh-mansukh yang berpendapat bahwa ayat pedang tidak menghapus ayata-ayat toleransi, sehingga jihad hanya bersifat kondisional dan temporal. Jihad hanya bersifat defensif dan pengecualian, sementara perdamaian adalah tujuan utama dan hukum asal yang harus diwujudkan. Intinya kyai-kyai harus menjadi peacemakers yang berupaya menggalakkan gerakan conterterrorism.

Santri-santri pun seyogyanya diberi materi tentang apa itu terorisme, akar-akarnya, dan solusinya. Terorisme (al-irhab) bukanlah fenomena yang ada dalam Islam, tetapi ada di semua agama. Akar-akar terorisme (judzur al-irhab/the roots of terrorism) bukan hanya penafsiran yang salah terhadap teks-teks agama. Terorisme mempunyai faktor langsung dan tidak langsung yang dapat muncul akibat faktor ekonomi, politik, etnis, dan ideologi radikal. Dengan demikian, counterterrorism merupakan tugas kolektif. Kalangan pesantren bertugas mengajarkan deradikalisasi doktrin kekerasan, sementara pemerintah harus mewujudkan kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan di tengah masyarakat. Di pihak lain, Barat pun harus mengubah kebijakan luar negerinya yang selama ini terkesan berwajah standar ganda. Barat terlihat diam seribu bahasa dalam menyikapi pembantaian Zionis terhadap warga Palestina, tetapi mereka vokal dan agresif terhadap pejuang muslim.

Barat harus objektif. Tidak ada gunanya jika Barat mengklaim pesantren sebagai sarang teroris, sementara mereka tidak pernah menganggap aksi-aksi kekerasan Zionis sebagai tindakan terorisme. Kalangan Islam dan Barat harus sama-sama sadar bahwa perdamaian dunia adalah tugas manusia tanpa memandang agamanya. Sebagai sesama keturunan Adam, semua manusia adalah khalifah yang bertugas menjaga perdamaian, tidak seperti makhluk-makhluk sebelum Adam yang suka menumpahkan darah (yasfiku dima’).

Mlangi Yogyakarta, 13 Juli 2011


.

PALING DIMINATI

Back To Top