Bismillahirrohmaanirrohiim

Kanonisasi Sahih Bukhari dan Muslim dalam Perspektif Jonathan Brown

Oleh Irwan Masduqi

Hadits dalam Perspektif Orientalis sebelum Brown
Kalangan orientalis sering mempertanyakan apakah otoritas literatur hadith sebagai sumber memiliki legitimasi? Mereka secara garis besar meragukan otentisitas hadith. Pada tahun 1890, kajian hadith menjadi bidang tersendiri yang terlepas dari kajian hukum Islam, sejarah Islam, dan sejarah Nabi. Pada saat itu, Ignaz Goldziher (1850-1921), sarjana Yahudi Hungaria, mempublikasikan volume kedua dari karyanya yang berjudulMuhammedanische Studien yang di dalamnya dibahas mengenai otentisitas hadith. Meskipun Goldziher dikenal sebagai orientalis yang memiliki perhatian pada hadits, namun sebelum era Goldziher tercatat banyak orientalis lain yang memiliki perhatian yang sama.

Gustav Weil (1808-1889) merupakan pendahulu Goldziher yang cukup ternama melalui karyanya yang berjudul Gestichchte der Chalipen. Ia menyatakan bahwa semua hadith dalam Sahih al-Bukhari harus ditolak. Selain itu, ia sangat skeptik terhadap otentisitas ayat-ayat yang menerangkan isra’ dan hal-hal lain tentang Muhammad. Berbeda dengan Gustav Weil, Aloys Sprenger (1813-1893), dalam Das Leben und die Lehre des Mohammad, menyatakan bahwa literatur hadith mengandung banyak hadith yang otentik daripada yang palsu. William Muir (1819-1905) juga dikenal concern dalam isu otentisitas hadith dalam intoduksi The Life of Muhamet. Menurutnya, meskipun banyak hadith palsu yang terdapat dalam literatur hadith, namun tetap saja ada hadith yang mengandung fakta historis yang tak bisa ditolak.

Orientalis lain yang cukup ternama pada masa  sebelum Goldziher adalah Reinhart Dozy (1820-1883). Ia sangat terpengaruh oleh Sprenger dan Muir ketika berpendapat bahwa sekitar separuh hadith al-Bukhari adalah otentik tetapi sebagiannya sebetulnya palsu. Hal itu disebabkan karena hadith baru ditulis abad ke-2 H.

Tetapi nama Goldziher sepertinya lebih populer dibanding lainnya. Orientalis yang pernah belajar di al-Azhar ini dianggap sangat otoritatif dalamIslamic studies. Ia sangat skeptis terhadap otentisitas hadith, sebab menurutnya mayoritas hadith Nabi adalah produk kondisi sosio-politik pada masa awal. Semua literatur hadith mencakup semua jenis pertikaian politik antar sekte. Masing-masing sekte memalsukan hadith untuk kepentingan ideologis dan politis mereka. Isnad pun akhirnya direkayasa agar sekan-akan hadith palsu tersebut bersumber dari Nabi. Lebih dari itu, legitimasi hadith sebagai sumber kedua Islam baru muncul belakangan. Pandangan ini kemudian diambil oleh Joseph Schacht, dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, yang menegaskan bahwa tradisi profetik tidak dapat dijadikan sumber terpercaya.

Sezaman dengan Goldziher, ada pula orientalis Belanda yang meragukan otentisitas hadith. Ia adalah Snouck Hurgronje (1857-1936). Menurutnya, hadith hanyalah produk kelompok dominan selama tiga abad awal dan merefleksikan pandangan-pandangan mereka. Hadith juga dinilainya telah terpengaruh oleh elemen-elemen Perjanjian Lama dan Baru, bahkan hukum Romawi. Kemudian para ahli hadith menyadari keterpengaruhan itu sehingga mereka menyeleksi dan mengeliminasi hadith-hadith yang dianggap berpengaruh negatif. Henri Lammens (1862-1937), orientalis Belgia, menambahkan bahwa selain hadith telah terpengaruh oleh undang-undang Romawi, hadith juga saling bertentangan.

Para ahli hadith memang telah mencurahkan pikiran mereka untuk mengkritik transmisi hadith untuk membedakan mana yang valid dan yang tidak. Tetapi, harus digarisbawahi, para ahli hadith dinilainya telah mengabaikan anacronisme antar hadith, sehingga banyak hadith berisikan narasi yang kontradiktif, kemustahilan historis, dan irasionalitas.
Skeptisisme orientalis yang meragukan otentisitas hadith pun tampak dalam pemikiran Samuel Margoliouth (1858-1940). Seperti halnya Goldziher, ia menyatakan bahwa penyematan terminologi “Sunnah” pada perkataan dan tindakan Muhammad baru terjadi belakangan. Sunnah sebenarnya adalah istilah pra-Islam yang menunjukkan tradisi dan adat pra-Islam. Sunnah kemudian digunakan untuk menamai hadith Nabi melalui proses gradual yang panjang. Sunnah sengaja dimunculkan untuk menyatukan perbedaan budaya dan kelompok yang baru memeluk Islam pasca ekspansi. Kemudian untuk menguatkan legitimasi dan otoritas Sunnah sebagai sumber hukum Islam maka dibangunlah teori ‘ishmah (infallibillity) yang menegaskan ketidakmungkinan salah bagi Nabi. Pandangan yang hampir sama dalam meragukan otentisitas hadith tampak pula dalam upaya kronologisasi hadith a la Arent Jan Wensinck (1882-1939), Josef Horovitz (1874-1931), dan lain-lain.

Pandangan-pandangan di atas lantas mendapat kritik tajam dari Johann Fueck (1894-1974). Fueck mengkritik kecenderungan skeptis orientalis. Menurutnya, Muhammad sejak era perdana telah memiliki sejumlah perkataan dan tindakan yang menjadi contoh-contoh ideal bagi pengikutnya. Pengikut Muhammad tidak mengumpulkan hadith untuk keperluan politis dan hadith bukanlah produk pandangan para sahabat. Hadith dikodifikasikan dan dikanonisasikan berdasarkan niat tulus untuk melestarikan ajaran Muhammad yang sangat berguna bagi pengikutnya. Fueck menilai bahwa kebanyakan orientalis telah gagal melihat otentisitas literatur hadith. Mereka melihat bahwa hadith hanyalah mosaic yang berisi kumpulan pengaruh dan pinjaman dari elemen-elemen tradisi non-Islam. Fueck menyadari bahwa ahli hadith memang tidak berhasil secara total mengeliminasi seluruh hadith palsu, namun mereka telah melakukan kerja ilmiah yang luar biasa dalam menyeleksi seabrek hadith yang valid. Dengan demikian, mayoritas hadith dapat dipercaya. Fueck juga menolak bahwa sanad baru muncul pada periode ke-2 H. Baginya, sanad telah mentradisi sejak era awal dengan bukti Abu Bakar, Umar, dan para sahabat dekat Muhammad biasa meriwayatkan hadits darinya.

Sahihayn dalam Pandangan Jonathan Brown
Jonathan Brown menyadari bahwa kecenderungan orientalis Barat terfokus pada pertanyaan seputar otentisitas hadith. Untuk melampaui kecenderungan umum itu, Brown meneliti aspek lain dari diskursus hadith, yakni kanonisasi Sahih Bukhari dan Muslim (Sahihayn), melalui karyanya yang berjudul The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon. Brown melacak asal-usul Sahihayn, perkembangannya, dan fungsinya mengingat dua literatur hadith tersebut dianggap otoritatif di mata kalangan tradisional Sunni. Brown tidak mengkritik hadits-hadits dalam Sahihayn, baik secara matan maupun sanad. Brown lebih fokus mengamati proses kanonisasi Sahihayn dalam sejarah kebudayaan Islam.

Kanonisasi merupakan proses yang berkaitan dengan terbangunnya otoritas teks di tengah-tengah komunitas tertentu. Kanonisasi mengandaikan aksi sebuah komunitas dalam memperlakukan teks yang mereka yakini otoritatif. Berkaitan dengan Sahihayn, maka yang dimaksud dengan kanonisasi adalah bagaimana proses dua kitab tersebut diterima oleh komunitas Sunni karena dipercayai sebagai dua rujukan yang merepresentasikan ajaran Nabi yang otentik. Kanonisasi merupakan aktivitas sebuah komunitas yang mentransformasikan teks menjadi simbol kekuatan melalui pengamalan anjuran teks, pengkajian, dan apresiasi.

Dalam karyanya tersebut, Brown mengajukan pertanyaan-pertanyaan; 1) mengapa yang diyakini paling otoritatif adalah Sahihayn?; 2) Kekuatan apa yang mendorong kanonisasi Sahihayn?; 3) Kenapa kanonisasi dimulai sejak abad ke-5 H/11 M?; 4) Apakah kanosisasi merupakan proses alami atau didorong oleh kekuasaan dan kepentingan?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang dicari jawabannya oleh Brown. Untuk menjawab pertanyaan pertama, Brown dengan panjang lebar mengkomparasikan kekuatan dan popularitas Sahihayn dibanding kutub al-sittah lainnya. Teks, baik itu religius maupun non-religius, akan mengalami penerimaan dan penolakan dari komunitas pembaca. Strata penerimaan dan penolakan pun akan berbeda-beda antara satu teks dengan yang lainnya. Sebagai contoh, misalnya, kisah roman Romeo dan Juliet menempati posisi paling populer dibanding kisah roman lainnya. Dengan demikian, kanonisasi merupakan kejadian historis yang disengaja karena faktor-faktor tertentu dan bukan suatu kebetulan belaka.
Di Khurasan, sepanjang tahun 250 H/865 M hingga 350 H/960 M gerakan seleksi hadith di lakukan oleh sejumlah sarjana hadits, antara lain al-Bukhari, Muslim, Ibn Khuzayma, Ibn Hibban, dan lain-lain. Namun mengapa al-Bukhari dan Muslim dianggap paling kanonik oleh komunitas Sunni? Al-Hakim al-Naysaburi merupakan salah satu ulama hadits yang sangat mengapresiasi Sahihayn. Dalam Madkhal ila al-Iklil, ia menyatakan bahwa banyak sekali ulama yang concern dalam menyeleksi kesahihan hadits di Khurasan, tetapi Abu Abdillah al-Bukhari dan Abu Husayn Muslim al-Naysaburi memiliki keunggulan tersendiri. Keunggulan itu dapat dilihat dari tingginya level pengetahuan dan kritisisme dalam proses seleksi hadits yang otentik. Al-Hakim bahkan terkesan terlalu percaya pada Sahihayn sehingga ia menyatakan bahwa jika ditemukan sebuah hadits yang tidak ada rujukan sanadnya dalam Sahihayn maka hadits tersebut harus dipertanyakan ulang otentisitasnya, karena bisa jadi hadits tersebut memiliki ilat yang tersembunyi (hidden flaws/’ilal al-mastur). Meski demikian, al-Hakim tetap kritis dalam memperlakukanSahihayn. Dalam beberapa kesempatan, antara lain ketika menyikapi hadits bahwa umat terbaik adalah generasi setelah Nabi, al-Hakim meragukan keotentikannya karena dalam sanadnya terdapat Muslim bin al-Hajjaj yang diragukan kejujurannya. Kritisisme seperti ini tidak mengherankan karena al-Hakim tidak merasa bahwa Sahihayn bebas dari kesalahan. Bahkan al-Bukhari dan Muslim sendiri tidak mengklaim diri mereka benar secara mutlak.

Jika dibandingkan dengan kutub al-sihah lainnya, Sahihayn lebih sedikit kesalahannya. Sebagai contoh, misalnya, Sahih Ibn Hibban dinilai oleh al-Hakim mengandung banyak hadits yang transmiternya tidak dikenal. Hal ini berbeda dengan Sahihayn yang transmiternya dikenal secara populer. Dengan mempertimbangkan hal itu maka wajar jika Sahihayn dianggap oleh kalangan Sunni sebagai kitab yang paling otentik dan valid setelah al-Quran. Kelompok Sunni bisa dikatakan hampir serempak dan ijma’ memposisikan Sahihayn sebagai rujukan primer yang dipercaya. Goldziher menyatakan bahwa kristalisasi Sunni terbangun di atas doktrin konsensus (ijma’). Brown kemudian menilai bahwa konsensus Sunni juga merupakan dasar kanonisasi Sahihayn.

Kekuatan Pendorong Kanonisasi Sahihayn
Kanonisasi juga merupakan aksi yang menjadi sarana untuk mengekspresikan identitas komunal. Melalui upaya otorisasi Sahihayn, komunitas Sunni dapat mengekspresikan identitasnya sebagai pengikut ajaran otentik Nabi. Dengan demikian maka kanonisasi Sahihayn secara tidak langsung layaknya communal drama untuk mengartikulasikan Sunnisme. 
Setelah melalui proses beberapa abad akhirnya secara gradual Sahihayn diadopsi oleh madzhab-madzhab Sunni sebagai rujukan otoritatif dan sarana publik untuk aktivitas ritual sehari-hari. Sejak awal abad ke-4, Sahihayn sudah menjelma menjadi semacam a mantra of communalism di mana masing-masing madzhab merujuknya sebagai dasar perdebatan hukum dan teologi. Di sisi lain, perkembangan kanonisasi dan fungsi yang dimainkan Sahihayn juga mencerminkan perkembangan identitas Sunni.

Namun perlu digarisbawahi bahwa kanonisasi bukanlah aktivitas komunal yang monolitik. Kanonisasi selalu melibatkan proses dialogis-dialektik dimana pihak-pihak pro dan kontra mengutarakan aspirasinya. Mayoritas ulama Sunni memang merasa nyaman dalam kemapanan canonical culture, tetapi Ibn Salah, al-Nawawi, Muhammad bin Ismail al-Amir al-San’ani, al-Albani, dan lain-lain berusaha menggoyang kemapanan itu. Mereka menolak budaya kanonisasi Sahihayn dengan mencoba mempertanyakan ulang otentisitas hadits-hadits di dalamnya.

Kanonisasi juga muncul didorong oleh dependensi Sunni terhadap teks. Budaya teks hampir dapat ditemui dalam semua madzhab dimana mereka menggantungkan aktivitasnya sehari-hari pada sandaran teks. Hal ini dapat dimaklumi sebab Sunni merupakan kelompok ortodoks yang rigid dan terkungkung dalam budaya transmisi. Mereka hampir tidak menggunakan daya pikir kecuali hanya dalam porsi yang minim. Ahl ra’yi dinilai rasional dan Syafiiyah pun mengadopsi logika Yunani, tetapi rasionalitas itu pun berkutat di seputar teks. Nah, kebutuhan komunal terhadap teks inilah yang mendorong kanonisasi sumber ajaran yang terkodifikasikan dalam Sahihayn.

Kemapanan Kanonisasi pada Abad ke-5 H/11 M
Kemapanan doktrin Sunni terbangun beriringan dengan diterimanya sumber-sumber doktrin di tengah-tengah komunitas Sunni. Sejak awal abad ke-4 H sebenarnya Sahihayn telah diterima oleh sebagian ulama di kawasan Irak, Iran, dan Hijaz. Namun setelah kemapanan madzhab-madzhab dan berdirinya madrasah-madrasah maka Sahihayn menjadi kurikulum standar bagi para pelajar ilmu hadits. Dalam sejarah Naysabur, Abd al-Ghifar al-Farisi (w. 529H/1134 M) mencatat bahwa antara tahun 385 H/995 M hingga 465 H/1072 M hanya ada sepuluh pengkaji Sahihayn. Tetapi antara 465 H/1072 M hingga 545 H/1150 ada sekitar 55 pelajar yang mengkaji Sahihayn (peningkatannya 450%). Pada tahun-tahun berikutnya kuantitas pengkaji Sahihayn semakin meningkat.

Pengadopsian Sahihayn sebagai rujukan umum di madrasah diindentifikasi sebagai bentuk pergeseran paradigma dari budaya living isnadmenuju budaya transmission of books. Inilah fenomena-fenomena yang mewarnai kanonisasi sebuah teks hidup menjadi teks mati. Teks hidup yang berdimensi historis dan dialektis akhirnya menjadi teks ahistoris dan statis. Hal ini pada periode berikutnya mendorong kanon Sahihayndiinterpretasikan ulang dalam bentuk syarah oleh ulama belakangan seperti Ibn Hajar al-Asqalani dan lain-lain.

Kanosisasi; antara Proses Alami dan Tujuan Politis
Kanonisasi bukanlah kejadian historis yang muncul dalam ruang hampa. Kanonisasi Sahihayn didorong oleh kebijakan Nizam al-Muluk pada masa Dinasti Seljuq. Nizam al-Muluk membangun universitas Nizamiyah dan mengundang para ulama terkemuka untuk memberikan materi pelajaran kepada para murid. Diantara kitab yang dikaji di Nizamiyah adalah Sahihayn. Sahihayn langsung mendapatkan tempat di hati mereka dan hadits-haditsnya mulai mendapatkan kepercayaan. Proses kanonisasi pun terjadi.

Brown mensinyalir bahwa antagonisme antara Dinasti Seljuq dengan kekuatan politik Syiah menjadi pendorong kanonisasi secara tidak langsung. Syiah memiliki tradisi keilmuan yang maju dalam segala bidang, tak terkecuali bidang hadits. Syiah memiliki pola transmisi hadits yang berbeda karena mereka lebih percaya pada sumber-sumber ahlul bait. Sebagai bentuk perlawanan politik, ideologi, dan keilmuan, maka kanonisasi Sahihayn merupakan proyek negara yang diandaikan dapat mengungguli tradisi transmisional Syiah.


Daftar Pustaka

Goldziher, Mohammed and Islam, translated from the German by Kate Chambers Seele, Oxford University Press, 1917.

Fatma Kizil, The Views of Orientalists on the Hadith Literature: A Cronological Analysis (1848-1950), article. Download dari http://www.scribd.com/doc/37521485/Orientalists-on-Hadith-from-1848-to-1950-by-Fatma-Kizil.

Johann Fueck, The Role of Tradisionalism in Islam: Hadith, ed. Harald Motzki, Great Britanian, 2004.

Jonathan Brown, The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon, Brill: Leiden-Boston, 2007.


.

PALING DIMINATI

Back To Top