Judul: Sejarah Shalat
Judul Asli: Tarikh as-Shalah fi al-Islam
Penulis: Dr. Jawwad ‘Ali
Penerjemah: Irwan Masduqi, Lc
Tebal buku: xx + 215 hlm
Ukuran buku: 12 x 18 cm
Penerbit: Jausan
Cetakan: Pertama, 2010
Judul Asli: Tarikh as-Shalah fi al-Islam
Penulis: Dr. Jawwad ‘Ali
Penerjemah: Irwan Masduqi, Lc
Tebal buku: xx + 215 hlm
Ukuran buku: 12 x 18 cm
Penerbit: Jausan
Cetakan: Pertama, 2010
.
PERNAHKAH, Anda (khususnya yang terlahir  muslim), bertanya-tanya, atau mungkin ditanya orang; “Sebetulnya  bagaimana, awal mula shalat diperintahkan oleh Allah? Kapan, dan kenapa  pula, shalat diwajibkan?”
Mungkin sebagian besar kita akan menjawab  “Wah, nggak tahu saya”——dan mungkin sebagian lagi akan menjawab dengan  nada konservatif, “Shalat awal mula diperintahkan oleh Allah pada saat  Nabi Isra’, dan setelah itu dijadikan sebagai kewajiban bagi umat Islam  yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan tidak perlu dipertanyakan apa  dan mengapanya. Tugas kita hanyalah ‘sami’na wa atha’na’, alias dengar dan patuh saja. Titik!”
Atau, jika pertanyaan sensitif seperti  ini ditanyakan kepada orang yang salah, taruhlah kepada mereka yang  super-duper-ultra konservatif dan berada di garis keras, maka alih-alih  mendapatkan jawaban yang mencerahkan, kita malah bisa mendapat tuduhan  sebagai perusak agama, pemuja akal, liberal, neo-mu’tazilah, atau apalah  itu sebutan lainnya. Jangankan mempertanyakan perihal “kenapa shalat sampai diwajibkan atau ngapain kita mesti shalat“, saya pernah menulis postingan  berupa rentetan pertanyaan tentang shalat khusyuk di blog ini saja,  sudah dikatai kafir, apalagi kalau sampai berani mempertanyakan urgensi  pelaksanaan shalat, bukan mustahil saya bisa diancam bunuh.
***
Shalat
Adalah Dr. Jawwad ‘Ali, seorang pemikir  kritis sekaligus sejarawan muslim Baghdad terkemuka, dalam karyanya  berjudul “Sejarah Shalat” yang kembali menyinggung ironi yang masih  tercermin di kalangan pemeluk Islam sekarang yang hanya bisa menjawab “la adri” (aku tidak tahu) ketika ditanya perihal sejarah macam apa yang melatarbelakangi dijadikannya shalat sebagai ritual.
Buku kecil seukuran telapak tangan dengan  tema yang amat langka dan ditulis dengan dukungan fakta-fakta sejarah  otentik berikut sumber-sumber rujukan primer otoritatif dalam Islam ini,  mencoba menjelaskan dengan setuntas-tuntasnya, bahwa ibadah ritual  bernama shalat ternyata tidaklah ujug-ujug turun begitu saja  dari langit atau muncul tiba-tiba dalam ruang agama, melainkan ia  memiliki sejarah panjang sebelum Islam datang.
Term “shalat” sendiri berasal  dari bahasa Aramaic——yang notabene bahasa ibu Yesus Kristus dan bahasa  asli sebagian besar Kitab Daniel dan Ezra serta bahasa utama  Talmud——yang derivasinya dari suku kata shâd-lam-alif shala yang memiliki arti rukuk, atau merunduk (inhinâ‘).  Istilah “shalat” digunakan untuk merepresentasikan praktek ritual  keagamaan, dan kata “shalat” ini kemudian digunakan oleh kalangan  Yahudi, sehingga sejak saat itu kata “shalat” menjadi bahasa  Aramaic-Ibrani. Umat Yahudi menggunakan kata “shalutah” pada  masa akhir periode Taurat. Hal ini dikuatkan oleh pendapat seorang  sahabat terkemuka, Ibn Abbas, yang menyatakan bahwa kata “shala” berasal dari bahasa Ibrani “shaluta”  yang bermakna “tempat ibadah Yahudi”. Istilah “shaluta” sendiri pada  perkembangannya masuk ke dalam bahasa Arab melalui tradisi  Judeo-Kristiani dan kontak interaktif dengan komunitas Yahudi Ahli  Kitab. Begitulah pemaparan awal Dr. Jawwad ‘Ali tentang shalat yang  ditelaahnya secara filologis.
Dikemukakan pula, bahwa berdasarkan syair  Jahiliyah, terdapat keterangan yang mengisyaratkan adanya informasi  perihal ibadah kaum Yahudi dan Nashrani, yang mencakup gerakan rukû’, sujûd, dan membaca tasbîh.  Shalat-shalat kaum Yahudi dan Nashrani pada umumnya tidaklah dikenal  oleh kaum Jahiliyah-pagan, namun bagi sebagian kaum Jahiliyah yang  pernah berinteraksi dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani pada masa  itu, ritual shalat orang-orang Yahudi dan Nashrani betul-betul mereka  ketahui.
Kaum pagan yang selalu melaksanakan haji  pada musim-musim tertentu pada saat itu pun memiliki tata cara, ritual,  bagaimana mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka. Ini menandakan  bahwa aktivitas penyembahan bernama ritual dikenal oleh komunitas  paling primitif sekalipun. Dengan demikian, shalat adalah hal yang  bersifat integral dengan semua doktrin agama. Tentu, konsep ritual  shalat dalam setiap agama adalah berbeda-beda, pun tata-caranya  variatif. Hal ini menjadi concern para pakar studi agama, bahwa  suku-suku kuno, bahkan suku Barbar sekalipun, memiliki ritual khusus  yang mereka sebut “shalat”. Di antara penemuan arkeolog adalah teks-teks  kuno yang dahulu dibaca oleh orang-orang Assyiria dan Babilonia dalam  ritual shalat mereka.
Indikasi yang menyebutkan adanya praktek  ritual shalat di kalangan pagan Makkah, misalnya, tertera dalam salah  satu ayat Al-Qur’an, surah al-Anfâl ayat 35: “Do’a-do’a mereka di sekitar Baitullah itu tak lain hanya sekedar siulan dan tepukan tangan“. Hal ini dijelaskan para penafsir bahwa kaum Quraisy pagan melakukan thawâf dengan telanjang, bersiul, dan bertepuk tangan. Frasa “shalâtuhum” dalam ayat di atas artinya “do’a-do’a mereka“;  mereka bersiul dan bertepuk tangan sebagai do’a dan tasbîh. Meskipun  dianggap sebagai do’a (bagi mereka), secara esensi tata cara shalat yang  demikian tidak dapat dikategorikan sebagai pengagungan manusia terhadap  Penciptanya, lantaran ritual tersebut tidak mengandung unsur etika,  rasa takut dan penghormatan.
Nah, dalam nomenklatur Islam, istilah  “shalat” ini maknanya dipersempit menjadi ritual do’a, istighfar, yang  di dalamnya terdapat gerakan rukû’, sujud, gerakan-gerakan lain  tertentu, serta kaidah-kaidah baku yang tidak bisa diubah-ubah.
Bentuk-Bentuk Shalat
Setiap agama menentukan bentuk khusus  ritual shalat yang sesuai dengan konsep agama masing-masing dan  kaidah-kaidah yang memanifestasikan pengagungan kepada Tuhan. Sebagian  agama menetapkan tata cara shalat berupa diam berkontemplasi dan  menghadap kepada Tuhan (bagi agama monotheis) atau Tuhan-Tuhan (bagi  agama politheis). Sebagian agama lain menetapkan tata cara berupa  gerakan kemudian diam dengan tenang diiringi bacaan-bacaan khusus yang  dihafal. Dan masih ada bentuk-bentuk ritual yang lain. Hanya saja, diam  dengan tenang ketika berkomunikasi dengan Tuhan (atau Tuhan-Tuhan)  hampir menjadi tiang pokok ritual kebanyakan agama-agama, kemudian  diteruskan dengan gerakan rukuk dan sujud.
Pada umumnya, sujud dilakukan di depan  berhala-berhala, dan sujud merupakan ungkapan pengagungan terhadap objek  yang disembah. Agama Yahudi menilai sujud yang benar adalah yang  semata-mata ditujukan kepada Tuhan Pencipta, sedangkan sujud kepada  manusia adalah sujud paganistik. Orang Arab (pagan) menolak rukuk dan  sujud lantaran dua gerakan tersebut dinilai sebagai simbol kerendahan  dan kehinaan.
***
Hal-hal di atas baru seputar shalat  secara generik, saya belum memaparkan hasil pembacaan (literal) saya  yang lain terhadap seluruh isi buku ini, seperti; sejarah  (khusus) shalat dalam Islam, yang ternyata perintahnya tidak turun  secara spontan satu kali, melainkan turun secara gradual hingga  Rasulullah.saw hijrah ke Yatsrîb; tentang shalat yang diwajibkan kepada  muslim periode awal sebelum perintah shalat wajib lima waktu turun dan  berapa jumlah raka’atnya; tentang shalat Qiyâmul Lail atau Tahajjud  yang ternyata dikenal dalam agama-agama lain, khususnya Yahudi dan  Nashrani, yang bahkan digambarkan sebagai shalat yang biasa dikerjakan  para pendeta  serta ahli ibadah lain dan disebut-sebut sebagai ibadah  yang paling memikat hati, sebagai mana tertera dalam Mazmur 119 ayat 62,  “Di tengah malam aku bangun untuk memuji-Mu [...]“; tentang shalat  pertama diwajibkan kepada umat Islam periode Madinah; sejarah adzan  dengan versinya yang pelangi; berkenaan sejarah mula thaharah dan wudhu;  perihal sejarah tayamum yang juga merupakan syari’at agama Yahudi,  Nashrani dan Zoroaster; sejarah pemindahan kiblat dan alasan-alasan  historis yang melatarinya; tentang surah Al-Fâtihah yang justru turun  pada periode akhir pewahyuan sedangkan shalat sendiri sudah sejak awal  diturunkan dan menjadikan kenyataan ini sebagai enigma karena menurut  riwayat populer shalat tidaklah sah tanpa al-Fâtihah, di bagian inilah  hal tersebut dikupas singkat; kemudian tak lupa argumen Dr. Jawwad ‘Ali  bahwa walaupun shalat merupakan ajaran agama-agama dahulu, bukan berarti  Islam meng-copy-paste-nya mentah-mentah, sebab ritual shalat  dalam Islam memiliki bentuk dan tata cara yang berbeda; dan masih banyak  lagi hal dan sejarah yang berkaitan dengan shalat yang dipaparkan  secara padat dan tidak terlalu panjang lebar di buku ini.
Ala kulli hal, dengan menimba beragam wawasan baru tentang ritual shalat dari buku ini, insya Allah  akan menjadikan pemahaman kita (umat Islam) tersegarkan, dan tidak lagi  menganggap bahwa shalat adalah ritual tradisi semata, atau ibadah  ritual yang harus dijalankan dengan alasan “karena sudah dari sananya”.
Tentu, hanya dengan membaca review  buku ini di postingan ini saja tidaklah cukup bagi Anda yang dahaga  ilmunya belum terpuaskan, maka dari itu, mumpung ada kesempatan, tepat  momen sekali apabila buku ini dijadikan buku wajib baca bulan ini,  sekaligus sebagai upaya peningkatan kualitas shalat dari aspek  pemahaman. Dan mumpung, nah, ini yang paling penting, mumpung saya  kebetulan ditunjuk sebagai distributor utama buku ini untuk area Bandung  dan sekitarnya, maka saya menghimbau kepada Anda yang berminat, untuk  segera memesan buku Sejarah Shalat karya Dr. Jawwad ‘Ali ini sebelum  kehabisan, soalnya terus terang, stok di tempat saya terbatas. Nah,  untuk informasi perihal harga buku berikut hal berkenaan dengan  pengiriman, kontak segera di 0877 2027 3020.
Wassalam!