Bismillahirrohmaanirrohiim

DUA WANITA DI RUMAH KYAI WAHID HASYIM



Ada dua wanita di rumah Kyai Wahid Hasyim. Yang pertama adalah Nyai Sholihah binti Bisri Syansuri, isteri beliau. Satunya lagi saya lupa namanya, untuk sementara sebut saja Mbok Nah, pembantu perempuan yang sudah tua renta.
 
Kyai Wahid sedang bepergian. Hanya dua perempuan itu menemani satu sama lain. Siang-siang, terdengar suara mobil berhenti mendadak didepan rumah, lalu hentakan-hentakan sepatu lars ditingkahi teriakan-teriakan komando dalam bahasa Belanda. Nyai Wahid —seorang perempuan cerdas— segera tanggap. Dengan sigap diambilnya bundelan dokumen-dokumen penting —terutama menyangkut pergerakan Nasional— dari dalam lemari Kyai Wahid dan buru-buru dibawanya ke sumur di belakang rumah. Sembarangan dia raih pula beberapa potong pakaian yang terjangkau tangan.
 
Bundelan dokumen itu diletakkannya di lantai sumur, lalu ditutup dengan ember yang ditengkurapkan. Pakaian-pakaian dimasukkan ember lain, lalu diguyur air sedapatnya. Nyai Wahid menduduki ember penutup dokumen itu dan mulai mengucek pakaian.
 
Mobil itu adalah mobil patroli Belanda. Serdadu-serdadunya berhamburan kedalam rumah dan menggeledah semau-mau mereka. Mereka tahu, rumah itu milik seorang tokoh pergerakan. Tak menemukan apa-apa didalam rumah, mereka memburu ke belakang dan mendapati perempuan yang “sedang mencuci pakaian” itu.
 
Komandan pun membentak-bentak,
 
“Smacht de bloch verdoomech?!” (Ini bukan bahasa Belanda beneran. Saya cuma mengkhayalkannya saja: kalau serdadu Belanda membentak-bentak, bagaimana kira-kira bunyinya?)
 
“En kowe orang apanya Wahid nee?!” (Yang ini meniru gaya pemeran Belanda dalam ludruk).
 
Nyai Wahid perempuan cerdas bernyali baja. Dibentak-bentak seperti itu, dia berpura-pura o’on saja. Hah hoh hah hoh tanpa berhenti mengucek pakaian. Putus asa, si komandan berbalik, membawa pergi anak buahnya dengan tangan hampa. Suara mobil terdengar menjauh.
 
Lega bahaya telah berlalu, Nyai Wahid mengambil kembali dokumen dari bawah ember. Sisinya yang basah oleh air di lantai sumur diusapnya dengan ujung tapih, lalu membawanya kedalam rumah untuk disimpan lagi.
 
Begitu melangkahi ambang pintu, Nyai Wahid terperanjat. Mbok Nah, perempuan tua renta itu, didapatinya telanjang bulat tanpa sehelai benang, mendekam dibawah meja!
 
“Naah!” kini Nyai Wahid yang membentak, ”laapo kon dhuk kono iku?!” (Ngapain kamu disitu?)
 
Dengan susah-payah si perempuan tua merangkak keluar dari “tempat bernaungnya”. Nyai Wahid iba melihatnya.
 
“Kon diudani Londo maaêng ta?” (Kamu ditelanjangi Belanda tadikah?)
 
”Mbotên…” Mbok Nah menyahut sambil tertatih-tatih berdiri, ”niki wau kulo njarag cucul-cuucul kok…” (Ini tadi saya sengaja menelanjangi diri kok). Suaranya terengah-engah.
 
Nyai Wahid bingung.
 
“Karêpmu yo’opo sé?” desaknya, “njaluk disantlap Londo ta, kon?” (Maksudmu apa sih? Minta “disantap” Belanda ya?)
 
Mbok Nah meringis sambil mulai mengenakan pakaiannya satu demi satu.
 
“Haalah, Nyii!” ia menggerutu, “wong kulo ‘pun tuwèk-kêmpot ngèètên ada’noo… dapak kulo têsik ênèm, mbotên wantun uudo kulo…” (Wong saya sudah tua-peot begini kok… kalau saya masih muda, tak berani telanjang saya).
 
Sebingung apa pun, Nyai Wahid merasa geli juga.
 
”Hlah kon ndhêkkêm ndhuk nisor mééjo maêng laapo?” (Kamu mendekam dibawah meja tadi ngapain?)
 
Mbok Nah meringis lagi, kali ini setengah tertawa,
 
”Cé’é dikintên sêgaawon haréé…” (Biar dikira anjing gitu loch…)
 
______________________________
Sumber cerita: Gus Dur
 
Catatan tambahan:
 
 Gus Dur menyimpan setumpuk catatan berisi sketsa-sketsa karakter tokoh yang beliau amati dari orang-orang di sekeliling beliau sejak kecil hingga dewasa. Dengan bahan catatan-catatan itu, Gus Dur ingin menulis sebuah novel roman. Karakter Nyai Wahid dan Mbok Nah diatas adalah dua diantara sketsa-sketsa karakter itu.


.

PALING DIMINATI

Back To Top