Bismillahirrohmaanirrohiim

AMPUNAN ALLAH SWT : Ilustrasi Syafaat Nabi Muhamad Saw

Arti syafaat ialah bantuan atau pertolongan. Sementara, secara sosiologis, syafaat diartikan dengan sebuah pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang mengharapkan pertolongannya; usaha dalam memberikan suatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan suatu mudarat (bahaya) kepada orang lain. Akan tetapi jika syafaat itu dinisbatkan kepada Allah maka kata itu bermakna sebuah pengampunan yang diberikan oleh-Nya.1
Hal ini sesuai dengan ayat yang artinya: ’Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul beban (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas sesuatu (QS 4:85). Begitu pula dalam hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Musya al-Asy’ari, dikatakan, ketika Nabi Saw kedatangan seorang yang punya hajat (kepentingan), beliau berkata pada sahabat:”Berilah syafaat (pertolongan) supaya kamu mendapat pahala dan Allah Swt. akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dia kehendaki.
Dalam khazanah keilmuan Islam, istilah syafaat terkenal di kalangan ahli kalam (teolog). Disiplin ilmu teologi mengartikan syafaat ialah sebuah pertolongan Nabi Muhamad Saw. terhadap umatnya -pada hari kiamat- untuk membebaskan atau memberi keringanan atas hukuman Allah Swt.
Kapasitas rasio tidak mampu memprediksi secara tepat dan benar dengan peristiwa yang belum terjadi, apalagi yang berkaitan hal-hal metafisik. Itu harus disadarinya karena keterbatasan dan kemampuan rasio manusia hanya pada sesuatu yang tampak mata. Namun, atas jasa wahyu, manusia menjadi tahu akan planing (rencana) Allah pada hari kiamat. Seumpama pemberian syafaat di hari itu Tanpa bantuan wahyu, kesulitan-kalau tidak diakatan mustahil-manusia akan mengetahuinya. Diakui memang Nabi Muhamad yang membawa kabar itu, tapi substansinya dari Allah Swt.,wa mâ yanthiqu ’an al-hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ. Karenanya, kebodohan dan keterbatasan akal, bukan alasan untuk menyangkal berita-berita yang dibawa Nabi. Dari sini pula, ketika antara wahyu dan filsafat (alam pikiran) bertolak belakang, tentu yang diutamakan ialah wahyu. Dalam ranah ini, meski akal tidak mampu memberi informasi tentang syafaat, tapi karena Nabi Muhamad sebagai utusan Tuhan, dengan perintah-Nya telah menyampaikan berita itu maka yang logis justru menjadikan wahyu sebagai suatu keniscayaan.4

Ibnu Arabi menuturkan bahwa pemberi syafaat pertama adalah Nabi Muhamad Saw. Dalam arti, sebelum Nabi berkenan memberi safaat maka jangan harap akan ada orang lain yang sanggup memberi syafaat. Pernyataan itu bertendensi pada hadits yang meriwayatkan bahwa, RasuluLLah ialah pemberi syafaat pertama kali dan pasti akan diterima.4
Kemudian megenai landasan syafaat, termasuk sangat lumayan banyak. Seumpama peringatan dalam Al-Quran yang dengan tegas menuturkan:
ولسوف يعطيك ربك فترضى
’’Dan Tuhanmu akan memberimu, kemudian kamu menerimanya’’
Di lain tempat, dalam surat Thaha ayat 109, Allah mengukuhkan berita syafaat  Demikian bunyi ayatnya:
يومئذ لا تنفع الشفاعة إلا من أذن له الرحمن ورضي له قولا  
’’Pada hari itu (hari kiamat) tidak berguna syafaat, kecuali (syafaatnya) seorang yang telah diizinkan Allah Sang Maha Pemurah, dan diridhai perkataannya’’
Pun juga, diperkuat dengan tendensi hadits-hadits Nabi. Dalam ’Ihya Ulum al-Din’ seumpama, al-Ghazali (hujjah al-Islam) mengutip hadits yang diriwayakan sahabat Umar bin ’Ash, bahwa pada suatu hari ketika Nabi membaca doanya Nabi Ibrahim dan Nabi Isa, setelah selesai dengan tiba-tiba air mata beliau menetes, sembari menyebut: “Umatku (bagaimana nasib) umatku!. Karena Allah Swt mengetahui, maka langsung respon dengan mengutus Jibril untuk menemui  Muhamad Saw. Perintah itu, Allah Swt. berkeinginan Jibril menanyakan kepada Muhamad, apa faktornya dia menangis sedih. Tapi ketika Jibril menanyakannya, Nabi malah membalas: ’’Allah yang lebih tahu segalanya’’. Setelah Jibril kembali, Allah kemudian berfirman:’’ Wahai Jibril, pergi dan temui Muhamad!. Sampaikan kalau Aku akan menerima kehadiran umatnya dan tidak akan berbuat jahat  kepada umatnya.89
lebih detil lagi, hadits yang diriwayatkan Abu Harairah. Menurutnya, pada saat kiamat tiba -ketika manusia sudah tidak kuat  menahan derita, resah dan susah- mereka saling tengok, saling bertanya antara satu dengan yang lain, masing-masing penasaran dengan yang lain; apa juga merasakan kesusahan, mereka mencari-cari seorang penolong. Di tengah kebingungan, mereka mendengar bahwa sang penolongnya ialah Adam. Langsung mereka mencari dan menemuinya. Mereka mengadu: “wahai tuan! Engkau adalah bapaknya semua manusia, bahkan para malaikat disuruh bersujud kepada engkau, kami mohon mintakan syafaat untuk kami kepada Allah”. Tapi sama saja,  ia juga sedang menyesali pebuatannya karena sewaktu dilarang makan buah khuldi ia tidak mengindahkan. Adam hanya menunjukkan menemui nabi Nuh. Kemudian menemui Nuh. Ia-pun sama tidak dapat membantunya, karena menyaksikan Tuhan sedang marah (ghadhab) tidak seperti biasanya. Disamping itu, nabi Nuh merasa bersalah atas kegagalan menyampaikan dakwah yang diamanatkan oleh Allah Swt. Padahal, diakui ia seorang rasul yang dinobatkan banyak bersyukurnya.
Namanya orang butuh meskipun sangat berat cara dan resikonya pasti akan ditempuh. Kegagalan memperoleh syafaat dari kedua nabi itu, tidak menjadikannya putus harapan. Lalu mereka mencari nabi Ibrahim (khalilullah), juga sama, nabi Musa, hanya mendapat tambahan lelah, nabi Isa-pun sama tidak dapat menyalurkan syafaat, bukan karena dia berdosa tapi karena melihat Allah sedang sangat ghadhab sekali. Tapi nabi Isa menganjurkan ke nabi Muhamad Saw. Setelah di hadapannya, mereka menyampaikan:”Wahai Muhamad! Engkau adalah seorang rasul, nabi terakhir, dan engkau telah terampuni dosa-dosamu, berilah syafaat kepada kami”. Menyaksikan penderitaan sekian banyak manusia yang tidak pernah dilihatnya, nabi Muhamad Saw. terenyuh, lalu pergi ke bawah Arsy sambil bersujud. Setelah itu Allah Swt. menyambut kehadiran Muhamad Saw. kemudian berfirman:”Wahai Muhamad! Angkatlah kepalamu, apapun yang kamu minta maka akan aku penuhi, kamu hendak menghaturkan syafaat maka akan aku terima syafaatmu”. Dengan kepala terangkat, ia menyampaikan: “Wahai Allah (ampunilah) umat-umatku”. Akhirnya Allah menyuruh Muhamad Saw. untuk memasukkan umatnya ke surga.12
Jadi, syafaat merupakan keputusan otoritas Allah yang telah diilustrasikan seperti di atas, baik melalui firman-firman-Nya maupun sabda-sabda Nabi. Lagi pula, para ulama sepakat mengiayakan keyakinan itu, terutama syafaat agung Muhamad Saw. 
Namun, tidak serta merta semua manusia akan menerima syafaat. Karena, seandainya dipahami bahwa Allah men-generalisir pemberian syafaat kepada semua manusia, lalu apa artinya Ia mengutus Nabi yang disuruh menyebarkan ke-tauhid-an (monoteisme). Sebagaimana firman-Nya bahwa, Ia hanya rela dengan keyakinan ke-tauhid-an (din al-Islam).1 Yakni sebuah kepercayaan tentang wujud Tuhan itu Esa, yaitu Allah Swt., bukan tuhan yang berada dalam pikiran manusia yang berbeda-beda. Dari sini, syafaat bisa dikatakan sulit dan mudah diraih tergantung dari kedudukan keyakinan manusianya. Yang jelas kunci utamanya ialah menganut ajaran Islam. Keterangan itu disitir dari hadits, bahwa manusia yang paling senang (sebab) mendapat syafaat ialah mereka yang menyatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Lâ ilâha illaLLah, dengan sepenuh hati.
Redaksi hadits itu mengukuhkan akan ketiadaan mendapat ampunan bagi pemeluk selain Islam, meski yakin dengan keesaan Tuhan. Karena, sabda itu diorientasikan bagi pengucap syahadat tauhid, bukan seorang yang berdoa minta pertolongan.2 Artinya, selain umat Islam terancam keselamatannya pada hari kiamat . Begitu pun penyembah patung-patung (musyrik) yang mengaku perbuatannya hanya sebagai medium pendekatan dengan  Allah. Menurut asumsi mereka, Allah Swt. merestui penyembahan berhala-berhala sebagai alternatif pencarian bantuan-Nya. Padahal Allah Swt. tidak pernah menerima dan menyarankan perbuatan syirik dan berdoa pada selain-Nya. Kalau perbuatan syirik akan mengundang murka-Nya, itu yang mungkin.
Untuk melandasi keyakinan bahwa non-Islam, tidak akan mendapat syafaat ialah firman Allah yang berbunyi:
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه
barangsiapa menjadikan (memeluk) selain Islam sebagai agama (ideologi)-nya, maka tidak akan diterimanya”.
Dari hadits itu, kepercayaan di luar Islam tidak diterima. Sehingga akan berdampak pada hal-hal lain. Dalam domain ini berarti penolakkan akan ampunan Allah atau syafaat.3
Mengenai bentuk jenis-jenis syafaat, dalam ujaran Ibnu Qayyim, jumlahnya melebihi dua puluh.4 Walau bagaimanapun, yang paling utama dan tinggi derajatnya ialah syafaat nabi Muhamad Saw.  Nah, menurutnya, syafaat Nabi juga terklasifikasi menjadi enam macam.5

  Syafaat kubra, yaitu bantuan yang diproyeksikan kepada orang-orang istimewa (ulu al-azm) yang dengan santai dan pelan-pelan dalam penyaluran proyek syafaatnya karena akan  sampai rata dan habis biji-biji syafaat tersebut. Dan pada saat manusia berbondong-bondong mencari nabi masing-masing yang paling disukai yang diharapkan akan dapat menolong dan menyelematkan, Nabi Muhamad Saw. akan menyampaikan bahwa syafaat itu ada padaku. 
  Syafaatnya ahli surga. Yakni, pertolongan Nabi yang akan membawa mereka masuk ke wilayah indah dan damai surga.
  Syafaatnya golongan ahli maksiat (pendurhaka) dari umat Islam. Mereka yang sebenarnya masuk neraka, karena bantuan syafaat Nabinya, terselamatkan dan menjadikan masuk surga.
  Syafaatnya kelompok ahli tauhid. Mereka diputuskan masuk neraka disebabkan beban dosa-dosanya. Meskipun akan berakhir disurga karena telah tersyafaati. Keputusan ini termasuk konsensus sahabat dan ulama Ahlussunah. Sehingga, apabila ada yang mengelak dari keputusan ini berarti ia berbuat bid’ah (pembaruan menyesatkan) dalam keyakinan.
  Syafaat ahli surga. Bantuan Nabi ini diwujudkan dalam bentuk bertambah balasan-pahala dan menjadikannya semakin mulia.
  Syafaat untuk orang kafir. Pertolongan ini, teristimewa untuk paman Nabi, Abi Thalib. Ia akan mendapatkan keringanan siksa akhirat, karena memperoleh dispensasi neraka.
          
Asy’ari menegaskan, pemberian syafaat Nabi merupakan keputusan Ijma ulama. Namun, apakah syafaat itu secara umum dapat dinikmati setiap orang Islam. Bagaimana dengan pelaku dosa besar.3 Menurut Asy’ari, syafaat menjadi konsumsi umum bagi umat Islam. Meskipun itu pelaku dosa besar, menurut pendapat yang benar, yakni pengikut Ahlusunnah Waljamaah, yang penting umat Islam sama-sama akan mendapatkan pertolongan Nabi Muhamad di hari kiamat. Makanya jangan berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar terhalang memperoleh syafaat. Otomatis sekte Muktazilah yang berpendapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar tidak akan mendapat syafaat adalah pendapat mentah dan dianggap salah. Karena hadits yang mengatakan bahwa, syafaat Nabi Muhamad Saw. tidak akan tersalurkan kepada pelaku dosa besar, itu diorientasikan kepada orang-orang yang keluar dari Islam (murtad). Dan, ini termasuk pendapat mayoritas para ulama dan yang pasti, kebenarannya akan lebih terjamin.5
Secara logika, sebuah kesalahan (dosa) tentu akan terbuka untuk termaafkan. Landasan rasio ini, juga ikut membangun ajaran (keyakinan) tentang syafaat dan aplikasinya, yang menjadikannya bukan termasuk ajaran absurd, mengada-ada. Karenanya setiap kesalahan itu masih berpeluang terampuni. Pun juga kesalahan dosa besar. Sehingga dalam bahasan ini, justru yang rasional dan benar itu masih terampuninya kesalahan-kesalahan berat yang dilakukan manusia.
Semua bentuk kesalahan manusia dihadapan Allah masih bisa terampuni, kecuali dosa kufur. Kalau secara penalaran, mungkin saja Allah akan mengampuni orang kafir. Tapi, anggapan itu tertangkis oleh wahyu (kehendak, firman Allah) yang menjelaskan bahwa, Ia tidak akan mengampuni perbuatan syirik, dan hanya akan memaafkan dosa-dosa selainnya, sesuai dengan keinginan-Nya.5 Juga firman ini mengukuhkan pendapat di muka mengenai maksud dosa besar yang terampuni adalah dosa kufur, bukan dosa-dosa selain itu.  Makanya, seberat apapun kesalahan orang Islam, selama dia masih beriman dan tidak berbuat kufur akan tetap mendapat pertolongan (syafaat Nabi) di tengah-tengah merebaknya siksa-siksa kiamat.
Kenapa semua dosa-dosa termaafkan tapi kalau kufur itu tidak. Hal ini lebih memperhatikan pada sisi keimanan. Alasan Yang signifikan ialah karena orang Islam meski melakukan macam-macam dosa, hatinya masih terbersit kekhawatiran dan ketakutan kepada Allah, serta terus berharap akan maghfirah dari-Nya. Sama sekali beda dengan orang kafir. Karena orang-orang ini merasa tak berdosa, dan tidak mengakui kekurangan-kekurangannya, sehingga tidak ada perasaan takut, atau sampai meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan kepada Allah.54 Kalau sudah berdosa kemudian tidak mengaku bersalah, apalagi meminta ampun, apa pantas Allah mengampuni.        



1 Pada ingsor
4 Syeh Islam Ibrahim bin Muhamad al-Baijuri, Tuhfah al-Murid, al-Hidayah Surabaya, hlm.116
4 Ibid
89 Ihya Ulum al-Din, juz:IV, hlm. 510
12 al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Dar al-’Ihya’ al-Kutub Arabiyah, Indonesia, juz: IV, hlm. 511.
1 Syarah al-Tauhid juz: I, hlm. 241
2 Ibid
3 Ibid
4 Habib Abdullah bin Husen bin Thahir bin Muhamad bin Hasyim al-Ba’lawi, Is’adal-Rafiq, Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, juz:I hlm. 37
5 Syarah al-Tauhid
3 Abi Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, al-Ibanah ’An Ushul al-Diyanah, hlm. 211

5 Syeh Islam Ibrahim bin Muhamad al-Baijuri, Op. cit. hlm. 117
5 Ibid
54 Ibid


.

PALING DIMINATI

Back To Top