Bismillahirrohmaanirrohiim

NEO ASWAJA ( Oleh : HASAN ABADI )

Pada tahun 1982 Hassan Hanafi di Mesir memunculkan Islamic Left (kiri Islam) dengan meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar fi Al-Nahdha Al-Islamiyah (kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam). Secara khusus Hassan Hanafi menjelaskan, tentang Kiri Islam yang berlandaskan tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat. Pertama, adalah revitalisasi khzanah islam klasik. Di sini ditekankan perlunya rasionalisme, menurutnya rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia islam. Kedua, perlunya menantang peradaban barat. Ia memperingatkan akan bahaya imperialisme cultural barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat futurolog muslim Zainuddin al-Sadr, tentang perlunya islam membangun peradaban kembali yang mengacu pada nilai dan tatanan budaya sendiri. Ketiga, analisis atas realitas dunia islam. Lebih lanjut, Hassan Hanafi menjelaskan ancaman terhadap dunia islam yaitu ancaman dari luar; imperialisme, zionisme, dan kapitalisme. Dan ancaman dari dalam, yaitu: kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan (Kazui:1998).

Indonesia, jauh sebelum itu yaitu tahun 1970-1980-an muncul generasi muda NU yang memunculkan wacana-wacana progresif, pluralis, dan humanis yang mempertanyakan terhadap apa yang sudah dikerjakan ulama dan umat islam Indonesia dalam mengatasi problem-problem keterbelakangan, ketertindasan, kejumudan berpikir, dan kemiskinan yang dimotori oleh Gus Dur, sang santri par excellent begitu Kompas menjulukinya.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur inilah yang kemudian paling berkembang dan diikuti oleh generasi muda NU dan kemudian terjadi lonjakan yang sangat luar biasa bagi permintaan generasi muda NU terhadap berbagai ilmu pengetahuan. Dan kemudian mencapai titik puncaknya pada awal-awal tahun 1990-an di mana kemudian perguruan tinggi bergengsi di Indonesia disesaki oleh generasi muda NU yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di pesantren dan IAIN.

Potret Progresivitas Gerakan Muda

Dalam beberapa hal, kaum muda mampu berpikir dan bertindak cepat. Rangkuman historis Indonesia menunjukkan itu, kaum muda lah yang mengisi garda depan perjuangan. Lihat, masih sekitar usia dua puluh dan tiga puluhan ketika Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Wahid Hasyim berkiprah untuk Indonesia dengan memimpin sebuah pergerakan. Proklamasi barangkali tak akan lahir jika para muda tidak mendesak golongan tua (Soekarno, Hatta, Sjahrir) untuk segera mengumandangkan kemerdekaan. Juga ketika rezim orla yang kian hari kian dictator maka golongan muda tampil menggebrak dengan KAMI, KAPI, KAPPI dengan tokoh-tokoh seperti Zamroni, Arief Rahman Hakim, dan sebagainya yang masih berada di bangku perkuliahan. Masih segar dalam ingatan kita pada tahun 1998, reformasi menggulingkan eszim Orba Soeharto juga dimotori para muda yang masih menjadi mahasiswa. Sebut beberapa lembaga bentukan mahasiswa misalnya Forkot, Famred, PRD, Jarkot dan sebagainya juga dimotori para muda. Belum lagi gerakan-gerakan lokal di daerah yang ikut mengusung reformasi, mungkin tanpa disadari mereka memakai teori Mao Zedong, desa mengepung kota, sebuah teori yang dipergunakan oleh pemuda NU bernama Ahmad Syaikhu dengan Front Pancasila-nya pada jaman Orde Lama.

Saat ini kaum muda NU harus segera bersatu, meletakkan baju dan warna perbedaan, idealisme bagi para muda harus tetap sebagai akar pergerakan. Keberpihakan kita kepada rakyat tertindas hrus semakin nyata dan ada. Jangan sampai kita menjadi pendorong gerobak mereka sementara mereka duduk manis, berkubang uang dan kekuasaan. Mari kita ganyang ketidak-adilan, kesewenang-wenangan tanpa harus berbuat anarkis kecuali mungkin sangat terpaksa untuk sekedar membela diri.

Pengkaderan harus terus menerus dilakukan secara istiqamah, massif, dan simultan. Proses pencerahan (enlightment) kepada rakyat harus tetap dilakukan dan yang tidak kalah pentingnya kepedulian kita terhadap masyarakat urban kota, buruh, rakyat miskin pedesaan, serta golongan etnis minoritas tertindas harus terus menyala-nyala. Kita adalah bagian dari mereka, membantu dan peduli kepada mereka adalah kepedulian kepada kita sendiri untuk masa depan.

Kalau pemerintah saat ini kita rasakan belum efektif, maka kita harus tetap turun bersama masyarakat dalam pendampingan-pendampingan yang real sehingga di sana pemihakan kita menjadi jelas. Apalagi tugas kita sebenarnya bukan hanya membangun tingkat-tingkat kekuasaan (power), tetapi yang lebih signifikan dan urgen adalah membantu proses penyadaran, pemberdayaan (empowering) dan pencerahan (enlightment) secara massif dan kontinyu kepada masyarakat akan hak-hak sipilnya (civil of rights) menuju masyarakat madani sejati yang lepas dari ketakutan-ketakutan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan kekuasaan.

Aswaja: Sebagai Paradigma Bukan Dogma

Dalam al-Tarikh al-Islami, kita mengetahui banyak rasul-rasul Allah yang lahir dari orang kebanyakan, rakyat jelata. Nabi Ibrahim misalnya adalah anak seorang pembuat patung pagan yang dalam perjalanannya membela kaum mustadl’afiin (tertindas) melawan Raja dictator Namrud. Nabi Musa juga lahir dari budak mustadl’afin Israel yang kemudian membela kaumnya dari cengkeraman Pharaon (Fir’aun) yang kemudian sampai pada Nabi Muhammad san Pembela mustadl’afiin. Malahan dalam jaman permulaan Rasulullah ini kebanyakan yng masuk islam adalah golongan miskin, sedikit sekali dari golongan bangsawan dan kaya yang ikut Rasulullah.

Selama hidupnya, Rasulullah selalu berpihak kepada golongan lemah. Rasulullah senantiasa menasihatkan supaya para ulama melanjutkan para nabi untuk berada di tengah-tengah golongan lemah (dhu’afa) dan golongan tertindas (mustadl’afiin). Rasulullah bersabda: “Taatilah kaum ulama selama mereka belum mengikuti hawa nafsunya.” Lalu para sahabat bertanya: “Apa tanda ulama yang mengikuti hawa nafsunya?”. “mereka senang mengikuti penguasa”. Dalam hadits lain dikatakan, “Mereka meninggalkan golongan fuqara dan masakin, dan mengetuk pintu-pintu para penguasa”.

Sayyidina Umar telah mengikuti Rasulullah untuk membela kaum lemah tertindas dengan membawa sendiri karung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan. Sementara banyak ulama dan pemimpin kita hari ini malah membangun kolusi untuk kepentingan tidak untuk masyarakat miskin. Dalam sejarahnya, kelahiran aliran teologis ahlussunnah waljamaah (aswaja) juga tidak terlepas dari “pemberontakan” terhadap kungkungan dan hegemoni kaum Mu’tazilah di segala bidang. Abu Hasan al-Asy’ari berjuang merontokkan dominasi Mu’tazilah yang menjadi kekuatan tunggal penguasa dan Negara. Bahkan dalam catatan sejarah, orang-orang yang tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah harus dihukum oleh Negara. Di sinilah letak pembelaan aswaja, yaitu berpihak kepada rakyat kebanyakan dengan menentang kesewenang-wenangan pengikut Mu’tazilah yang memaksakan pendapat dan kehendaknya, walaupun berhadapan dengan kekuasaan dan penguasa.

Namun dalam perjalanannya kemudian, aswaja yang pada mulanya merupakan tafsir teologis yang relative interpretable dan inklusif (terbuka), ternyata kemudian menjadi dogma-dogma yang kaku dan “kurang” toleran di tangan Asy’ari-termasuk kita, NU. Wajah aswaja kemudian menjadi suram dan hanya berkutat pada masalah sifat-sifat, af’al (perbuatan), dan eksistensi Tuhan. Sementara itu persoalan umat terutama di lapisan akar rumput yang memerlukan legitimasi teologis bagaimana mengatasinya kurang mendapat perhatian.

Saat ini, aswaja harus ditampilkan sebagai rumusan yang tidak hanya membicarakan dan membela Tuhan, tetapi mampu memberikan cakrawala yang luas atas aplikasi sifat-sifat tersebut dalam kehidupan nyata manusia. Misalnya bagaimana sifat keadilan Tuhan diterapkan ke dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dalam kehidupan kontemporer atau juga bagaimana teori al-kasab dalam mengatasi problem pengangguran yang kian hari kian marak. Dari sini aswaja mestinya dirumuskan sebagai watak antroposentrisme-transendental, sebuah teologi yang membela manusia tanpa meninggalkan nilai-nilai ke-Ilahi-an.

Jadi tantangan aswaja adalah bagaimana solusi aswaja daam menjawab isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme sosial, kemiskinan structural, pembelaan terhadap kaum tertindas, kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Di sinilah sebenarnya tugas para ulama NU untuk berpikir ulang terhadap rumusan teologisnya, apakah aswaja akan tetap dijadikan dogma-dogma yang kaku ataukah didudukkan sebagai manhaj al-fikr (paradigma) adalah sebuah keharusan. Yang kemudian aswaj dirumuskan sebagai teologi populis yang membumi dan menyentuh rasa keadilan rakyat di lapisan bawah, bukan teologi yang melangit dan hanya menjadi teks-teks secret dan tak terbantahkan.

*Judul ini adalah bagian kontribusi penulis dalam buku Nalar NU (2010) saat ini penulis adalah sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Malang.


.

PALING DIMINATI

Back To Top