Bismillahirrohmaanirrohiim

Matinya TKI : Matinya Agama

Sederetan derita para TKI di Arab Saudi menandai matinya agama Islam. Matinya agama berarti telinga orang-orang Muslim mulai acuh pada kemanusiaan orang lain. Para abid mulai tak berdaya menghadapi segala bentuk kesibukan yang melenakan. Agama, ada dan tiadanya, tiada berguna.

Mana mungkin ada agama yang membiarkan adanya kekerasan, pemukulan, pemerkosaan dan pembunuhan, yang seluruhnya adalah perbudakan seperti pada kasus TKI. Jelas tidak ada. Tapi faktanya bahwa Raja Saudi sebagai pemimpin tanah kelahiran Islam, tidak menghiraukan adanya perbudakan yang mestinya dibebaskan. Bagi pemerintah Indonesia (amîr), Presiden sedang absen untuk membicarakan pemerdekaan bagi orang-orang kecil seperti para TKI. Satu upayapun sebagai bentuk intervensi moral Islam kepada kerajaan Saudi tidak tercatat oleh publik.

Di lain pihak, sepanjang Mekkah dan Madinah, berapa juta kaum Muslimin yang menunaikan ibadah haji, namun ritual tertinggi keagamaan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan pemerdekaan sosial. Apa karena para TKI kaum marjinal, sehingga deritanya boleh dilupakan begitu saja? Secara logika agama, bukankah semakin tinggi ritualitas Islam dan menggapai haji seharusnya semakin tinggi peran sosial yang mengiringinya?

Ketidakberdayaan ini juga menimpa ormas-ormas Islam. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, al-Irsyad, HTI, MMI, FPI dan yang lain tidak pernah mengeluarkan keputusan resmi tentang pemihakan para TKI. Hanya beberapa tokoh seperti Said Agil Siradj (Ketua Umum PB NU) dan Moeslim Abdurrahman (mantan Ketua PP Muhammadiyah) yang bersuara lantang bahwa perbudakan TKI di manapun harus dihapus.

Islam itu Pemerdekaan
Melihat situasi perbudakan ini, hendaknya kita berkaca pada praktik pembebasan para Nabi berabad silam. Sebagai contoh adalah Muhammad SAW dan Ibrahim AS.

Muhammad SAW begitu dibenci oleh golongan elit Quraisy bukan sekedar alasan membawa agama baru, Islam. Tapi karena membawa misi pemerdekaan bagi kemanusiaan. Misi Muhammad adalah ancaman bagi kepentingan ekonomi dan politik komunitas borjuis Mekkah. Tentu saja hal ini membikin diskontinuitas bagi kemapanan sosial-ekonomi para elit saat itu. Banyak ajaran Muhammad menyerang kepentingan mereka: membebaskan budak, menuntut pemerataan ekonomi agar tidak hanya menjadi dominasi para kapitalis, dan politik zakat (pajak) sebagai praksis dekonstruksi yang sebelumnya dipahami bahwa pajak adalah dari rakyat untuk kabilah penguasa.

Sama halnya dengan Ibrahim. Bapak para nabi ini sedang melawan struktur kuasa yang hegemonik. Ibrahim hendak membongkar kesadaran masyarakat yang larut pada legitimasi keberhalaan. Berhala dalam konteks saat itu hanyalah alat untuk mengukuhkan kuasa, media penarikan pajak bagi orang miskin untuk raja dan simbol irasionalitas agama. Demikianlah, agama dalam sudut pandang Ibrahim adalah praksis pemerdekaan.

Muhammad dan Ibrahim adalah dua sosok pembebas yang sulit untuk dilupakan dalam catatan sejarah pemerdekaan. Merekalah contoh abadi disamping banyak contoh lain sepanjang zaman manusia dan kemanusiaan.

Paling tidak, dari ide-ide kenabian di atas, ada beberapa peluang untuk menghidupkan kembali agama yang telah mati. Pertama, ummat harus peduli pada kemiskinan, perbudakan dan pelbagai bentuk penderitaan kemanusiaan. Kedua, para raja, pemerintah, golongan elit dan ormas keagamaan harus lantang dalam memberikan pemihakan bagi para TKI di Arab Saudi, maupun negara-negara lainnya. Ketiga, agama oleh seluruh golongan masyarakat, hendaknya dimaknai sebagai agenda pemerdekaan bagi segala aspek yang melukai kemanusiaan (dehumanisasi). Akhirnya, marilah kita semua orang beragama turut dalam praksis agama yang memihak kemanusiaan.


Secara teologis tidak ada yang salah dengan Islam. Namun Islam sebagai tafsiran dan ideologi, beragam maknanya: ada yang demonstratif seperti para khotib yang khutbah dengan wacana sepanjang masa alias ndak berubah-berubah, ada yang karikatif alias membicarakan hal yang terlampaui skolastik, melangit tinggi ke angkasa, ada pula yang transformatif yang memperjuangkan betul nasib orang-orang kecil yang kadang diabaikan.


Meminjam istilah Pradana Boy ZTF, inilah yang disebut dengan "Paradoks Negeri Syariah". Fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa Saudi adalah kawan yang paling dekat AS. Kalau membaca wikileaks, tentu saja kuasa kebijakan internasional ada di tangan AS yang neoliberal. Lalu apa hubungannya agama dengan kemanusiaan dalam konteks ini? Jelas tidak ada. Apa hubungannya Islam Wahabi yang mengaku berpaham seperti Salafus Saleh dengan kemanusiaan? Juga tidak ada. Mungkin Khaled Abou Fadl bisa dijadikan rujukan, mengingat sarjana hukum ini telah melakukan penelitian panjang tentang tradisi Arab badui di Najd yang dianggap sebagai tradisi Islam. []

Oleh: Hasnan Bachtiar*
*Peneliti di RESIST Malang dan Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM


.

PALING DIMINATI

Back To Top