Bismillahirrohmaanirrohiim

M E T O D E G U S D U R


“Guru spiritual saya adalah realitas. Dan guru realitas saya adalah spiritualitas”
-- Abdurrahman Wahid--

Buku ”Mengunduh Pemikiran Gus Dur Dari Alam Kubur” yang sekarang ada di hadapan pembaca ini merupakan buku ketiga Argawi Kandito yang diterbitkan Pustaka Pesantren. Melalui buku ketiganya ini, Toto (demikian dia akrab dipanggil) semakin memantapkan dan mematangkan jalur pengembaraan intelektualnya yang bersumber dari eksplorasi di alam ruhani. Pada buku pertama (Berjumpa 26 Nabi) ia menemui dan berdialog dengan para nabi tentang kehidupan mereka, tokoh-tokoh religi yang hidup dalam kurun ribuan tahun yang lalu. Sementara pada buku kedua (Menguak Tabir Kematian) ia ”belajar langsung” kepada Nabi Muhammad SAW, para malaikat, para wali seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani dan Sunan Kalijaga, dan juga melakukan ”observasi” sendiri tentang alam-alam (gaib) yang mengitari manusia, hakekat (lapisan-lapisan) kehidupan setelah kematian, hingga penciptaan alam semesta. Sesuatu yang mungkin bagi beberapa kalangan tertentu nggak nyata (karena memang gaib) dan terasa jauh (karena memang nggak terjangkau). Maka pada buku ketiga ini, Toto sudah mulai membicarakan sesuatu yang terasa lebih dekat dan lebih nyata bagi kita, yakni tentang berbagai isu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, konsep-konsep dasar keberagamaan, filsafat serta metode pengetahuan dan sejarah ulama-ulama nusantara. Mengenai kesemua hal itu, Toto ”belajar” kepada tokoh yang juga sangat akrab dengan kita dan juga belum lama meninggalkan dunia fana, yaitu Gus Dur.

Selama ini, sudah banyak diterbitkan buku-buku tentang pemikiran Gus Dur, baik yang ditulis oleh Gus Dur sendiri secara langsung maupun yang ditulis oleh orang lain. Baik yang bersumber dari refleksi pemikiran Gus Dur, ataupun wawancara-wawancara dengan Gus Dur. Bahkan setelah Gus Dur wafat, buku tentang Gus Dur malah semakin bermunculan dan banyak penerbit-penerbit baru yang menerbitkan buku tentang Gus Dur. Ini mungkin membuktikan bahwa pasca kewafatannya, kharisma Gus Dur justru semakin kuat. Sehingga, orang yang dulu sudah mengenal Gus Dur pun ingin lebih menguatkan pengetahuan tentang Gus Dur itu di satu sisi; dan di sisi lain, muncul pula generasi baru yang sebelumnya tidak mengenal Gus Dur jadi ingin tahu tentang Gus Dur.

Dalam muktamar NU Makasar 2010, ada gejala menarik yang sempat saya lihat. Pertama, banyak orang datang ke Muktamar (baik para pengamat, pengunjung, maupun penggembira) yang jauh-jauh datang hanya karena ingin melihat perkembangan dan suasana Muktamar NU ”pertama” yang diadakan setelah Gus Dur tidak ada lagi. Dari sini, orang memang merasakan bedanya: seakan-akan memang ada sesuatu (magnet) yang hilang dari NU. Akan tetapi, yang menarik adalah bahwa walaupun secara individu Gus Dur tidak hadir, di luar forum resmi muktamar, figur Gus Dur justru menjadi fokus utama obrolan. Kedua, di sisi lain, di arena bazar muktamar, muncul gelombang buku-buku baru tentang Gus Dur. Kalau pada Muktamar NU sebelumnya, buku tentang Gus Dur masih merupakan bagian dari ’gejala’ dari jenis-jenis buku tentang NU, tentang pesantren, tentang kehidupan kiai, maka pada muktamar kemarin buku tentang Gus Dur (dengan segala macam variannya: pemikiran, biografi, humor, dll) seperti menjadi korpus tersendiri, yang karena saking banyaknya membuat seakan-akan buku Gus Dur ini bersifat mandiri, bukan menjadi bagian dari gejala NU. Bahkan bukan hanya buku, merchandise tentang Gus Dur pun sempat mendominasi: seperti peci Gus Dur, pin Gus Dur, dll.

Buku ”Mengunduh Pemikiran Gus Dur Dari Alam Kubur” ini tentu saja merupakan bagian dari korpus Gus Dur tersebut. Namun demikian, dibandingkan dengan buku-buku tentang Gus Dur yang sudah terbit itu, buku Toto ini memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri. Paling tidak kelebihan itu dalam dua hal. Pertama, berbeda dengan buku-buku yang lain, buku ini ”diunduh dari alam kubur”, dielaborasi dari alam hakekat, melalui komunikasi ruh. Karena diambil dari alam hakekat, maka info-info di dalam buku ini lebih menggambarkan hakekat Gus Dur; sebab di alam ruh dia sudah terlepas dari kepentingan-kepentingan duniawi maupun bias dari konjungtur sosial-politik yang terjadi di dunia riil. Kedua, buku ini menggambarkan perkembangan pemikiran Gus Dur yang paling mutakhir. Buku ini secara tak langsung juga menggambarkan bahwa kehidupan tidak berhenti karena kematian, dan bahwa kematian itu sebenarnya hanyalah sebuah pintu menuju kehidupan yang lebih nyata. Sehingga tergambar, bahwa setelah kematiannya, Gus Dur justru semakin aktif berinteraksi dengan para ulama untuk memperdalam ilmu, memahami lebih baik kenyataan-kenyataan yang ada, baik dari segi historisnya maupun metodologi keilmuannya, tanpa terputus dari komitmen terhadap nasib manusia dalam situasi riil sosial-politik, terutama yang terjadi di Indonesia.

Saya terkesan mengetahui bahwa Gus Dur di alam kubur, betapa pun sudah mendapatkan tempat yang sangat nyaman di sisi-Nya, masih tetap aktif berdiskusi dengan para ulama seperti Imam Bukhori, Syekh Abdul Qadir Jaelani, para wali dan ulama-ulama nusantara serta tokoh-tokoh dunia lainnya. Kesemua itu dilakukan untuk terus menyempurnakan ilmu, untuk terus dapat berperan sebagai pengingat dan pendidik bangsa, demi generasi penerus kehidupan yang lebih baik. 

Kita patut berterimakasih kepada penulis buku ini karena telah menyajikan informasi-informasi yang jernih dan mendasar tentang hakekat apa yang selama ini menjadi komitmen perjuangan Gus Dur dan latar belakang pemikirannya, baik dari segi spirit maupun metodologinya. Buku ini menyuguhkan kepada kita mutiara-mutiara yang walaupun tersembunyi di dalam topik-topik yang sepertinya saling terpisah, namun jika kita membaca secara mendalam akan terasa kilaunya yang cemerlang.

Buku ini akan sangat berguna, baik untuk pembaca yang sudah mengenal Gus Dur maupun pemula. Bagi yang sudah mengenal Gus Dur, baik pribadi, kiprah sosio-kultural maupun pemikirannya, dengan membaca buku ini secara seksama akan semakin mendapatkan penegasan-penegasan dari apa yang selama ini seperti samar-samar atau disamarkan oleh banyak peristiwa-peristiwa dan kepentingan-kepentingan politik. Di samping itu, bagi saya, ada hal yang baru dan sangat penting dari buku ini yaitu penegasan dari Gus Dur sendiri tentang apa yang bisa dirumuskan sebagai Metode Gus Dur yang genuin. Banyak ahli dari berbagai kalangan selama ini mencoba memahami Gus Dur dengan kerangka dan kategori ”isme-isme” yang saling berlawanan, padahal Gus Dur selalu berkecenderungan keluar dari jebakan isme-isme itu. Sangat sedikit orang yang berbicara tentang Gus Dur sebagai sebuah metode atau jalan. Seolah dari alam kubur pun Gus Dur masih tetap terus mengingatkan bahwa dirinya tidak dapat diperangkap dalam kategori-kategori atau isme-isme, seperti Liberalisme, Marxisme, Tradisionalisme atau Neo Modernisme, tersebut. 

Lalu, apa dan bagaimana Metode Gus Dur tersebut? Kebenaran sejati apa yang ingin dicapai? Tentu saja, kebenaran yang ingin dicapai dan diperjuangkan Gus Dur dengan metodenya itu adalah kebenaran sejati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yaitu agar supaya rakyat sejahtera, tidak susah dan dibohongi terus-menerus oleh negara. Kebenaran sejati yang dibangun atas dasar pengetahuan yang mendalam tentang hakekat manusia, harkat kebangsaan, kesadaran akan pluralitas dan apresiasi kreatif terhadap kebudayaan. 

Bagaimana dengan kebenaran Tuhan dan agama? Gus Dur mengatakan bahwa sebagai jalan menuju Tuhan, perjuangan sosio-kultural untuk membangun sistem yang menyejahterakan rakyat (hablumminannas) secara keseluruhan merupakan jalan tertinggi dan lebih cepat sampai kepada Tuhan daripada melalui jalan ritual-individualistik (hablumminallah) semata. Oleh karena itu, sebagaimana kita tahu Gus Dur pernah melontarkan gagasan perlunya umat Islam segera melengkapi sistem Rukun Iman dan Rukun Islam yang sudah sangat mapan itu dengan merumuskan dan mengajarkan Rukun Sosial yang masih sangat rapuh di kalangan umat Islam. Dengan kata lain, Gus Dur merekomendasikan suatu rekonstruksi sistem Etika Sosial Islam dan memberinya status yang sejajar dengan Rukun Iman dan Islam, agar keberadaan Umat Islam bisa benar-benar menjadi rahmat bagi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun bagaimana hal-hal tersebut mesti dilakukan? Kiranya para pembaca sendirilah yang akan menemukannya pada sela-sela refleksi, deskripsi, celetukan spontan dan humor khas Gus Dur yang termuat di dalam lembaran-lembaran kertas buku ini. Selamat Membaca!

Piyungan, 21 Juli 2010 

M. Jadul Maula


.

PALING DIMINATI

Back To Top