Bismillahirrohmaanirrohiim

FASILITAS NU UNTUK UMUM

Kerangka Analisis Masalah

Toleransi beragama, akhir-akhir marak diwacanakan oleh sejumlah ormas Islam, NU di antaranya. Hal ini selain sebagai bentuk penyeimbang wacana Islam radikal, juga sebagai bentuk sosialisasi ruh ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Pertemuan antar tokoh agama pun digalakkan, mulai dari sekup lokal hingga nasional. Mulai dari kegiatan sosial bersama, hingga pembentukan wadah komunikasi antar umat beragama adalah wujud realisasinya.

Tak jarang, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan secara berkala dan bergiliran dengan difasilitasi salah satu eksponen organisasi yang mewakilinya. NU misalnya, sebagai salah satu perwakilan Islam, kadangkala memfasilitasi agenda pertemuan antar tokoh agama. Adakalanya di tempatkan di masjid, rumah pribadi maupun kantor NU sendiri. Bahkan di satu waktu tokoh-tokoh muslim pun diundang ke Gereja. Dan sebagaimana lumrahnya jamuan di sana juga dibedakan antar agama, yang non muslim makan minum di tempat tertentu, yang muslim pun disediakan tempat khusus b
agi mereka. Hal ini belum seberapa dibandingkan toleransi yang digagas beberapa kelompok liberal, yang melegalkan praktek kawin beda agama, karena menganggap mereka adalah ahli kitab. Dan ironisnya, hal ini lah yang menjadi rujukan artis dan kalangan terkemuka lain di ibu kota.

Sail: PP. Hidayatul Mubtadi-ien Ngunut & Pengurus FMPP

Pertanyaan
a. Bolehkah menggunakan masjid atau fasilitas ormas Islam sebagai media pertemuan antar tokoh agama?

Jawaban
a. Hukum pertemuan antar agama diperbolehkan selama dilakukan untuk kemaslahatan dan tidak mengakibatkan taghrir atau shubhat. Sedangkan untuk penggunaan fasilitas ormas diperbolehkan selama ada idzin dari pihak yang berhak dan penggunaan tersebut tidak menyalahi fungsinya. Hanya saja, jika pertemuan tersebut menggunakan fasilitas masjid maka akan berlaku hukum khilaf dalam permasalahan dukhulul kuffar fil masjid.

REFERENSI
1. Hasyiyah Al-Bujairomi Al-Khotib vol. IV hlm. 292
2. Fiqh Al-Islami vol. VII hlm. 5111-5112
3. Tuhfah Al-Muhtaj vol. VI hlm. 288-289
4. Tafsir Al-Siroj Al-Munir vol. I hlml. 98
5. Fath Al-Bary Syarkh Shohih Al-Bukhori Ibn Rajab vol. III hlm. 390.


Pertanyaan
b. Bagaimana hukum mengawini dan memakan jamuan non-Muslim? Terlebih karena sebagian kalangan menganggap mereka adalah ahli kitab.

Jawaban
b. Hukum perkawinan antara Muslim dengan wanita non-Muslim kitâbiyyah (Nasrani dan Yahudi) khilaf:
» Menurut Syafi'iyyah tidak sah kecuali: 
» Wanita keturunan Israel yang tidak dipastikan leluhurnya memeluk agama nabi Musa as. atau nabi Isa as. pasca terjadinya naskh.
» Wanita Yahudi atau Nasrani yang leluhurnya diketahui memeluk agama nabi Musa as. atau nabi Isa as. sebelum terjadinya naskh dan tabdîl.
» Menurut Ibnu Taimiyyah yang menganut Madzhab Hanabilah, sah menikahi wanita kitabiyyah tanpa qayid di atas.
» Sedangkan menurut Sayid Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq Al-Ghumari Al-Hasani, hukumnya haram dengan pertimbangan dampak mafsadah bagi keturunannya.
Untuk pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki Non Muslim ulama' sepakat hukumnya tidak sah.

Catatan:
Menurut Syekh Abi Fadhol, wanita Nasrani di Indonesia bukan termasuk Nasrani yang disebutkan dalam literatur kutubus salaf. 
Sedangkan memakan jamuan non-Muslim kitabiyyah diperbolehkan apabila memenuhi syarat diperbolehkan menikahinya.

REFERENSI
1. Daf' Al-Syak wa Al-Irtiyab 'an Tahrimi Nisa'I Ahl Al-Kitab hlm. 3
2. Fiqh Al-Islami vol. VIII hlm. 194 
3. Fath Al-Jawad hlm. 73-75
4. Dar Al-Farid fi Syarah Jauhar Al-Tauhid hlm 140
5. Bahr Al-Ro'iq vol. III hlm. 111
6. Ittihaf Al-Sadah vol. V hlm. 533
7. Tuhfah Al-Muhtaj vol. IX hlm. 367
8. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab vol. IX hlm. 80
9. Bughyah Al-Mustarsyidin hlm. 15


.

PALING DIMINATI

Back To Top