Bismillahirrohmaanirrohiim

KENAPA KITA MESTI BERHARI RAYA KURBAN PADA 17 NOVEMBER 2010?

Kegundahan kembali menerpa umat islam Indonesia menjelang hari raya kurban 1431 H. menyangkut penetapan hari raya ini, terjadi selisih faham antara umat, yang dipelopori oleh agen-agen kelompok Islam lokal .
perselisihan waktu hari raya ini memang bukan barang baru lagi buat kita, namun sebenar-benarnya kita bisa meminimalisir terjadinya konfik interest antar aliran keagamaan, konflik yang kontra-produktif bagi masyarakat
umum.
Berbagai pandangan tentang penetapan hari raya idul adha 1431 H sudah diambil oleh masing-masing pihak. Pemerintah, dalam hal ini melewati corong kementrian Agama RI pun telah mengumumkan bahwa hari Raya Idul
Adha jatuh pada hari Rabu, bertepatan pada tanggal 17/11/2010. Sedangkan beberapa Aliran keagamaan lain telah membuat kebijakan bahwa hari raya idul adha jatuh pada hari selasa, tanggal 16/111/2010. Bahkan ada juga
beberapa kelompok masyarakat tertentu di sebagian belahan bumi Indonesia ini, telah melakukan Shalat Idul Adha pada hari ini, tanggal 15/11/2010.
Acap kali fenomena perbedaan penetapan hari raya, baik idul adha maupun idul fitri, serta awal bulan puasa Ramadhan dan bulan dzul hijjah, memang rasa-rasanya sudah menjadi bola panas liar, tiap tahun. Namun
seyogyanya, kita harus mencari tahu tentang hakekat kebenaran dibalik semua fenomena tersebut, dengan pijakan kuat pada hukum fikih. Sebab, apabila di dalam sebuah upaya penetapan “itsbat” terhadap hari raya – idul
adha maupun idul fitri – serta awal-awal bulan kalender Hijriyyah, terdapat kesalahan, seperti dasar-dasar perumusan hukum yang salah, atau alat-alat piranti ijtihad yang digunakan dinilai kurang tepat dan kontra syari`ah,
maka sudah dapat dipastikan hukum ketetapan tersebut juga batal, salah, invalid, serta tidak diakui oleh syari`at. Dalam kaidah fikih yang masyhur: “syariat akan menolak hukum ijtihad yang jelas-jelas salah”.لايعتد
الاجتهاد البين خطأه .. Sehingga hal ini akan berimplikasi masal, karena ketetapan tersebut diambil dan disosialisasikan kepada masyarakat yang menganutnya.
Kenapa sebagian masyarakat kita ada yang berbeda pandangan hukum dalam ketetapan hari raya idul adha? Mungkin jawaban simple untuk pertanyaan tadi adalah: “karena momentum haji, wukuf di padang arafah mekah,
erat kaitanya dengan idul adha”. Wukuf di arafah yang sedang dikerjakan jamaah haji seluruh dunia sekarang ini tengah berlangsung tepat pada hari senin tanggal 15/11/2010. Alhasil, sebagian umat berkeyakinan, bahwa idul
adha pasti jatuh pada hari setelahnya, yaitu selasa, tanggal 16/11/2010. Sebab dalam pandangan ini, tidak mungkin hari wukuf tersebut terpaut dua hari dengan hari raya idul adha, yang semestinya. Apalagi jika dikaitkan
dengan anjuran syari`at bahwa tatkala berlangsungnya hari wukuf tersebut, maka disunnahkan bagi seluruh umat Islam lainya (sedunia) untuk berpuasa sunnah arafah.
Alasan diatas sudah tentu perlu pembuktian dan upaya validitas hukum yang matang. Tentunya dengan melakukan konversi beberapa landasan hukum yang benar, dan berlaku dalam mindset syrari`ah, dan hukum islam
klasik sebagai legal mindstreaming in Islamic law. Sebab, kita tidak diperbolehkan membuat aturan sendiri, kebijakan yang berbeda, atau takaran yang menyimpang dari ajaran fikih. Logikanya adalah, ajaran agama ini, lebih-
lebih urusan ibadah, sangat bergantung kepada petunjuk wahyu, yang dimanifestasikan oleh fikih. Fikih sebagai lembaga hukum yang komprehensif telah mengakomodir berbagai permasalahan agama, sejak zaman
Rasulullah saw, Sahabat, Tabi`in, Tabi` Tabi`in, sampai pada era zaman kita ini. Karena itulah, dalam menyikapi problematika ini secara arif, kita semestinya kembali merujuk kepada teks-teks fikih, dengan dingin-dingin kepala.
Sehingga mampu memberi jawaban yang benar, dan tidak menyesatkan umat tentunya.
Seluruh umat Islam tentunya sepakat, bahwa setiap tanggal 10 dzulhijjah dalam kalender Islam dilaksanakan hari raya idul adha, bukan tanggal 8 atau 9 dzul hijjah. Tentunya salah, apabila hari wukuf di arafah, mekah,
dikaitkan dengan idul adha di belahan dunia lainya, yang bukan dalam jangkauan wilayah waktu mekah. Sebab, di masing-masing wilayah di belahan bumi, mempunyai titik waktu yang berbeda-beda dalam perspektif
kalender bulan “Qamariyah”. Untuk itulah syari`at secara umum mengaitkan hal-hal ibadah yang berhubungan dengan penetapan waktu awal bulan maupun akhir bulan kalender hijriyyah, dengan pergerakan bulan secara
alamiah. Jadi hukum “hilal” bulan sabit sebagai tanda awal bulan kalender hijriyyah, mungkin akan berbeda, antara suatu wilayah dengan wilayah lain.
Maka dari itu, patokan sebuah penetapan hari raya, semestinya berangkat dari status hukum bulan sabit di awal bulan hijriyyah. Tata cara penetapan awal bulan kalender hijriyyah telah diatur sedemikian rupa oleh syari`ah.
Yaitu dengan tata cara “rukyah hilal” (melihat hilal dengan kasat mata), setelah dipastikan tidak mungkin adanya hilal, maka cara alternative kedua adalah dengan “ikmal” (yaitu menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari
kalender hijriyyah). Mayoritas ulama dan fukaha menganalogikan teori “rukyah hilal” dan “ikmal” dalam urusan penetapan awal dan akhir bulan hijriyyah, sebagaimana layaknya “wudlu” dengan “tayamum” dalam urusan
syarat shalat.
Di dalam urusan bersuci, sebagai syarat sah ibadah shalat, syari`at telah mengaitkan kewajiban berwudlu dengan air. Namun apabila tidak ditemukan air, maka syari`ah memberikan jalan alternative kedua dan terakhir, yaitu
tayamum. Begitu halnya dengan penetapan awal bulan hijriyyah, syari`ah telah menetapkan “rukyah hilal” sebagai agen resmi pembuat kebijakan awal bulan hijriyyah. Tetapi apabila tidak dimungkinkan rukyah hilal – mungkin
karena derajat hilal yang terlalu rendah atau kadar kabut dan mendung yang pekat, hingga menyusahkan proses rukyah hilal – maka sebagai gantinya adalah dengan cara “ikmal”, bukan ilmu hisab, ilmu falak, maupun ilmu
astronomi!!!
Karena syari`ah hanya mengikat ibadah shalat dengan wudlu atau tayamum, maka tidak sah hukumnya apabila ibadah shalat dikerjakan tanpa berwudlu atau tayamum. Begitu juga dengan penetapan awal bulan
“ Qamariyyah” dalam kalender hijriyyah, secara jelas dan terang, syari`ah telah menetapkan rukyah sebagai dasar hukumnya, namun apabila tidak ditemukan hasil yang signifikan atau tertutup awan gelap, maka syari`ah telah
menyiapkan alternative sebagai gantinya, yaitu “ikmal” (menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari), dan bukan ilmu hisab, ilmu falak, maupun astronomi! Jadi, apabila penetapan hari raya didasarkan kepada ilmu hisab,
ibaratnya shalat tanpa wudlu maupun tayamum. Tentu tidak sah hukumnya!
Sehingga, konskwensi logis dari pemaparan singkat ini adalah, hari raya idul adha 1431 H di Indonesia pada umumnya jatuh pada hari Rabu, tanggal 17/11/2010. Karena penetapan tersebut berdasarkan pada rukyah hilal yang
telah dilakukan di wilayah waktu Indonesia yang merupakan “mathla`” (daerah tempat muncul hilal) yang berbeda dengan Saudi Arabia.
Demikian, kajian singkat ini saya persembahkan kepada pembaca, sebagai bahan bacaan, renungan, dan kritikan. Penulis menyambut baik masukan-masukan dan diskusi-diskusi, sebagai share pengetahuan, untuk
menambah wawasan keagamaan kita. Tidak lupa, penulis attach sebuah kajian dalam power point yang berhubungan dengan rukyah hilal dan dasar-dasar hukumnya, sebagai bahan kajian pelengkap. Sekian.


.

PALING DIMINATI

Back To Top