Bismillahirrohmaanirrohiim

Pesantren dan Tradisi Keulamaan

Bulan lalu, saya sowan ke seorang kiai di ujung timur pulau Madura. Kiai kharismatik yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan di lingkungan pesantren tersebut melontarkan sebuah pandangan kritis, “Mungkinkan pesantren melahirkan ulama-ulama yang mempunyai integritas keilmuan yang kuat?”

Pertanyaan tersebut muncul bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan spontan. Sebuah pertanyaan yang timbul dari kegelisahan yang mendalam. Setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi pesantren saat ini. Pertama, tantangan eksternal. Pihak dunia internasional memandang pesantren sebagai agen terorisme. Meskipun pandangan tersebut sama sekali tidak benar, tapi adanya oknum segelintir pesantren yang mengusung ideologi kekerasan turut membebani karakter moderat yang sudah lama dikalungkan pesantren.

Pesantren pada hakikatnya merupakan sebuah lanskap dari karekter Islam Nusantara, yang hendak memadukan antara dimensi lokalitas dengan teologi keislaman yang bersifat universal. Sebab itu, pesantren bukanlah institusi yang monolitik dengan mengusung ideologi tertentu. KH. Musthafa Bisri (2008) melontarkan sebuah pandangan yang unik dalam menjelaskan realitas tersebut, bahwa karakter pesantren ditentukan oleh kiai. Jadi, katagorisasi pesantren mengacu pada sistem yang digunakan oleh setiap kiai di pesantren.

Memang tidak mudah untuk memberikan penilaian terhadap pesantren dengan segala keragaman arus, metode, bahkan ideologi yang diusungnya. Karena, hakikatnya pesantren merupakan sebuah ijtihad personal kiai dalam rangka menerjemahkan nilai-nilai keislaman dalam konteks keindonesiaan dengan berbagai kecenderungannya.

Ada kiai yang memandang, bahwa kitab kuning masih relevan untuk segala zaman, dan karenanya harus dipertahankan. Tetapi ada pula yang memandang, bahwa yang penting dari kitab kuning bukanlah teksnya, melainkan substansinya. Yang lebih ekstrem lagi ada yang mengatakan, bahwa kitab kuning adalah segala-galanya. Kitab kuning bisa menjawab berbagai macam persoalan keumatan dari A hingga Z.

Maka dari itu, tantangan eksternal di atas merupakan bola salju yang akan terus menggelinding sepanjang pesantren tidak mempunyai inisiatif untuk melakukan anti-tesa terhadap pencitraan buruk yang dilakukan oleh pihak asing. Mayoritas pesantren yang moderat dan toleran harus mampu mengekspresikan kepada publik perihal nilai-nilai yang dikembangkan di pesantren, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebangsaan dan hak asasi manusia.

Kedua, tantangan internal. Belakangan ini, pesantren mulai gamang di antara mempertahankan identitas sebagai institusi yang dihadapkan mencetak kader umat yang mempunyai keahlian dalam bidang agama (mutafaqqih fi al-dîn) dengan tuntutan sosial yang mulai semakin tergerus oleh arus kapitalisme. Spirit voluntarisme yang melekat di jantung pesantren mulai digoyang dengan kecenderungan untuk menilai segala sesuatunya dengan hal-hal yang berbau materialistik. Kecenderungan mutakhir harus diakui, bahwa tidak banyak pesantren yang bisa bertahan dengan idealismenya untuk mengembangan studi-studi keislaman (islamic studies).

Dalam hal ini, tantangan internal ini sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada tantangan internal di atas. Sebab karakter pesantren yang belakangan terkesan “radikal”, bahkan “ekstrem” tidak lain karena tradisi keilmuan yang dulunya menjadi trade mark yang paling menonjol dari pesantren mulai hilang.
Akibat derasnya arus kapitalisme dan godaan politik, pesantren kerap merespon realitas sosial baik dalam skala nasional maupun mondial tidak lagi menggunakan rasio-keagamaan yang begitu luas dan kaya, melainkan tidak sedikit yang berlatar-belakang vested interest, baik ekonomi maupun politik. Lihat misalnya, bagaimana respon pesantren terhadap korban Lapindo, TKI/TKW, harga-harga sembako yang membumbung tinggi.

Ulama dan Keulamaan

Harus diakui, bahwa masalah yang mulai mengemuka pada panggung pesantren adalah begitu banyak orang yang menjadi “ulama”, tetapi sedikit sekali yang mempunyai karakter “keulamaan” sebagaimana ditunjukkan oleh para ulama di masa lalu. Salah satu contoh adalah Imam al-Ghazali, yang dikenal di kalangan pesantren dengan gelar “hujjatul Islam”. Yaitu seorang ulama garda depan dengan segudang keilmuan yang dimilikinya.

Dulu, seorang ulama tidak hanya mempunyai status sosial tertentu, tetapi mempunyai keahlian dan kedalaman ilmu yang sudah diakui publik dan tidak diragukan kemampuannya (muttafaq ‘alayh). Seorang ulama bukan karena simbol yang digunakannya, melainkan pada produksi keilmuan yang telah dilahirkan dan mampu membimbing umat ke jalan yang diridhai Tuhan.

Seorang ulama adalah sosok yang mampu memperkaya khazanah keilmuan melalui penalaran dan pembelajaran terhadap khazanah keislaman yang berkembang sebelumnya. Dalam bidang tasawuf, Imam al-Ghazali mengembangkan sufisme yang diletakkan oleh Imam al-Muhasibi, sedangkan dalam bidang filsafat ia mengkritisi pandangan Ibnu Sina.

Kepakaran dan kecerdasan Imam al-Ghazali tidak hanya berhembus di lingkungan muslim, tetapi juga merambah ke Eropa. Mahmoud Hamdi Zaqzuq (1996) menemukan sebuah fakta emperik yang patut dicermati. Di sebuah perpustakaan Descartes di Perancis ditemukan sebuah karya Imam al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl.

Filsafat cogitu ergo sum atau “saya berfikir, maka saya ada” diduga mempunyai mempunyai kemiripin dengan ungkapan Imam al-Ghazali, Barang siapa tidak ragu, maka ia tidak akan berfikir. Dan barangsiapa tidak berfikir, maka ia tidak akan menemukan kebenaran. Zaqzuq memandang ada kecocokan antara cogitu ergo sum dengan filsafat yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali.

Meskipun objektivikasi dari filsafat keduanya berbeda, karena Descartes menggunakannya untuk mengantarkan eropa pada pencerahan dan ilmu pengetahuan. Sedangkan Imam al-Ghazali menggunakan filsafatnya untuk pencerahan batin.

Jadi, seorang ulama adalah seorang ilmuan. Ia mempunyai karya intelektual yang sangat berharga dan dapat menyumbangkannya bagi peradaban dunia. Imam al-Ghazali memberikan contoh terbaik bagi kita semua, bahwa ulama identik dengan seorang yang menomersatukan penyembahan kepada Tuhan. Tetapi, di samping itu, seorang ulama juga seorang ilmuan yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan umatnya. Apa yang diyakininya sebagai sebuah keimanan absolut merupakan sumber bagi penemuan-penemuan dalam berbagai bidang keilmuan.

Peran Pesantren

Tuntutan mendesak yang harus dibuktikan pesantren di masa mendatang adalah mengembangkan kembali keilmuan dan peradaban Islam yang telah diwariskan oleh sejumlah ulama tersohor. Langkah itu penting agar pesantren dapat melahirkan ulama dalam arti yang sebenarnya.

Ulama yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap kemajuan umat dan bangsa. Ulama yang tidak mudah tertarik dengan godaan politik dan kapitalisme. Ulama yang sejatinya menghabiskan hidupnya untuk memajukan umat.

Dalam hal ini, pesantren harus memainkan peran yang optimal untuk menghidupkan kembali tradisi keulamaan di atas. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan: Pertama, reformasi kurikulum pesantren. Di era teknologi informasi yang makin canggih, mengakses buku-buku keislaman bukanlah hal yang sulit. Misalnya, sekarang sudah tersedia situs www.al-mostofa.com, yang menyediakan berbagai buku-buku berbahasa Arab, baik klasik maupun kontemporer. Buku-buku tersebut dapat dijadikan sebagai buku pegangan bagi para santri dan para murid. Ada ratusan ribu, bahkan jutaan khazanah keislaman yang tersedia, yang dapat dijadikan sebagai sumber utama untuk meningkatkan kualitas keulamaan di pesantren.

Kedua, reformasi metode pengajaran. Selama ini pesantren hanya menggunakan metode monolog, satu arah. Di masa mendatang harus dikembangkan metode dialog, yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi santri dalam proses belajar-mengajar.

Ketiga, peningkatan fasilitas belajar-mengajar. Maksudnya, pihak pesantren harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para santri untuk senantiasa belajar. Dalam hal ini, pembelajaran bukan hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas.

Masalah klasik yang dihadapi pesantren dalam hal peningkatan kualitas keulamaan adalah konsentrasi pada kuantitas jumlah santri. Sedangkan konsentrasi pada kualitas pendidikan kerapkali dilupakan. Jika soal kualitas ini diperhatikan dengan baik, maka pesantren akan melahirkan kembali para ulama yang mempunyai kedalaman ilmu dan kejernihan hati.

Zuhairi Misrawi, Ketua Moderate Muslim Society


.

PALING DIMINATI

Back To Top