Bismillahirrohmaanirrohiim

Islam dan Kitab Kuning (Oleh Gus Irwan Masduqi, Lc)

إن المعرفة الدينية كأي معرفة أخرى هي حصيلة جهد البشر وتأملهم
وهي دائما مزيج من الأراء الظنية واليقينية ومن الحق والباطل

Perbedaan antara “Islam” sebagai agama dan “kitab kuning” sebagai pemahaman keagamaan adalah sebuah kaedah prinsipil yang seharusnya dipegang erat oleh kalangan pesantren. Islam adalah al-din (religious), sedangkan kitab kuning yang mencakup disiplin ilmu tafsir (Quranic exegesis), fikih (jurisprudence), ushul fiqh (Islamic legal theory), tasawuf (mysticism), kalam (theology) dan lain-lain, adalah al-fikr al-din atau “pemahaman keagamaan” belaka.



Islam selalu mengajarkan kebenaran, sedangkan pemahaman keislaman dalam kitab kuning tidak senantiasa mengandung kebenaran; ia bisa benar dan salah (yahtamilu shawab wal khatha’). Islam pasti benar karena ia bersumber dari Tuhan, sementara pemahaman keislaman tidak senantiasa benar karena bersumber dari ijtihad manusia yang notabene mahal al-khatha’ wa nisyan. Selaras dengan gagasan ini, Wael B. Hallaq dalam buku A History of Islamic Legal Theory menyatakan,

In Islam, religion as a pure idea finds expression in the Quran and the Sunna of the Prophet. The exegesis and interpretation of these two texts, as well as the entire system of Islamic hermeneutics constructed on the basic of these texts throughout the centuries, are nothing but systems of religious thought that are merely human, and thus susceptible to error.

Islam dan pemahaman keislaman kelihatannya sangat mudah dibedakan, tetapi perbedaan itu sangat sulit diterima oleh sebagian besar kalangan pesantren tradisional. Kita sering melihat fenomena dimana kitab kuning, yang sejatinya hanyalah pemahaman keislaman, seakan-akan dianggap sebagai Islam itu sendiri. Akibatnya, kitab kuning sangat disakralkan di tengah-tengah komunitas pesantren. Kemudian, jika ada santri yang menyalahi teks-teks kitab kuning maka seakan-akan ia telah menyalahi agama Islam itu sendiri.

Santri-santri kemudian merasa tak berani mempertanyakan ulang kebenaran isi kitab kuning karena takut “kualat” dan diancam tidak akan mendapat barakah. Setiap upaya mempersoalkan relevansi kitab kuning justru dianggap sebagai sebuah tindakan su’ul adab. Sakralisasi (taqdis) ini muncul karena ketiadaan kesadaran tentang adanya perbedaan antara Islam dan pemahaman keislaman dalam kitab kuning.

Sekali lagi, Islam adalah ajaran Quran dan Sunnah. Di sisi lain, pemahaman keislaman dalam kitab kuning adalah penafsiran al-Quran dan Sunnah oleh para ulama yang senantiasa terpengaruh kondisi sosial dan budaya pada masa ketika mereka hidup. Untuk itu, generasi Islam masa kini bertugas melakukan “pembacaan ulang” (i’adah qiraah) terhadap kitab kuning guna menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultural masa kini.

Pesantren juga harus mengimplementasikan kaedah al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi jadid al-ashlah; melestarikan tradisi klasik yang baik dan mengadopsi pemikiran baru yang lebih baik. Kaedah ini memotivasi kalangan pesantren agar kritis dalam menyeleksi mana yang shalih (baik) dan mana yang thalih (buruk) dari kitab kuning. Nilai-nilai yang positif kita terima sedangkan nilai-nilai negatif kita tolak. Ajaran kitab kuning yang masih relevan untuk masa kini kita terima, sedangkan ajaran kitab kuning yang sudah tidak relevan kita perbaharui agar sesuai dengan tantangan modernitas (al-hadatsah) dan isu-isu kontemporer (qadhaya al-mu’ashirah). Selain mendorong kritisisme, kaedah ini pun mendorong kalangan pesantren agar terbuka menerima hal-hal baru yang baik. Dengan demikian pesantren akan mampu menjaga keseimbangan antara tradisionalitas dan modernitas serta mampu mengawal proses pergeseran dari sikap tertutup menjadi terbuka.

Namun kaedah tersebut perlu dimodifikasi menjadi al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi jadid al-ashlah wa al-ibda’ al-fikrah al-muashirah al-ashlah; menjaga tradisi klasik yang baik, mengadopsi pemikiran baru yang lebih baik, dan melakukan inovasi pemikiran kontemporer yang lebih baik. Frasa wa ibda’ al-fikrah al-muashirah hendak mendorong kalangan pesantren agar berani melakukan terobosan-terobosan dan berinovasi secara kreatif guna menyikapi pelbagai problematika kekinian.

Spirit inovasi dan pembaharuan bukanlah hal yang asing di kalangan ulama, terutama di kalangan fuqaha yang sering melontarkan slogan al-ahkam tataghayaru bi taghayuril amkinah wal azminah; hukum Islam senantiasa berubah-ubah selaras dengan perubahan tempat dan waktu. Berbekal spirit ini mudah-mudahan kalangan pesantren menyadari pentingnya pengembangan dan pembaharuan pemikiran keislaman.

(Tulisan ini hanya catatan ringan dan ringkas dalam Jurnal Pondok Assalafiyah)


.

PALING DIMINATI

Back To Top