Bismillahirrohmaanirrohiim

FIKIH AVERROISME : Proyek Pembaharuan dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid Karya Ibn Rusyd (Oleh Irwan Masduqi, Lc)


فإن هذا الكتاب إنما وضعناه ليبلغ به المجتهد في هذه الصناعة رتبة الإجتهاد
إبن رشد

Ibn Rushd’s Bidayat al-Mujtahid occupies a unique place among the authoritative manuals of Islamic law. It is designed to prepare the jurist for the task of the mujtahid, the independent jurist, who derives the law and lays down precedents to be followed by the judge in the administration of justice. In this manual Ibn Rushd traces most of the issues of Islamic law, describing not only what the law is, but also elaborating the methodology of some of the greatest legal minds in Islam to show how such laws were derived. (Imran Nyazee)


Averroisme Eropa dan Averroisme Islam

Ibn Rusyd, yang dalam literatur Barat dikenal dengan nama Averroes, adalah filosof muslim yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan filsafat dan kedokteran di Eropa. Inilah testimoni yang diberikan oleh Ernest Renan, sarjana Prancis penulis Averroès et l'averroïsme. Herny Corbin, dalam History of Islamic Philosophy, juga memberikan testimoni bahwa Ibn Rusyd adalah “the most eminent representative of what has been called Arab philosophy”, yakni representasi paling unggul dari filsafat Arab. Ada pula yang menjulukinya sebagai “Prince of Science”; pangeran ilmu pengetahuan. Pengaruh Ibn Rusyd di Eropa abad pertengahan memang sangat besar. Oleh karena itu, Habeeb Salloum, penulis Arab yang tinggal di Canada, menulis sebuah artikel yang berjudul Ibn Rusyd: the Great Muslim Philosopher who Planted the Seeds of European Renaissance (Ibn Rusyd: Filosof Muslim Besar yang Menanam Benih Kebangkitan Eropa). Pemikiran-pemikiran brilian Ibn Rusyd menyeruak di Eropa melalui Spanyol yang dianggap sebagai jembatan penyeberangan kebudayaan Arab-Islam ke Barat. Karya-karyanya diterjemahkan dari Arab ke Hebrew oleh Jacob Anatoli, dan dari Hebrew ke Latin oleh Jacob Mantino dan Abraham de Balmes. Karya-karya yang lainnya diterjemahkan secara langsung dari Arab ke Latin oleh Michael Scot.

Ernest Renan, Israel Welfens, dan Oliver Leaman mencatat bahwa filsafat Ibn Rusyd berpengaruh di kalangan Yahudi melalui peran filsuf Yahudi bernama Moses Maimonides (Musa bin Maymun). Bagi sarjana Yahudi abad pertengahan, Ibn Rusyd hampir setara dengan Aristoteles, sebab jika tanpa Ibn Rusyd—komentator terbaik Aristoteles—maka kaum Yahudi tak akan mengenal Aristoteles. Sejak era Maimonides, rancang-bangun filsafat Yahudi banyak mengacu pada filsafat Arab. Pengaruh pemikiran Ibn Rusyd ke dalam budaya intelektual Barat menyebar sejak abad ke-11 M, sebab—menurut Ernest Renan—bahasa Arab pada abad ke-10 M telah menjadi bahasa komunitas Yahudi dan Kristen Spanyol. Tak pelak apabila kesatuan bahasa menjadi media penyerapan kebudayaan Islam ke Barat.

Pada abad pertengahan, Barat berada dalam dark ages. Sistem feodalistik mendominasi dan para bangsawan berkongkalikong dengan pihak Gereja memonopoli kendali sosial, politik, dan ekonomi yang merugikan kaum lemah. Ironisnya, kebijakan mereka senantiasa dijustifikasi dengan doktrin agama. Banyak kalangan yang menentangnya, tak terkecuali tokoh-tokoh rasional yang menamakan dirinya sebagai “Averroisme”, sebuah madzhab pecandu filsafat Ibn Rusyd, seperti Johannes Jandun (1328), Urban dari bologna (134), Paul dari Venesia (1429), Siger de Brabant (1235-1282), Thomas Aquinas, Boethious de Decie, Berner van Nijvel, Antonius van Parma, dan lain-lain. Pihak Gereja dan para bangsawan merasa terancam oleh gerakan ini. Untuk membendungnya, maka pada tahun 1270 mereka mengharamkan Averroisme. Pengharaman ini tidak menyebabkan Averroisme gulung tikar. Sebaliknya, Averroisme justru berkembang dan diapresiasi.

Lain di Eropa, lain pula di Islam. Di Eropa, filsafat Ibn Rusyd bersemi. Namun, dalam kebudayaan Islam, filsafat Ibn Rusyd dicampakkan oleh orang-orang seagamanya sendiri. Filsafat bagi mayoritas kalangan Islam dianggap barang haram yang harus dijauhi. Hal ini dikarenakan kuatnya pengaruh propaganda al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifa; sebuah karya polemis yang mengkafirkan ahli filosofi. Diakui atau tidak, resistensi mayoritas kalangan Islam terhadap filsafat akhirnya menyebabkan karya-karya filsafat Ibn Rusyd kurang dihargai.

Dalam konteks kebudayaan Islam, satu-satunya karya Ibn Rusyd yang diterima secara massif oleh kalangan tradisional adalah Bidayat al-Mujtahid dalam bidang fikih. Fenomena ini disebabkan oleh karakter kebudayaan Islam tradisional yang lebih didominasi oleh “tradisi fikih” ketimbang filsafat. Kaum muslim tradisional memiliki semangat menggebu-nggebu ketika berbicara fatwa-fatwa haram, namun kurang berminat menguraiakan dan mendeskripsikan pelbagai problematika secara teoretis-filosofis. Naifnya, Bidayat al-Mujtahid di kalangan ini kurang digali nilai-nilai rasional dan progresifnya. Ia hanya dibaca secara konvensional dengan model “pembacaan repetitif” (qiraah tikrar), bukan dengan “pembacaan produktif” (qiraah muntijah).

Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, maka saat ini dibutuhkan upaya menghidupkan spirit pembaharuan Averroisme di dalam kebudayaan Islam dalam rangka rasionalisasi. Jika Averroisme Eropa dengan spirit rasionalismenya berani mendobrak kemapanan tatanan sosial dan otoritas agamawan-bangsawan, maka seyogyanya Averroisme Islam mampu mendobrak konservatisme dan kejumudan. Proyek rasionalisasi (al-masyru’ al-‘aqlaniy) tak lain adalah bagian dari proyek kebangkitan (al-masyru’ al-nahdhawi). Proyek ini harus ditempuh secara gradual dan membutuhkan proses panjang. Dengan melihat bahwa kebudayaan Islam tradisional lebih didominasi oleh tradisi fikih, maka tidak ada salahnya jika proyek rasionalisasi dimulai secara gradual dari bidang fikih ketimbang bidang-bidang yang lain. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, makalah ini hendak menggali pelbagai aspek yang bertalian dengan kitab Bidayat al-Mujtahid, terutama spirit pembaharuan fikih Averroisme. Spirit ini penting digali guna mengawal transformasi dari corak fiqh taqlidi menuju fiqh tajdidi dan dari fikih skipturalistik menuju fikih substantif.


Dinamika Islam Andalusia

Cordoba (Cordova), Andalusia, Spanyol Selatan, adalah tanah kelahiran Ibn Rusyd. Cordoba adalah salah satu provinsi Andalusia yang terletak di sebelah Sungai Guadalquivir. Kota ini didirikan oleh Claudius Marcellus dengan nama Corduba pada zaman Romawi Kuno. Pada masa kekuasaan Islam, orang Arab menyebutnya Qurthubah. Cordoba dibangun sebagai ibukota Dinasti Umayah Spanyol oleh Abdurrahman al-Dakhil. Puncak kejayaan dinasti Islam Eropa ini dicapai pada periode pemerintahan Abdurrahman al-Nashir (929-961 M) dan al-Hakam (961-976 M) yang ditandai dengan kemajuan di segala bidang.

Andalusia memiliki banyak pusat keilmuan, mulai dari Madrasah Cordoba, Sevilla, Almeria, Toledo, hingga Zaragoza. Ilmu bahasa dan ilmu-ilmu agama menyebar secara merata di kota-kota tersebut. Namun, masing-masing madrasah memiliki karakteristik yang menonjol di bidang keilmuan lain. Toledo dan Zaragoza lebih dominasi oleh matematika, astronomi, filsafat metafisika, dan kedokteran. Di Toledo terdapat astronomer terkemuka bernama al-Zarqali (Latin: Arzachel) dan matematikawan bernama al-Baghunsyi. Tak kalah dengan Toledo, Zaragoza memiliki Ibn Bajjah (Latin: Avempace) yang terkenal dalam bidang astromoni, logika, musik, filsafat, psikologi, dan sastra. Sedangkan Almeria merupakan central bagi gerakan gnostik di Andalusia, dimana ordo-ordo mistik berkembang di bawah bimbingan master sufi Ibn al-‘Arif, penerus madrasah tarekat Ibn Masarah al-Qurthubi.

Diantara kelima madrasah tersebut, Madrasah Cordoba dan Sevilla adalah yang paling berpengaruh. Sevilla adalah ibukota lama dan Cordoba adalah ibukota baru. Persaingan antar keduanya tidak hanya dalam ranah politik, melainkan menjalar pada persaingan kebudayaan. Cordoba dan Sevilla memiliki pakar-pakar dalam segala bidang, tetapi masing-masing kota memiliki keunggulan dalam bidang tertentu. Cordoba lebih menonjol dalam bidang pemikiran teoretis, sedangkan Sevilla menonjol dalam seni dan sastra. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Ibn Rusyd kepada koleganya yang bernama Ibn Zahr (Latin: Avenzoar), “Jika ada orang alim meninggal dunia dan kitab-kitabnya akan dijual maka kitab-kitab tersebut dibawa ke Cordoba. Jika ada musisi yang meninggal kemudian alat musiknya akan dijual maka dibawa ke Sevilla”.

Dalam konteks internal, Cordoba adalah ibukota sekaligus pusat kebudayaan intelektual yang paling menonjol di Andalusia. Di sisi lain, dalam konteks eksternal dunia Islam, Cordoba terlibat dalam rivalitas dengan Dinasti Abasiyah di Baghdad dan Dinasti Fatimiyah di Cairo. Rivalitas ketiga dinasti tersebut tidak hanya terbatas dalam persoalan politik belaka, tetapi menjalar dalam bidang epistemologi. Dinasti Abasiyah mengusung corak teologi Mu’tazilah-Asy’ariyah dan madzhab fikih Hanafiyah, sedangkan di pihak lain Dinasti Fatimiyah mengusung fikih Syiah dan filsafat Bathiniyah. Dinasti Abasiyah bersenjatakan epistemologi bayani (retoris) vis a vis Dinasti Fatimiyah yang bersenjatakan epistemologi irfani (gnostik). Untuk menguatkan ideologi dan epistemologi masing-masing, Dinasti Abasiyah mendapuk logika Aristoteles (mantiq) manakala Dinasti Fatimiyah mendapuk filsafat esoterik Hermetisisme. Rivalitas politik dan kebudayaan dua dinasti tersebut mengambarkan betapa kentalnya fanatisme sektarianistik Sunni Abasyiah dan Syiah Fatimiyah.

Di tengah-tengah rivalitas dua dinasti tersebut, Cordoba—sebagai kota paling representatif Andalusia—menyadari adanya tantangan untuk mendefinisikan identitas kulturalnya yang khas. Cordoba dituntut untuk mencanangkan “proyek kebudayaan baru” (al-masyru’ al-tsaqafi al-jadid) dalam rangka pencarian jati diri dan mempertahankan eksistensinya dari serangan kebudayaan Dinasti Abasiyah dan Fatimiyah. Dalam bidang fikih, Cordoba dan wilayah Andalusia lainnya diwarnai oleh corak orisinalitas fikih yang selaras dengan fikih para sahabat dan tabiin sejak penaklukan Islam pada tahun 92 H. Dinasti Umawiyah Andalusia awalnya menganut madzhab al-Auza’i yang diikuti oleh Bani Umayah di Damaskus. Madzhab Auza’i dinilai selaras dengan madzhab sahabat dan tabiin yang menaklukan Andalusia, yakni sama-sama bertumpu pada riwayat.

Pada periode berikutnya, Dinasti Umayah Andalusia mengetahui sikap politik Imam Malik, pendiri madzhab Malikiyah, yang lebih mendukung Dinasti Umawiyah ketimbang kebijakan-kebijakan politik Dinasti Abasiyah. Melihat adanya keuntungan secara politis, Dinasti Umayah berinisiatif mengadopsi madzhab Malikiyah—yang juga bertumpu pada riwayat sebagaimana madzhab Auza’i—sebagai madzhab resmi imperium Andalusia. Peresmian madzhab Malikiyah di Andalusia tak lain merupakan wujud implementasi dari proyek kebudayaan sekaligus manuver politik yang dicanangkan guna menandingi hegemoni kebudayaan Abasiyah dan Fatimiyah. Di sisi lain, dalam bidang filsafat, mula-mula Cordoba adalah kota yang steril dari filsafat Yunani. Namun, menyadari semakin ketatnya persaingan dengan kebudayaan Abasiyah dan Fatimiyah, Khalifah Abdurrahman al-Nashir dan al-Hakam al-Muntasir Billah bertekat mengumpulkan khazanah keilmuan filsafat dan pelbagai disiplin ilmu lainnya dari Baghdad, Mesir, dan kawasan Timur Islam lainnya. Inilah puncak kejayaan intelektual Dinasti Umawiyah Andalusia.

Sayangnya, kejayaan tersebut tidak berlangsung lama sebab pada tahun 1009 M Andalusia mengalami keruntuhan dan memasuki era muluk al-thawaif, masa perpecahan dan munculnya kerajaan-kerajaan kecil. Pada tahun 1086 M, perpecahan ini dapat disatukan kembali seiring dengan munculnya kekuasaan Dinasti Murabithin di Andalusia. Yang mengecewakan, Dinasti Murabithin justru lebih didominasi oleh kelompok agamawan penganut madzhab Maliki yang sangat konservatif. Hegemoni Malikiyah memang telah berlangsung lama sejak ditetapkan sebagai madzhab resmi Dinasti Umawiyah. Namun, hegemoni ini bermetamosfosis menjadi konservatisme radikal pada masa Murabithin. Ironisnya, konservatisme ini mendapatkan legitimasi dari Ali bin Yusuf bin Tasyfin, Amir Dinasti Murabithin. Untuk mengilustrasikan fenomena ini, al-Marakisyi dalam al-Mu’jab fi Talkhish Akhbar al-Maghrib menulis,

“Tidak ada ulama yang bisa mendapatkan tempat di pemerintahan kecuali orang-orang yang membidangi fikih madzhab Maliki. Pada masa itu, kitab fikih Malikiyah disebarluaskan dan masyarakat diwajibkan mengamalkannya. Kitab-kitab selain Malikiyah disingkirkan”

Stagnansi pemikiran Andalusia era Murabithin memang memprihatinkan. Kitab Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali pun tidak selamat dari pembakaran massal ini. Yang lebih mengerikan, ulama fikih pada saat itu mengeluarkan fatwa mati bagi siapa pun yang menyimpan karya-karya al-Ghazali. Konservatisme tersebut otomatis memantik perlawanan dari kalangan oposisi. Pada tahun 1152 M, muncullah revolusi kaum oposisi yang menyerukan pembaharuan pemikiran yang dipimpin oleh Ibn Tumart. Ibn Tumart adalah cendekiawan tercerahkan yang pernah berguru pada al-Ghazali, Abi Bakar al-Syasyi, dan Ibn Abd al-Jabbar di Baghdad, Abi Bakar al-Tharthusyi di Mesir, dan Ibn Hamdin di Cordoba. Dengan tekat mewujudkan perubahan sosial keagamaan, gerakan oposisi berhasil menumbangkan Dinasti Murabithin dan mendirikan Dinasti Muwahidin.


Konteks Historis Kitab Bidayat al-Mujtahid

Abu al-Walīd Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M. Keluarganya berasal dari kalangan aristokrat dan ulama penganut madzhab Malikiyah. Kakek dan ayahnya adalah hakim agung Cordoba pada era Dinasti Murabitin. Pada tahun 563 H, Abu Ya’qub Yusuf bin Abd al-Mu’min bin Ali, khalifah Dinasti Muwahidin, mengangkat Ibn Rusyd menjadi hakim agung Cordoba setelah dua tahun menjabat sebagai hakim di Sevilla. Guru-guru Ibn Rusyd yang paling berjasa atas kesuksesannya dalam menempuh karir sebagai hakim adalah pakar-pakar fikih Andalusia, seperti Abu Qasim bin Bisykawal, Abu Marwan bin Masarah, Abu Bakar bin Samhun, Abu Bakar bin Abd al-Aziz, dan lain-lain.

Selain memiliki kemampuan yang luar biasa dalam fikih, Ibn Rusyd pun menguasai filsafat, teologi, mantiq (logic), psikologi, politik, teori musik Arab, kedokteran, astronomi, geografi, matematika, fisika, dan mekanika benda langit (celestial mechanics). Singkat kata, Ibn Rusyd adalah seorang “polymath”, yakni pemikir yang komplit. Kepakaran multidisipliner inilah yang menempatkannya sebagai intelektual terpandang di mata Amir Dinasti Muwahidin, yakni Abi Ya’qub Yusuf bin Abd al-Mu’min bin Ali. Menurut Ernest Renan, jumlah karya Ibn Rusyd mencapai tujuh puluh delapan judul, dengan rincian tiga puluh sembilan judul tentang filsafat, lima tentang ilmu kalam, delapan tentang fikih, empat tentang ilmu falak, matematika, dan astronomi, dua tentang nahwu dan sastra, serta dua puluh judul tentang kedokteran.
Sebelum Bidayat al-Mujtahid ditulis, sebagai seorang cerdik-cendekia Ibn Rusyd menyadari betul dinamika intelektual pada masanya yang didominasi oleh kemandegan pemikiran (stagnansi). Stagnansi umat Islam sangatlah akut, hingga revolusi Ibn Tumart pun tak sepenuhnya mampu membendung. Stagnansi ini diperparah, atau mungkin diakibatkan, oleh mengendurnya kekuatan politik dinasti-dinasti Islam. Abasyiah melemah seiring munculnya hegemoni Saljukiyah dan Buwaihiyah. Fatimiyah terpecah belah akibat konflik internal. Sedangkan Andalusia tidak seutuhnya bersatu pasca era perpecahan muluk al-thawaif. Melemahnya kekuasaan sebuah pemerintahan sama artinya dengan melemahnya dukungan penguasa terhadap kreativitas para ulama.

Era stagnansi ini ditandai dengan munculnya asumsi-asumsi dogmatis bahwa capaian para fuqaha klasik telah sempurna sehingga tidak butuh pembaharuan pemikiran. Asumsi ini kemudian menjadi jargon kaum pembebek (muqallidin) yang digubah dalam syair, “wa kullu khairin fi ittiba’i man salaf wa kullu syarrin fi ittiba’i man khalaf”. Syair ini menyatakan bahwa “kebaikan hanya ada dalam sikap membebek pada para pendahulu dan kejelekan ada dalam sikap membebek pada generasi belakangan”. Generasi pendahulu (salaf) dianggap sebagai pemegang kebaikan dan kebenaran, sementara generasi belakangan (khalaf) sebagai penyebab keburukan dan kesesatan. Inilah logika kaum konservatif era skolastik yang terlalu mensakralkan para pendahulu (taqdis al-salaf). Stagnansi pemikiran, terutama dalam bidang fikih, menurut Ignaz Goldziher dapat dilihat dari corak aktivitas intelektual yang berkutat dalam tradisi komentar terhadap karya pendahulu (syarh). Kenneth E. Nollin menyebut karya-karya pada masa ini sebagai “corpus of conservative tradisionalism”.

Banyak faktor yang menyebabkan stagnansi, antara lain: pertama, ditutupnya pintu ijtihad oleh ulama konservatif yang berimbas pada pemasungan kebebasan intelektual; kedua, kodifikasi pendapat-pendapat ulama klasik pada masa Abbasiyyah. Pasca kodifikasi, generasi sesudahnya merasa cukup pada produk-produk hukum lama dengan cara merujuknya. Dengan demikian menjadi minim dorongan untuk berinovasi; ketiga, fanatisme bermadzhab yang mengakibatkan keterjebakan para ulama dalam pembelaan terhadap madzhab masing-masing. Konsekuensinya, aktivitas intelektual hanya dikerangkakan untuk membenarkan madzhabnya sendiri dan menyalahkan madzhab lain. Oleh sebab itu, pada era ini banyak kajian yang tidak obyektif. Produk intelektual kalangan ini dicirikan oleh ketundukan pada pendahulu tanpa kritisisme. Para pendahulu terlalu dikuduskan, sehingga yang terjadi adalah semacam sikap “pemberhalaan” terhadap kitab-kitab fikih karya pendahulu. Untuk mendeskripsikan fenomena stagnansi pada masanya, Ibn Rusyd berkata,

“Di sini ada golongan orang awam dan fuqaha. Golongan awam adalah pembebek. Perbedaan mereka dengan fuqaha adalah bahwa fuqaha menghapalkan pendapat-pendapat para mujtahid kemudian mengabarkan kepada orang awam. Jadi tingkatan fuqaha hanyalah penukil. Fuqaha kadang keterlaluan menganalogikan problematika baru—yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab induk—dengan pendapat-pendapat para mujtahid. Dengan demikian, mereka telah memposisikan pendapat pendahulu sebagai sumber hukum (ashal). Ini adalah bid’ah dan kesesatan”

Menyaksikan fenomena tersebut, Ibn Rusyd merasa prihatin dan segera meresponnya dengan menulis karya Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid sejak tahun 564 hingga 565 H, kecuali bab Haji yang selesai ditulis dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada hari Rabu, 9 Jumadil Ula, 584 H/1188 M. Karya ini diproyeksikan untuk mendobrak kemapanan, mengkritik ortodoksi fuqaha, dan menggerakkan kejumudan fikih dengan cara membuka pintu ijtihad, sebagaimana yang diungkapkan oleh Khan Nyazee, asisten profesor di International University, Islamabad, selaku penerjemah Bidayat al-Mujtahid ke bahasa Inggris. Untuk memperjelas tujuan penulisan karyanya, Ibn Rusyd menulis,

“Tujuanku dalam kitab ini adalah menjelaskan masalah-masalah yang disepakati dan atau diperdebatkan oleh fuqaha dengan menguraikan rahasia-rahasia perdebatan itu secara metodologis”. “Kitab ini aku tulis agar seorang peminat fikih mencapai tingkatan mujtahid”


Filsafat Fikih dan Fikih Komparatif Averroisme

Bidayat al-Mujtahid merupakan kitab fikih terbaik yang menganalisis secara metodologis perbedaan pendapat para pakar hukum sejak era sahabat hingga era stagnansi fikih. Perbedaan fuqaha dalam masalah-masalah fikih didiagnosis dengan cara menelusuri tendensi hukum dan dasar argumentasi masing-masing madzhab. Dalil al-Quran dan hadits beserta metodologi masing-masing madzhab diuraikan dengan sistematis. Dengan metode ini, disengaja atau tidak, sejatinya Ibn Rusyd tengah membangun disiplin ilmu baru yang disebut dengan “filsafat fikih”. Filsafat fikih pada era kontemporer ini menjadi diskursus yang hangat dibicarakan oleh para pemikir Syiah Iran. Abd al-Jabbar al-Rifa’i, salah seorang sarjana Syiah Iran yang ikut berkontribusi membangun proyek ilmu filsafat fikih, mengatakan bahwa filsafat fikih merupakan “ilmu yang berfungsi menggali secara arkeologis terhadap epistemologi fikih dengan tujuan menguak konstruksi internal fikih serta pondasi-pondasi formulasi hukum”.

Dengan pendekatan filosofis terhadap perdebatan fikih, Ibn Rusyd berhasil mengkomparasikan perbedaan lintas madzhab sekaligus perbedaan metode hermeneutik yang digunakan oleh fuqaha dalam menelurkan suatu hukum. Dari sanalah Ibn Rusyd mampu mengidentifikasi muara dan sebab-sebab perbedaan (asbab al-ikhtilaf). Metode analisis-filosofis ini disebut dengan istilah “ilm al-khilaf” atau “the knowledge of variant ruling”, sebuah disiplin ilmu yang berfungsi merekam jejak perdebatan para pakar hukum. Ilmu ini sangat penting dikuasai oleh peminat fikih, sebab seperti kata N. J. Coulson, “the person who does not understand divergence in doctrine, it runs, has not caught the true scent of jurisprudence”, barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan pendapat fuqaha maka ia tak akan bisa mencium bau wangi fikih.

Ilmu ini pantas disebut sebagai filsafat fikih dan penamaan ini tidak akan bermasalah, sebab kata Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbaliyah, “Imam Syafi’i adalah filosof dalam empat disiplin ilmu; linguistika, peta perbedaan pendapat (ikhtilaf al-nas), ma’ani, dan fikih”. Fakhrudin al-Razi (w. 606 H) bahkan menyetarakan al-Syafi’i dengan Aristoteles dalam ilmu logika. Dengan demikian menjadi gamblang bahwa jika ada pakar fikih yang menguasai veris-versi pendapat lintas madzhab beserta metodologi ushul fikihnya, maka ia pantas disebut sebagai filosofnya para fuqaha. Nah, oleh sebab itu, tidak berlebihan apabila kita menyebut al-Syafi’i sebagai filosofnya para fuqaha, sedangkan Ibn Rusyd adalah filosofnya para fuqaha sekaligus ahli fikihnya para filosof sebab ia menguasai filsafat sekaligus fikih, sementara al-Syafi’i hanya membidangi fikih saja.

Ilm al-khilaf dicirikan dengan karakteristik “kritis-filosofis” sebab dalam prakteknya ia memaparkan kontradiksi dan kontroversi fuqaha beserta pondasi penalaran argumentasi mereka seraya menguji akurasi dan validitasnya. Karakteristik kritis inilah yang menjadi daya tarik bagi Ibn Rusyd sebab sesuai dengan kecenderungannya yang menjunjung tinggi rasionalitas dan kritisisme. Pada era modern ini, ilm al-khilaf lebih dikenal dengan istilah “fikih komparatif” (fiqh al-muqaran). Ilmu ini bukan hal yang baru dalam tradisi Islam. Sebelum Ibn Rusyd menulis Bidayat al-Mujtahid, para ulama dari pelbagai madzhab telah menulis karya-karya dalam bidang ini. Namun, seperti apa yang akan kita lihat nanti, karya Ibn Rusyd memiliki ciri khas dan mampu melampaui kualitas karya-karya sebelumnya.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya mencatat bahwa ulama yang paling banyak menulis karya-karya fikih komparatif adalah ulama rasionalis Hanafiyah dan Syafi’iyah. Hal ini berbeda dengan ulama madzhab Malikiyah yang inklinasinya lebih pada fikih transmisional (fiqh al-atsar) sehingga kurang produktif dan inovatif. Namun pada periode selanjutnya, ulama Malikiyah seperti Abu al-Walid al-Baji (w. 474 H) dan Abu Bakar bin al-Arabi (w. 543 H) menulis fikih komparatif setelah mereka melakukan ekspedisi intelektual ke Timur Islam dan berguru pada ulama Hanafiyah. Dengan demikian Ibn Rusyd bukanlah perintis fikih komparatif. Nah, jika Ibn Rusyd bukan pioner dalam bidang fikih komparatif, maka sejauh mana pengaruh pendahulunya terhadap Ibn Rusyd?

Farah Antun, seorang pemikir Kristen Libanon, berpendapat bahwa Ibn Rusyd terpengaruh oleh fatwa-fatwa kakeknya yang dikodifikasikan dalam kitab al-Bayan wa al-Tahshil lima fi al-Mustakhrajah min al-Tawajuh wa Ta’lil (sekarang manuskripnya terdapat di Spanyol dan Paris). Menurut Hamadi Ubaydi, pendapat Farah Antun ini patut diragukan sebab fatwa-fatwa kakeknya hanya berkutat pada fikih Malikiyah sedangkan Ibn Rusyd tidak terkungkung pada satu madzhab. Ada asumsi-asumsi lain yang mencurigai Bidayat al-Mujtahid terpengaruh oleh al-Isyraf ‘ala Masail al-Khilaf karya Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki (w. 422 H), al-Muhalla karya Ibn Hazm (w. 546 H.), al-Wajiz karya al-Ghazali, al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Hanbali, dan lain-lain. Asumsi-asumsi ini akan terpatahkan jika kita membaca dan mengkomparasikan karya-karya tersebut. Ibn Rusyd, sepanjang pengamatan penulis, memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh ulama-ulama lainnya, sebab Ibn Rusyd melihat fikih tidak hanya dari satu perspektif legal formal, melainkan dari kacamata multidisipliner sesuai bidang-bidang yang dikuasainya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan Ibn Rusyd mengumpulkan materi-materi kompilasi pendapat fuqaha lintas madzhab dari karya-karya pendahulunya. Hal ini adalah manusiawi sebab tidak ada seorang ilmuan kecuali ia berdiri di atas bahu para raksasa sebelumnya.


Pluralisme dan Inklusivisme dalam Bidayat al-Mujtahid

“Tidak ada kitab fikih yang lebih baik dari Bidayah al-Mujtahid”, kata Ibn al-Abar dalam al-Takmilah dan Ibn Farhun dalam al-Dibaj al-Madzhab. Kenapa kitab ini mengundang decak kagum dari banyak kalangan? Apa saja keunggulannya? Sejak semula karya ini diproyeksikan guna membuka pintu ijtihad dan mendobrak kejumudan. Caranya adalah dengan memetakan pendapat ahli fikih sejak era sahabat hingga era taqlid kemudian menggali metodologi-metodologi ijtihad mereka. Dengan demikian, pembaca diharapkan mampu menyerap varian metode inferensi hukum (istinbath al-hukm) kemudian mengaplikasikannya dalam rangka mencetuskan produk hukum baru terkait problematika-problematika sosial keagamaan yang senantiasa muncul di masyarakat. Dari sini dapat dipahami bahwa tujuan Ibn Rusyd bukan hanya sekadar perbandingan madzhab, namun lebih jauh dari itu ia hendak menggali varian metodologi hukum sekaligus teknis dan mekanisme operasionalnya.

Bidayat al-Mujtahid tidak membatasi diskursusnya hanya seputar empat madzhab saja. Selain memaparkan madzhab Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, Ibn Rusyd pun tak mengabaikan pendapat-pendapat dari madzhab Ibn Abi Layla, Sufyan al-Tsauri, al-Layts bin Sa’d, Abi Tsaur, Ibn Sabramah, Ishaq bin Rahawiyah, al-Auza’i, Abu ‘Ubayd, Sufyan bin ‘Uyaynah, Hasan al-Bashri, Ibn Jarir al-Thabari, al-Sya’bi, Dawud al-Dhahiri, Ibn Hazm, dan lain-lain. Keterbukaan Ibn Rusyd terhadap pendapat-pendapat madzhab lain menunjukkan bahwa ia adalah ahli fikih yang sangat inklusif dan pluralis. Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah kenapa Ibn Rusyd tidak memaparkan pendapat-pendapat dari madzhab fikih sekte Syiah? Apakah ini terkait dengan ideologi Dinasti Sunni Andalusia yang sepanjang sejarahnya memiliki rivalitas dengan Dinasti Syiah Fatimiyah? Ataukah inklusivisme (sikap terbuka) Ibn Rusyd hanya terbatas pada sekte Sunni? Ini artinya Ibn Rusyd terjebak dalam fanatisme sektarianistik Sunni, sementara pada waktu bersamaan ia bersedia, bahkan mewajibkan, menerima kebenaran rasional meski datangnya dari para filosof Yunani sekalipun. Disamping itu, sejatinya tetap saja ada kebenaran yang tercecer dalam kitab-kitab fikih Syiah karena ijtihad-ijtihad fuqaha Syiah tidak seluruhnya salah.

Penulis berpandangan bahwa tidak dipaparkannya fikih Syiah dalam Bidayat al-Mujtahid bukan ditengarai oleh eksklusivisme (sikap tertutup) Ibn Rusyd terhadap fikih Syiah, sebab realitanya ia sangat terbuka menerima kebenaran dari manapun . Dalam Fashl al-Maqal fi Taqrir ma bayn al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittishal, ia menegaskan bahwa kebenaran dapat dipetik dimana-mana; kebenaran terdapat dalam Islam dan filsafat Yunani. “Kebenaran-kebenaran itu tidak saling bertentangan tetapi saling menguatkan satu sama lain”. “Kita harus mendapuk metodologi dari para pendahulu meskipun berasal dari penganut agama lain”. “Kita wajib membaca buku-buku filosof pendahulu. Jika ada kebenaran maka kita terima. Jika ada kesalahan maka kita tolak”. Statemen-statemen tersebut menunjukkan bahwa Ibn Rusyd sangat terbuka menerima kebenaran dan ijtihad-ijtihad rasional meskpiun datangnya dari kalangan non-Islam sekalipun. Inilah gagasan pluralisme dan inklusivisme Ibn Rusyd.

Nah, jika kita menyepakati hal ini, maka tidak dipaparkannya fikih Syiah dalam Bidayat al-Mujtahid bukan disebabkan eksklusivisme Ibn Rusyd, tetapi lebih disebabkan oleh keterbatasan literatur Syiah di Andalusia. Hal ini atas dasar pertimbangan: pertama, Andalusia adalah basis fanatik Malikiyah sehingga masyarakatnya enggan atau bahkan takut mengoleksi khazanah Syiah; kedua, Syiah memiliki doktrin taqiyah yang menyebabkan banyak kalangan non Syiah sulit mempercayai kebenaran informasi-informasi yang datang dari pihak Syiah, dan; ketiga, proyek kebudayaan yang dibangun oleh dinasti-dinasti Andalusia adalah dalam rangka bersaing dengan identitas kebudayaan Dinasti Syiah Fatimiyah di Cairo. Untuk itu, dinasti-dinasti Andalusia senantiasa mempertahankan diri dari pengaruh kebudayaan lain, tak terkecuali kebudayaan corak fikih Syiah. Konsekuensinya, ulama yang inkslusif sekalipun merasa kesulitan merujuk khazanah keilmuan di luar kebudayaannya sendiri.

Setelah pendapat lintas madzhab sekaligus argumentasi masing-masing diuraikan, Ibn Rusyd kemudian menakar kekuatan dan kelemahannya. Sebagai pakar hukum yang besar dalam tradisi Malikiyah, Ibn Rusyd tidak fanatik memihak pada madzhab Malikiyah, namun justru berani mengkritik madzhabnya sendiri apabila dasar argumentasinya lemah. Contohnya dalam kasus apakah dua juru runding—yang tugaskan oleh seorang hakim dalam rangka melerai polemik suami-istri—berhak menceraikan? Al-Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa juru runding tersebut tugasnya hanya mendamaikan dan tidak berhak menceraikan “tanpa izin suami”. Sedangkan Malik bin Anas berpendapat bahwa juru runding tersebut berhak menceraikan meskipun “tanpa izin suami”. Ibn Rusyd dalam kasus ini mendukung pendapat al-Syafi’i dan Abu Hanifah seraya mengkritik pendapat Malik bin Anas yang dinilai menyimpang dari kaidah dasar agama bahwa suamilah yang memegang kendali perceraian (al-ashlu anna thalaq bi yadi al-rajuli). Ini hanyalah contoh kecil inklusivisme Ibn Rusyd yang bersedia menerima pendapat dari luar madzhabnya. Inklusivisme ini tentunya muncul dari kritisisme Ibn Rusyd dalam menyikapi perbedaan pendapat.

Sikap kritis Ibn Rusyd tidak pandang bulu. Dalam beberapa kasus, ia berani mengkritik para sahabat Nabi yang argumentasinya dinilai absurd. Salah satu contohnya adalah kasus pernikahan dalam masa ‘iddah. Semua fuqaha sepakat pernikahan ini hukumnya ilegal. Namun mereka berbeda pendapat terkait konsekuensi yang timbul dari hukum itu. Malik bin Anas berpandangan bahwa perempuan tersebut haram secara permanen dinikahi oleh sang suami setelah keduanya diceraikan. Sedangkan al-Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa pernikahan itu ilegal dan harus diceraikan. Tetapi setelah masa ‘iddah-nya selesai, perempuan tersebut boleh dinikahi lagi oleh mantan suami. Dalam hal ini, Malik bin Anas bertendensi pada keputusan Umar bin Khathab yang menceraikan pasangan Tulayhah al-Asadiyah dan Rasyid al-Tsaqafi akibat nikah dalam masa ‘iddah. Selain menceraikan, Umar bin Khathab mengharamkan pernikahan kedua kalinya—secara permanen—bagi mereka berdua setelah selesai iddah. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Ibn Rusyd mengkritik Malik bin Anas dan Umar bin Khathab sekaligus. Ia berkata, sesuai dengan kaidah dasar agama, “perempuan tersebut sejatinya halal dinikahi setelah iddah-nya selesai karena tidak ada yang bisa mengharamkan menikahi perempuan tersebut kecuali apabila ada ayat al-Quran, hadits, atau konsensus umat”.

Masih banyak lagi kasus-kasus lain yang memperlihatkan kritisisme Ibn Rusyd dalam menyikapi perbedaan pendapat. Dalam beberapa kasus, ia terkadang menentang pendapat mayoritas ulama dan pada waktu bersamaan mendukung kelompok minoritas ulama. Sikap-sikap ini memberikan pelajaran kepada umat Islam bahwa kebenaran tidak senantiasa berpihak pada, dan dimonopoli oleh, pihak mayoritas. Kebenaran tercecer dimana-mana, dan terkadang justru terselib dalam pendapat kaum minoritas yang lemah. Sekali lagi, sikap Ibn Rusyd ini merupakan pelajaran berharga bagi kita semua agar senantiasa menghormati pendapat kaum minoritas, terutama bagi kita yang hidup di negara demokrasi yang kebijakan-kebijakannya lebih mengacu pada pendapat mayoritas. Inilah ajaran demokrasi Ibn Rusyd.

Pelajaran berharga lainnya yang bisa kita petik dari sikap Ibn Rusyd adalah pentingnya kritisisme dalam menyikapi pelbagai persoalan sosial keagamaan. Dengan kritisisme, Ibn Rusyd tidak bisa dipasung oleh pendapat pendahulu. Kita telah melihat betapa beraninya Ibn Rusyd mengkritik pendapat Malik bin Anas dan sahabat Umar bin Khathab. Baginya, pendahulu adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar. Pendahulu (salaf) tidak boleh disakralkan. Pendahulu juga bukan satu-satunya pemilik otoritas kebenaran. Hal ini merupakan postulat yang membuktikan betapa rapuhnya jargon kalangan tradisional konservatif yang menyatakan “wa kullu khayrin fi ittiba’i man salaf”.


Maqashid Syariat dalam Perspektif Ibn Rusyd

Maqasid al-Shari`ah adalah bidang keilmuan yang membahas tujuan disyariatkannya hukum-hukum Islam. Disiplin keilmuan ini telah menarik banyak perhatian dari para sarjana karena mampu menyuguhkan wajah sejati humanisme Islam. Syariat Islam, menurut teori ini, pada dasarnya dikerangkakan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Syariat diturunkan bukan untuk kepentingan Tuhan belaka karena Tuhan tak butuh apa-apa. Shalat, misalnya, mempunyai fungsi sosiologis guna mewujudkan stabilitas kehidupan dan mencegah dari kerusakan sosial (tanha ‘an fakhsya’i wa al-munkar). Zakat disyariatkan untuk kesejahteraan ekonomi dan meminimalisir kesenjangan sosial. Haji disyariatkan untuk membangun kerukunan umat muslim dan kesetaraan melalui simbol pakaian ihramnya. Dan puasa disyariatkan untuk memunculkan ketakwaan (la’allakum tattaqun) dan rasa solidaritas sesama manusia. Syariat sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan sehingga segala peraturan di dalamnya semata-mata diagendakan untuk menjaga keselamatan jiwa, harta benda, keturunan, akal, harga diri, dan agama. Disinilah letak dimensi antroposentrisme Islam.

Dalam pandangan Ibn Rusyd, tujuan syariat diturunkan adalah untuk memperbaiki moralitas manusia agar menjadi insan yang bertakwa. Jika individu-individu masyarakat mempunyai kualitas kesadaran akan nilai-nilai etika dan norma, maka tatanan masyarakat akan membaik. Sebaliknya, kerusakan sosial biasanya diakibatkan oleh merosotnya moralitas individu-individu anggota masyarakat. Syariat yang turun memperbaiki akhlak ibarat dokter yang menghampiri pasiennya. Ilmu kedokteran memperbaiki raga manusia sedangkan syariat memperbaiki jiwa manusia.

Salah satu kasus yang memperlihatkan konsep maqashid al-syariat Ibn Rusyd adalah perdebatan seputar boleh atau tidaknya meminta kembali harta yang sudah dihibahkan. Sebagian ulama melarangnya sebab Rasulullah bersabda, “seseorang yang meminta kembali pemberiannya maka ia seperti anjing yang menjilat ludahnya sendiri”. Sebagian ulama lainnya memperbolehkan khususnya bagi orang tua kepada anaknya berdasarkan sabda Nabi, “tidak boleh meminta kembali harta yang dihibahkan kecuali bagi orang tua”. Al-Syafi’i menilai hadits yang kedua ini tidak valid. Sedangkan Ibn Rusyd mendukung pendapat pertama dengan alasan karena “meminta kembali pemberian tidak sesuai dengan nilai etika, sementara Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.

Melalui contoh kasus ini, Ibn Rusyd pada dasarnya tengah menjembatani korelasi antara etika dan hukum yang idealnya bersinergi dan integral. Tanpa etika, hukum terasa kering, hambar, dan kaku. Inklinasi etis ini pada abad berikutnya mempengaruhi konsep maqashid al-syariah Syathibi (w. 790 H), seorang utilitarianis Andalusia, dalam magnum opus berjudul al-Muwafaqat. Selaras dengan Ibn Rusyd, al-Syathibi berkata, “Semua hukum syariat sesungguhnya adalah anjuran berperilaku dengan akhlak mulia. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda ‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia’ (al-syariat kulluha innama hiya takhalluqun bi makarim al-akhlaq wa lihadza qala ‘alayhi al-shalatu wa al-salamu bu’itstu liutammima makarim al-akhlaq)”.

Maqashid al-Syariat bagi Ibn Rusyd adalah filsafat hukum. Hukum-hukum Islam, baik dalam hal ritual maupun aturan sosial, semuanya bermuara pada tujuan filosofis. Syariat Islam adalah aturan-aturan rasional yang bertujuan mewujudkan keutamaan dan keselamatan, sebagaimana tujuan filsafat. Keselarasan tujuan-tujuan tersebut karena “filsafat adalah saudara syariat” (al-hikmah shahibat al-syariat). Dalam epilog Bidayat al-Mujtahid, Ibn Rusyd berpendapat,

“Hukum-hukum Islam disyariatkan untuk berbagai tujuan: mewujudkan keutamaan jiwa (al-fadhail al-nafsaniyah) seperti dalam ritual, menjaga kehormatan (‘iffah) seperti dalam aturan sandang-pangan dan pernikahan, mewujudkan keadilan dan melawan kejahatan seperti hukuman kriminal, mewujudkan keutamaan kedermawanan seperti dalam masalah zakat dan sedekah, dan ada pula hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial dan pemerintahan yang menjadi syarat untuk menjaga keutamaan manusia secara amaliah maupun ilmiah. Oleh karenanya pemimpin wajib mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan agama. Dan diantara aturan-aturan yang penting adalah hal-hal berkaitan dengan cinta, kebencian, dan gotong-royong, yaitu aturan amar ma’ruf nahi munkar”.

Statemen Ibn Rusyd tersebut sudah sangat gamblang dan tidak membutuhkan komentar yang panjang lebar. Seperti yang kita cermati bersama, Ibn Rusyd memahami tujuan syariat dari perspektif multidisipliner; etika, sosiologi, kedokteran, politik, filsafat, dan lain-lain. Inilah salah satu bentuk pembaharuan paradigma hukum yang diusung oleh Ibn Rusyd; sebuah kerangka pemikiran brilian yang melampaui ulama pada zamannya dan bahkan mendahului penemuan sarjana-sarjana modern dalam bidang filsafat hukum. Itulah alasan mengapa pembaharu Arab modern sekaliber Muhammad Abduh mengakui urgensitas Bidayat al-Mujtahid. Lebih dari itu, ketika Fazlur Rahman, Charles E. Butterworth, George Maqdisi, Kemal Faruki, George F. Hourani, Wilferd Madelung, dan Frederick M. Danny mendiskusikan diskursus seputar Law and Ethics in Islam, Ibn Rusyd telah mendahului mereka berabad-abad yang lalu.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Rujukan
1. Ernest Renan, Averroès et l'averroïsme, diarabkan oleh ‘Adil Za’iyah, Maktabah Tsaqafah Diniyah, 2008.
2. Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, Kegan Paul International, London and New York.
3. Oliver Leaman, Moses Maimonides, American University Cairo, 1993.
4. Israel Welfens (Abu Dzuaib), Musa bin Maymun; Hayatuhu wa Mushanafatuhu, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, cet. I, 2005.
5. Abid al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, Markaz Diarasah al-Wahdah al-Arabiyah, cet. III, 2006.
6. Abid al-Jabiri, Ibn Rusyd; Sirah wa Fikr, Markaz Diarasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1998.
7. Al-Marakisyi, al-Mu’jab fi Talkhish Akhbar al-Maghrib, Cairo: Mathba’ Istiqamah, cet. I, 1949.
8. Hamadi Ubaydi, Ibn Rusyd wa Ulum al-Syariah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, cet. I, 1991.
9. Robin Doak, Empire of the Islamic World, the Shoreline Publishing Group LLC, 2005.
10. Athif Iraqi, Ibn Rusyd Mufakkir al-Arabi wa Raid al-Tanwir, Cairo: Majlis A’la li al-Tsaqafah, 1993.
11. Yahya Muhammed, al-Ijtihâd wa Taqlîd wa al-Itbâ’ wa al-Nadhr, Beirut: Dar al-Intisyar al-Arabi, cet. I, 2000.
12. Ignaz Goldziher, Mohammed and Islam, translated from the German by Kate Chambers Seelye, London: Humphrey Milford Oxford University.
13. Kenneth E. Nollin, The al-Itqân and Its Sources: A Study of Itqân fi 'Ulûm al-Qur'ân by Jalal al-Dîn al-Suyûthî with Special Reference to al-Burhân fi 'Ulûm al-Qur'ân by Badr al-Dîn al-Zarkasyi, disertasi di Hartfor Seminary Foundation, USA, 1968, disadur dan dikritisi oleh Ilham Saenong, Jurnal Studi Al-Quran, vol. I, No. I, Januari, 2006.
14. Muhammad al-Hudhari Bik, Tarîkh al-Tasyrî’ al-Islâmi, al-Haramayn, Jeddah.
15. Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dar al-Hadits, 2005.
16. Ibn Rusyd, al-Dharuri fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Gharbi, 1994.
17. Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Dar al-Fikr.
18. Abd al-Jabbar al-Rifa’I, Falsafat al-Fiqh wa Maqashid al-Syariah, Dar al-Hadi, cet. II, 2008.
19. Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, Chicago & London: the University of Chicago Press, 1969.
20. Mushthafa Abd al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Maktabah Usrah, 2007.
21. Ibn Khaldun, Muqaddimah, Cairo: Maktabah Usrah, 2006.
22. Farah Antun, Ibn Rusyd wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Farabi.
23. Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma Bayn al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittishal, tahqiq Abid al-Jabiri, Libanon: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 2007.
24. Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, al-Maktabah al-Tijariyah.
25. Richard C. Hovannisan, Ethics in Islam, the Regents of the University of California, 1985.


.

PALING DIMINATI

Back To Top