Oleh Apria Putra
Syekh Abdul Karim Amarullah atau yang dikenal sebagai Haji Rasul adalah pionir Kaum Muda Minangkabau (bahkan Sumatera). Sebagai Kaum Muda, ia termasuk mengkritisi tarikat mu'tabarah. Ia mengkritik Tarikat Naqsyabandiyah yang populer menjadi amalan ulama dan sementara kaum muslimin Minangkabau. Kitab bantahannya berjudul Izhar Asatir Mudhillin, dimana gayanya (dalam pembacaan) saya agak mirip dengan wahabi ketika mengkritik tarikat sufi. Ini pengetahuan umum, terutama yang digadang-gadangkan Hamka dalam biografi ayahnya ini.
Menariknya dalam catatan harian Haji Rasul yang ditulis puluhan tahun dan mencatat hal-hal bersifat privat dari Haji Rasul, Haji Rasul menulis nama-nama orang yang mengambil ( talqin) Tarikat Naqsyabandiyah dari dirinya. Ada sebanyak 24 nama orang tercatat. Catatan ini kemudian dicoretnya.
Perlu kita tahu, ayah Haji Rasul adalah seorang Syekh Tarikat Naqsyabandiyah tersohor. Namanya Syekh Amrullah Tuanku Kisa'i. Syekh Amrullah sendiri adalah murid Syekh Isma'il al-Khalidi Simabur (ulama besar abad 19 di Mekkah). Apakah Haji Rasul pernah mengambil Tarikat Naqsyabandiyah dan memperoleh ijazah irsyad dari ayahnya? Bisa jadi. Kemudian ketika Haji Rasul belajar pada Syekh Ahmad Khatib dan bersentuhan dengan pemikiran Ibnu Qayyim-Abduh-Rasyid Rida, lantar ia berubah haluan? Bisa juga mungkin.
Jika benar, maka keadaan Haji Rasul sama seperti Syekh Jamil Jambek yang awalnya pengamal tarikat lantas berubah jalur mengkritik tarikat.
Berdasarkan ini, perlu kita kritis terhadap hasil peneliti (baik akademisi atau lainnya) tentang ulama-ulama kita. Bisa jadi yang digambar si peneliti tidak sesederhana yang kita baca, namun lebih rumit dari yang dibayangkan.
Hemat saya, jika berbicara tentang kehidupan dan manaqib ulama-ulama kita, maka kita mesti merujuk dan mengusakan sumber lertama, yaitu manuskrip/arsil/catatan harian. Jika tidak, maka kita bisa menduga-duga.