Bismillahirrohmaanirrohiim

BELAJAR DARI UYGHUR, SULU, KASHMIR, KURDI, DAN ROHINGNYA KETIKA KAUM MUSLIMIN TIDAK MEMILIKI KONSEP NEGARA BANGSA

BELAJAR DARI UYGHUR, SULU, KASHMIR, KURDI, DAN ROHINGNYA
KETIKA KAUM MUSLIMIN TIDAK MEMILIKI KONSEP NEGARA BANGSA

Islam mengajarkan supaya umatnya membentuk sebuah pemerintahan. Mulai jaman kenabian Rosulullah Muhammad SAW, masa Khulafaur Rosyidin Al Mahdiyyin, masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyah, hingga Kemaharajaan Turki Utsmani.

Setelah itu, kaum Muslimin dihadapkan oleh fenomena dunia modern yang disebut sebagai negara bangsa.

Karena itu, semua kaum Muslimin dengan berbagai keberagamannya membentuk negara bangsa sesuai kearifannya. Ada yang berbentuk Kerajaan maupun berbentuk Republik. Ada pula yang berbentuk persatuan para Amir.

Semua itu telah sesuai dengan syariat Islam dengan kezamanannya. Telah menggenapi pula "sumpah" Gusti Allah kepada Umat Nabi Muhammad SAW dalam surat At Tien: wa hadzal baladil amin ( Demi sebuah negeri yang aman).

Maka semua bangsa yang terdapat di dalamnya kaum Muslimin mayoritas atau mendekati mayoritas segera membentuk "baladil amin".

Di Timur Tengah ada Maroko, Aljazair, Saudi Arabia, Yaman, Irak dan sebagainya.

Di Asia Tenggara ada Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Di Asia Selatan ada Afganistan, Pakistan dan Bangladesh. Di Asia Kecil ada Uzbekistan, Tajikistan, dan lainnya.

Adapun kelompok kaum Muslimin yang belum mampu mendirikan sebuah bangsa, maka akan lebih bijaksana menggabungkan diri dengan negeri induk untuk bersama membentuk "baladil amin".

Contoh terbaik ialah Negeri Chechnya. Ketika gagal memisahkan diri dari Rusia, maka bangsa ini segera berdamai dan membangun negerinya menuju negeri yang makmur bersama negara induknya. Konflikpun berhenti. Bahkan berkah tidak angkat senjatanya bangsa Chechnya membuat kaum Muslimin lain di Rusia bisa mengakses banyak fasilitas yang sebelumnya tidak didapatkan.

Sebab, terlalu riskan jika mengorbankan masa depan anak cucu dalam konflik perang berkepanjangan. Ketika isu agama selalu dikedepankan. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah tragedi kemanusiaan.

Bukan sekedar kaum Muslimin yang ditindas, melainkan ada kemanusiaan yang terbakar. Apalagi ketika kaum Muslimin telah menjadi minoritas dalam negara dan sudah dipaksaintegrasikan dengan wilayah tertentu, jika masih bersikeras untuk mendirikan negeri sendiri untuk saat ini masih sangat berat. Entah di masa yang akan datang.

Sebagai contoh Muslim Sulu telah dipaksaintegrasikan dengan Malaysia, sebagian dengan Filipina. Muslim Fathoni (Patani) telah dipaksaintegrasikan dengan Thailand. Dan teranyar isunya muncul ialah Muslim Uyghur yang dipaksaintegrasikan dengan Cina.

Di Cina ada 10 etnis beragama mayoritas Islam. Namun, hanya Muslim Uyghur yang merasa dipaksaintegrasikan dengan Cina. Jadi, urusannya adalah politik negara bangsa. Bukan masalah agama.

Berbeda lagi dengan kondisi Kashmir, berbeda lagi dengan kondisi Rohingnya. Berbeda lagi dengan kondisi Kurdi yang secara wilayah masuk di 3 negara Islam yakni Irak, Iran dan Suriah, namun tidak pernah merasa menjadi bagian dari salahsatunya. Berbeda lagi dengan kondisi serupa lainnya.

Beda lagi dengan tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa Muslim Bosnia yang dengan ijin Gusti Allah berhasil mewujudkan wahadzal baladil amin.

Berbeda lagi dengan Muslim Albania, berbeda dengan Muslim Turki, berbeda dengan Muslim Ethiopia, berbeda lagi dengan Muslim Nigeria, Muslim Mali, maupun di belahan bumi lainnya.

Berbeda lagi dengan Lebanon. Ketika mereka menyadari bahwa sebenarnya bukan masalah agama yang membuat mereka ribut, tapi adudomba dan keinginan mendominasi. Maka ketika kesadaran itu muncul, dibagilah kekuasaan sesuai dengan keagamaan beserta alirannya.

Dan yang masih menghenyakkan kemanusiaan dan batas nalar sehat kita adalah tragedi Palestina.

Itu semua menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa kaum Muslimin harus mampu memandang ke depan. Kita bagian dari peradaban dunia.

Tetap berlaku pepatah Melayu: dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Belajar dari kegagalan banyak komunitas Kaum Muslimin dalam mewujudkan konsep "wahadzal baladil amin" hendaknya menjadi pelajaran dahsyat bagi kita.

Indonesia telah berhasil mewujudkan konsep "wahadzal baladil amin". Mari kita lengkapi segala kekurangannya sebagai anak bangsa.

Jangan sampai mau dipecahbelah dan dijerumuskan dalam konflik berkedok agama. Belajarlah dari semua konflik yang telah terjadi di seluruh belahan bumi.

Semuanya bisa menjadi ayat kauniyah bagi mereka yang berakal..

Oleh: Shuniyya Ruhama
Alumni FISIPOL UGM Yogyakarta dan Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah Weleri Kendal


.

PALING DIMINATI

Back To Top