Bismillahirrohmaanirrohiim

Era Baru Gerakan Politik Islam

oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar pada 10 Maret 2012 pukul 7:55  


*dimuat di Opini Banjarmasin Post, 10 Maret 2012

 
Kemenangan beberapa partai yang berafiliasi kepada gerakan Ikhwan di Mesir, serta tampilnya kelompok Salafi yang selama ini mengklaim anti-politik, terasa mengejutkan bagi langgam politik Islam.

Para pakar Timur Tengah menyebutkan, fenomena politik di negara-negara Arab saat ini merupakan imbas dari perjuangan panjang kaum Islam Politik selama bertahun-tahun di pentas politik Arab.

Akan tetapi, terselip sebuah fenomena menarik: ekspresi politik mereka justru semakin menginklusi diri terhadap demokrasi, kebebasan berpendapat, serta toleransi yang selama ini tak nampak dalam wajah maupun bahasa politik meereka.

Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ini pertanda terjadi liberalisasi dalam gerakan politik Islam? Bagaimana masa depan ‘Islam Politik’ pasca-pemilu?

Selama masa-masa ‘diktator Arab’ dari Assad di Syria, Mobarak di Mesir, Saleh di Yaman, hingga Ben Ali di Tunisia, kaum Islamis terpinggirkan. Kita masih ingat bagaimana perjuangan bawah tanah Ikhwan ketika direpresi rezim Nasser sejak pertengahan 1950-an hingga akhirnya tampil dalam gerakan massa di revolusi Arab awal 2011.

Krisis kapitalisme yang segera berubah menjadi gerakan massa menjadi momentum politik bagi Ikhwan dan beberapa kelompok Islamis lain. Salafi, yang selama ini berlindung nyaman melalui basis sosial-keagamaannya, agaknya tak bisa berlama-lama juga tertidur. Segera mereka membuat partai politik setelah kebebasan politik terjamin.

Menariknya, klaim bahwa kemenangan politik ini akan diikuti oleh tampilnya wacana-wacana Islamis dalam politik Arab justru belum terbukti. Alih-alih meng-kampanyekan syariat Islam secara formal, mereka justru lebih mantap dengan wacana keberagaman (pluralisme-multikulturalisme), kesejahteraan, hingga isu-isu lain yang lebih populis.

Penelitian Prof Vedi Hadiz memotret transformasi Ikhwan: dari sekadar organisasi massa yang tandhimi (militeristik) menjadi gerakan politik borjuis yang moderat.

Strategi mereka sederhana: menguasai basis modal untuk dikapitalisasi menjadi basis politik, agar dapat melakukan manuver politik secara aman tanpa harus mengandalkan mobilisasi yang dikenal di kalangan aktivis ‘dakwah’ Indonesia sebagai ‘taklimat’. Hal ini pula yang sepertinya coba dilakukan PKS (faksi Anis Matta) di Indonesia.

Apakah hal ini menunjukkan kecenderungan baru dalam ‘Islam Politik’? Apa penjelasan yang relevan untuk mengungkap transformasi ini?

Analisis Dr Asif Bayat terhadap fenomena gerakan politik Islam, terutama di Iran dan Pakistan, pada 2005 bisa menjadi media penjelas. Saat ini, ada kecenderungan politik kaum ‘Islamis’ untuk bergerak menjadi ‘post-Islamis’ dalam jangka waktu tahun-tahun ke depan.

Dari segi wacana, liberalisme Islam yang selama ini ditentang oleh kalangan Islamis, menariknya, sebagian justru digunakan oleh mereka dalam praktis politiknya.

Prediksi sebagian kalangan bahwa gerakan politik Islam kontraproduktif dengan demokrasi terjawab dengan bantahan pada Pemilu Mesir, Tunisia, dan Maroko beberapa waktu lalu.

Justru, demokrasi kini tampak lebih ‘segar’ daripada masa-masa lalu; membuktikan bahwa Islamisme tidak sesangar yang selama ini sering kita prasangkai.

Mengapa hal ini terjadi?

Prof Vedi Hadiz menyebutkan, lebih mengarah pada soal transformasi kelas; bahwa topangan kaum pengusaha menyebabkan basis sosial gerakan Ikhwan berubah.

Dulu, Ikhwan gampang diradikalisasi karena basis sosial mereka yang merupakan kelas menengah ke bawah. Al-Banna sendiri lahir dari keluarga pedagang kecil; yang dalam literatur ekonomi-politik tidak banyak peran karena kalah oleh borjuasi besar.

Pasca-represi politik, kita lihat pergeseran wacana itu pada transformasi kelas yang dialami oleh Ikhwan. Banyaknya pengusaha, seperti temuan Vedi Hadiz di Turki dan Mesir, menyebabkan adanya aliansi kelas untuk menumbangkan rezim Mobarak dan Kemalis sehingga melahirkan revolusi Arab 2011.

Di Turki, penguasaan terhadap modal juga penting sehingga basis politik mereka terjaga.

Persinggungan antara Islam dan Kapitalisme ini yang kemudian lebih banyak terjadi. Transformasi dari peminggiran ekonomi-politik menjadi borjuasi, tak ayal lagi mengubah peta wacana Islamis saat ini. Inklusi politik Ikhwan mengisyaratkan perlunya pembacaan-ulang terhadap gerakan politik Islam saat ini.

Yang jelas, tesis bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi terbantah oleh fenomena di Timur Tengah. Bukan benturan peradaban yang terjadi, melainkan liberalisasi di kubu ‘Islam Politik’. Inilah konsekuensi dari inklusi politik terhadap demokrasi.

Dan meminjam pernyataan Al-Sayyid Yassin, sebagaimana dikutip Dr. Darmaningtyas: Kalangan Islam-modernis kini tampak semakin Islamis, sementara kalangan Islam-fundamentalis tampak semakin liberal.

Apakah ini terjadi pula di Indonesia? Wallahu a’lam bish shawwab.

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM


.

PALING DIMINATI

Back To Top