Bismillahirrohmaanirrohiim

Pembajakan tulisan tentang tafsir syaikh abdul qadir al-jilani dalam majalah al-Kisah edisi no.18/ Tahun VII/7-20 september 2009

oleh Muhammad Idris Mesut pada 24 September 2009 pukul 12:46  



Ini tulisan yang terdapat dalam majalah al-Kisah halaman 34-39 dalam kolom laporan khusus. Saya tuliskan kembali secara utuh..

Ditemukannya Tafsir Al-Jilani
Menyelami kedalaman makna kalam sang pencipta

Khazanah tafsir al-Qur’an semakin diperkaya dengan ditemukannya manuskrip tafsir al-Jilani di vatikan, perpustakaan Qadiriyyah Baghdad, dan India.

“Maka yang mana satu di antara nikmat-nikmat Tuhan-Mu yang kamu dustakan?” Demikian firman Allah SWT dalam surat Ar-Rahman. Dengan bahasa yang lembut dan indah, berkali-kali kalimat di atas diulang. Lantas disebutkan berbagai macam keagungan dan kemuliaan ciptaan-Nya. Seperti tentang matahari dan bulan yang beredar menurut perhitungan-Nya, tentang dua lautan air yang mengalir, yang satu asin dan yang satu tawar, lalu keduanya bertemu. Dan diantara keduanya itu keluar mutiara dan batu marjan.

Semua ayat ini telah terbukti kebenarannya secara ilmiah. Subhanallah……
Di sana tersirat, sungguh banyak nikmat Allah kepada manusia. Berlimpah, bak air hujan yang tercurah dari langit.

Allah mengingatkan kita bahwa Dia tak membiarkan makhluk-Nya menderita di dunia. Dan diantara kasih saying-Nya adalah diturunkannya al-Qur’an. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat tersebut, “Dialah yang mengajarkan.” (Ar-Rahman 55:2).

Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada paruh kedua bulan Ramadhan, 14 abad yang lalu, melalui manusia pilihan-Nya, Muhammad SAW, di Gua Hira.

Setelah Rasullullah berkhalwat sekian lama, di usia Nabi yang ke-40, Allah, melalui malaikat Jibril, menurunkan wahyu pertaman, yang kemudian menjadi bagian surat al-‘Alaq.

Waktu yang diturunkannya pun merupakan waktu mulia, yang juga merupakan bagian kasih saying-Nya kepada manusia. Ini dapat kita ketahui dari Al-Qur’an, Surah Al-Qadr, “ Sesungguhnya kami menurunkannya pada lailatul Qadr, malam penentuan, disebut juga malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Sejak itu, selama 22 tahun 2 bulan 22 hari (23 tahun), Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur: 13 tahun ketika nabi Muhammad SAW di makkah dan 10 tahun lagi ketika beliau di madinah.
Al-Qur’an pun sempurna. Isinyanmencakup semua bidang kehidupan.

Bahasanya sangat tinggi, tidak ada sastrawan manapun, baik dulu, sekarang, maupun yang akan dating, mampu menandinginya.

Meski sangat gambling, Al-Qur’an diturunkan dalam formula bahasa yang sangat global, sehingga dibutuhkan beberapa penjelasan yang lebih terperinci. Terlebih dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat mutasyabihat, yang memuat makna-makna tersirat yang tidak mudah dipahami.

Penjelasan-penjelasan atas uraian ayat-ayat Al-Qur’an tersebut kemudian berkembang dinamakan tafsir, yang kemudian menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Dan corak mufassirnya pun berbeda. Ada yang falsafi, sufistis, ra’yi (menekankan pemikiran), dan sebagainya.

Al-Qur’an memang tiada cela. Siapa pun akan terpesona. Orang-orang shalih selalu men-tadabburi-nya( merenungkannya). Tak terkecuali seorang syeikh agung, sultan para awliya’, Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Ia dikabarkan sempat menulis kitab tafsir. Dan pada awal 2009, untuk pertama kalinya kitab tafsir tersebut diterbitkan. Markaz al-Jaylani li al-Buhuts al-Ilmiyah, Istanbul, Turki, lembaga penerbitan yang didirikan keturunan-keturunan Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, mengklaim bahwa penerbitan tersebut adalah yang pertama kalinya sepanjang sejarah kebudayaan Islam. 

Sebelum diterbitkan, tafsir tersebut ditemukan manuskripnya di Vatikan Italia, Perpustakaan Qadiriyyah Baghdad, dan India.

Tafsir tersebut diberi judul al-Fawâtih al-Ilahiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaybiyyah al-Muwadhdhiah li al-Kalim al-Quraniyyah wa al-Hikam al-Furqâniyyah (Penyingkapan-Penyingkapan Ilahi Dan Kunci-Kunci Ghaib Yang Menjelaskan Kalam-Kalam Al-Qur’an Dan Hikmah-Hikmah Kitab Pembeda Antara Benar Dan Salah).

Penemuan tafsir ini sempat membuat gempar para mufassir dunia Islam. Sebab, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, belum pernah ada kabar ataupun tanda-tanda nbahwa sang Sulthanul Awliya’ menulis sebuah kitab tafsir.

Karena itu tafsir Al-Jilani menjadi tafsir yang langka dan belum pernah dianalisis secara kompherenshif oleh para peminat kajian keislaman.

Dalam tesis seorang mahasiswa pasca sarjana Universitas al-Azhar Kairo bidang studi Al-Qur’an, Irwan Masduki, disebutkan, kitab ini disunting oleh keturunan sang syaikh sendiri bernama Dr. Muhammad al-Fadhil Al-Jaylani Al-Hasani At-Taylani Al-Jamazraqi. 

Ia seorang ulama besar asal Jimzaraq, Turki Timur, kelahiran tahun 1954. dan kini menetap di kota eksotik Istanbul, Turki. mencari, menganalisa, serta mengomentari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir. Selama 20 tahun ia mencari, menganalisis, dan mengomentari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Hingga saat ini, ia telah mengunjungi lebih dari 70 perpustakaan di- 20an negara dan berhasil mengumpulkan sekitar 17 kitab karangan Syaikh Abdul Qadir al-Jaylani.

Manuskrip tafsir Al-Jilani itu sendiri ditemukan saat ia mengunjungi perpustakaan Vatikan pada tahun 1990-an. Ketika itu Dr.Muhammad Fadhil menemukan tiga manuskrip yang masing-masing terdapat keterangan di pojok bawah, “ telah selesai Juz I/II/III dari tafsir al-Qur’an ‘milik’ Sayyidina Abdul Qadir Al-Jilani.”

Keterangan tersebut tentu sajameragukan , sebab keterangan semacam itu (dengan penisbatan "milik" kepada Abd al-Qadir al-Jaylani) mengindikasikan bahwa tafsir tersebut ditulis oleh orang lain, bukan oleh Abd al-Qadir al-Jilani sendiri
Tetapi keraguan penyunting tersebut segera tertepis ketika Dr. Muhammad Fadhil mendapat informasi dari Sayid Abd Muthalib al-Kaylani yang bersumber dari Sayid Nuri (pengelola Perpustakaan Qadiriyah Baghdad), bahwa di perpustakaan tersebut pernah terdapat tafsir “ dengan tulisan tangan Syaikh Abdul Qadir”.

Namun naskah tafsir itu hilang dan ditemukan lagi di Syam kemudian hilang untuk kedua kalinya. Sayid Nuri ikut menguatkan otentisitas Tafsir al-Jaylani melalui pernyataannya, “Salah satu karya Abd Qadir yang ditulis dengan tangan beliau adalah kitab tafsir berjudul al-Fawatih al-Ilahiyyah”. 
Dengan Informasi-informasi tersebut, Dr. Muhammad Fadhil Al-Jaylani berkeyakinan, manuskrip yang ditemukannya adalah benar-benar tafsir Syaikh Abd Qadir al-Jaylani". 

Tafsir itu terdiri dari enam juz, dengan ketebalan sekitar 550 halaman untuk masing-masing volume. Dan kini, tafsir Al-Jaylani sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman oleh penyuntingnya.

Meski demikian, masih ada kalangan yang mempertanyakan keotentikan tafsir al-Jilani tersebut. Diantaranya adalah Dr. Yusuf Muhammad Thaha Zaidan, penulis biografi Abd al-Qadir al-Jaylani sekaligus pakar yang cukup punya otoritas dalam bidang manuskrip tasawuf’
Ia menginformasikan bahwa Perpustakaan Rasyid di Tripoli dan India mengoleksi tafsir al-Quran yang diklaim sebagai karya Abd al-Qadir al-Jaylani. Namun, menurutnya, tafsir tersebut adalah “karya pseudo” (muallaf manhul), karena para penulis Manaqib-manaqib Abd al-Qadir al-Jaylani tidak pernah memberi keterangan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jilani memiliki karya dalam bidang tafsir. Masih menurutnya, Abd al-Qadir al-Jaylani sendiri, dalam beberapa karyanya, tidak pernah menyatakan memiliki karya dalam bidang tafsir.

Kesimpulan Thaha Zaidan ini diperkuat oleh Khairuddin al-Zirkili, dalam al-A’lam, yang dengan tegas menyatakan bahwa al-Fawâtih al-Ilahiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaybiyyah al-Muwadhdhiah li al-Kalim al-Quraniyyah wa al-Hikam al-Furqâniyyah adalah karya Ni’matullah bin Mahmud al-Nakhjuwani (w. 920 H/1499 M), atau lebih populer dengan panggilan Syaikh ‘Ilwani.

Versi kedua, yang diwakili oleh Dr. Abd al-Razaq al-Kaylani, menyatakan bahwa tafsir karya al-Jaylani judulnya adalah Misk al-Khitâm. Tafsir ini terdapat di Perpustakaan Tripoli dan India dengan naskah tahun 622 H/1225M.

Meskipun pendapat mayoritas menisbatkan tafsir al-Fawatih al-Ilahiyyah kepada al-Nakhjuwani, namun tidak menutup kemungkinan munculnya asumsi-asumsi bahwa tafsir tersebut ditulis oleh Abd Qadir sekitar tahun 521H/1127 M hingga 561H/1166 M di Baghdad, kemudian disalin dan digandakan oleh beberapa pihak, antara lain al-Nakhjuwani yang wafat pada tahun 920 H/ 1514 M. kemudian naskah aslinya hilang di Baghdad, sebagaimana informasi yang diberikan oleh pihak Perpustakaan Baghdad.
Asumsi bahwa al-Nakhjuwani hanyalah penyalin atau pengganda juga dapat didasarkan pada sebuah penemuan manuskrip India yang ditulis pada tahun 622 H atas nama Abd al-Qadir al-Jaylani. Asumsi ini pun muncul karena al-Nakhjuwani di akhir setiap juz menisbatkan tafsir tersebut kepada Abd al-Qadir Jaylani melalui pernyataan, "Telah selesai juz 1/2/3 dari tafsir milik tuanku, Syaikh Abd al-Qadir al-Jaylani”.

Perlu juga digarisbawahi bahwa tidak disebutkannya tafsir tersebut oleh Abd al-Qadir al-Jaylani dalam beberapa karyanya, tidak menutup kemungkinan, dikarenakan tafsir tersebut merupakan karya terakhir dalam periode kehidupannya. Asumsi-asumsi ini tidak semata-mata estimasi, melainkan didukung oleh indikasi-indikasi yang perlu ditelaah lebih mendalam oleh kalangan-kalangan yang berkompeten guna menguji keotentikannya.

Bercorak Sufistik

Tafsir Syaikh Abdul Qadir bercorak sufistis. Disajikan melalui bahasa simbolis yang sangat halus bernilai sastra tinggi. Sehingga mampu mengetuk pintu qalbu sang pembaca untuk melakukan musyahadah (penglihatan bathin) yang berbuah kasf, yang membuat penglihatan mata bathin menjadi terang benderang.

Ini terlihat dalam pernyataan sang Sulthanul Awliya’ dalam kitab tersebut:

“Wahai saudara-saudaraku,
janganlah kalian mencibirku atas penafsiranku.
Dan hendaknya kalian memahami al-Quran berdasarkan mata hati,
perenungan, dan ilmu pemberian Ilahi (mukasyafah) ketimbang semata-mata menggunakan
pemikiran dan perkiraan”

Berdasarkan pendekatan ini, maka Abdul Qadir Jaylani menamai tafsirnya dengan “Al-Fawatih al-Ilahiyyah wa al-Mafatih al-Ghaybiyyah al-Muwadhihah li al-Kalim al-Quraniyyah wa al-Hikam al-Furqaniyyah” yang menggambarkan dimensi bathiniah yang terkandung di dalamnya. 
Dimensi bathiniah tersebut kemudian dipadukan dengan dimensi Zahiriah. Perpaduan ini tercermin melalui statemen al-Jaylani dalam epilog tafsir surat al-Fatihah,

“Wahai pengikut agama Muhammad, wajib bagimu merenungi tujuh samudra
yang tercakup dalam al-Sab’ al-Matsani.
Perenungan ini tidaklah mudah kecuali engkau telah membersihkan
raga dhahirmu dengan syariat kenabian yang dinalar dari kalam-kalam al-Quran,
serta membersikan batin jiwamu dengan etika Rasulullah saw
yang diseruput dari hikmah-hikmah kalam Ilahi”

Kombinasi harmonis antara dimensi bathiniah-sufistis dengan zhahiriah-formalistis disejajarkan dengan perpaduan antara syariat dan hakikat. Perpaduan ini menegaskan bahwa seorang sufi harus tetap perpedoman dan berpegang teguh pada aturan-aturan formal syariah. 
Di sisi lain, perpaduan dimensi bathiniah dan zhahiriah merupakan keniscayaan, lantaran al-Quran, di mata al-Jaylani, memiliki beragam makna. Al-Quran, menurutnya, layaknya lautan samudra yang di dalamnya terdapat berbagai macam intan permata.

Bagi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, al-Quran adalah “Akhlak Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya”. pemahaman ini terbangun berdasarkan hadits “Takhallaqu bi akhlaqillah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah).

Ia kemudian menyatakan bahwa setiap orang yang berakhlak sesuai dengan akhlak Allah maka ia masuk surga. Definisi ini diperjelas oleh “konsep teks”versi al-Jilani yang menggambarkan kecenderungannya pada doktrin theologis Sunni. Ketika menafsiri ayat “Dzalika al-Kitabu la Rayba fihi”, al-Jilani berkata,

“Tidak ada kebatilan dalam al-Quran karena ia diturunkan dari sisi Allah,
baik lafadz maupun maknannya.
Dari segi lafadz, karena ia adalah mukjizat yang tak dapat ditandingi
oleh para penyair dan ahli balaghah Arab.
Dari segi makna, karena ia mencakup semua rajasia-rahasia ghaib yang
tak dapat dilihat kecuali oleh Nabi dan para sufi” 

Tafsir al-Jilani berpaham Sunni, khususnya dalam pandangannya bahwa al-Quran adalah teks sekaligus makna. Tapi pandangan teologis seputar al-Quran ini kemudian dibalut dengan pandangan sufistisnya, seperti tercermin dalam pernyataan al-Jilani di atas.
Ajaran Sunni ini dapat ditelusuri pula dalam beberapa karyanya yang mengandung kritik terhadap lawan-lawan ideologisnya. Seperti dikatakan oleh para penulis biografi al-Jilani, ia sangat getol menghantam paham Mu’tazilah.

Dalam versi bacaan, al-Jaylani mengikuti versi Hafsh. Dalam ayat-ayat hukum, al-Jaylani menganut madzhab Hanbaliyyah dan Syafi’iyyah.

al-Jilani telah menganjurkan hidup secukupnya, tak berlebihan (israf), dan tak gila dunia (zuhud). Harta dunia bukan tujuan utama; ia tak lebih sekadar kendaraan menuju terminal abadi yang membutuhkan bahan bakar budi pekerti.

Tafsir al-Jilani juga memuat kritik sosial yang cukup pedas terhadap despotisme, korupsi, dan kecenderungan Islam formalistik yang mengabaikan nilai-nilai etika-moral.

Sang Syaikh, dalam epilog tafsir Surah Al-Fatihah, menjelaskan keharusan umat manusia untuk memperbaiki kualitas ritual shalatnya sampai pada tingkat khusyu’.
Khusyu’ dapat dicapai dengan cara merenungkan dan menghayati makna-makna setiap bacaan dalam shalat. Perenungan ini sulit sulit dilakukan kecuali seseorang telah membenahi akhlaqnya.

SM*TR
Inisial SM dalam struktur redaktur majalah al-kisah kemungkinan yang dimaksud Siti Marwiyah, sedangkan untuk TR tidak ditemukan dalam struktur redaktur.
Bagi temen2 yang penasaran dg "pembajakan atau plagiasi tulisan ini bisa dibandingkan dengan tulisan mas irwan dengan membuka alamat ini http://www.facebook.com/profile.php?id=1202883074#/profile.php?id=1202883074&v=app_2347471856 atau klik link http://www.irwanmasduqi83.blogspot.com/
Bagikan


.

PALING DIMINATI

Back To Top