Bismillahirrohmaanirrohiim

Hermeneutika Sufistik Ibadah Puasa

Oleh Irwan Masduqi

Marhaban Ya Ramadhan. Bukankah firman Tuhan telah menjelaskan bahwa titah berpuasa diharapkan mampu membuat manusia bertakwa (la’allkum tattaqun)? Tetapi kenapa semakin religius negeri ini, semakin berceceran pula tindak pidana korupsi dan perilaku sosial-politik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami? Apakah terjadi pendangkalan pemaknaan puasa sehingga ia kehilangan kualitas dan fungsinya? Sebagai solusi, mungkinkah kita memaknai kembali makna terdalam ibadah puasa agar ia kembali pada visi dan misinya yang semula?

Kita butuh pemaknaan kembali makna ibadah puasa bukan hanya sekadar pada level interpretatio grammatica atas teks Quranik dan tradisi prophetik, tetapi, lebih dari itu, dibutuhkan interpretatio philosophica untuk menyingkap spirit yang tersembunyi di baliknya. Meminjam istilah Paul Ricoeur, penafsiran lebih merupakan proses penguraian yang beranjak dari “makna yang tampak” menuju “makna yang tersembunyi” (geistige), yaitu upaya memahami spirit dan ide utama (grundidee) di balik teks. Para sufi menyebutnya makna dhahir dan bathin. Meminjam analogi al-Ghazali, menafsiri teks agama secara superfisial hanya pada huruf-huruf agama ibarat berenang di permukaan lautan, namun menghayati makna terdalam teks agama ibarat menyelam ke dasar lautan untuk menemukan intan permata merah delima.

Puasa acap dipahami oleh fuqaha secara tekstualistik-eksoterik sebagai ibadah wajib menahan makan, minum, dan hubungan biologis dari pagi hingga petang. Definisi ini berangkat dari penafsiran makna yang tampak atas QS. Al-Baqarah: 2:183, 185, 187. Interpretasi eksoterik ini didukung oleh bunyi harfiyah hadits Bukhari dan Muslim bahwa puasa merupakan ibadah privat antara Allah dan hamba-Nya dalam bentuk meninggalkan makan dan hasrat seksual. Bukhari dan Muslim juga mengeluarkan hadits bahwa di surga terdapat pintu al-Rayan yang akan dimasuki oleh orang-orang yang mengerjakan kewajiban puasa.

Untuk melampuai pemaknaan eksoterik tersebut, kita perlu melakukan interpretatio historica dan interpretatio philosophica untuk mengungkap sejarah dan filosofi puasa. Puasa bukanlah ritual yang baru bagi umat Islam. Umat-umat sebelumnya juga diwajibkan berpuasa. Perintah puasa dalam teks agama yang senantiasa turun disertai iming-iming surga terkesan lumrah adanya, sebab al-Quran turun untuk menusia yang memiliki kecenderungan materialistik. Ibadah pun dianalogikan bagaikan transaksi perdagangan antara Tuhan dan hamba-Nya. Analogi tersebut tidak terlepas dari setting sosio-ekonomi Arab yang pada saat itu merupakan pusat perdagangan. Masyarakat Arab Jahiliyah sangat materialistis sehingga pola ibadah pun bersifat transaksionis.

Dalam pandangan para filosof seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd, teks agama turun menggunakan gaya bahasa retorik (khitab bayani) yang menyesuaikan kondisi psikologis umatnya. Dengan demikian wajar apabila teks-teks agama, tak terkecuali perintah puasa, turun menyesuaikan kondisi psikologis orang Arab Jahiliyah yang transaksionis. Al-Farabi pun akhirnya menyimpulkan bahwa teks agama secara literal adalah untuk orang awam, namun makna di baliknya adalah konsumsi orang khusus; para filosof.

Kecenderungan transaksionis dalam berpuasa ini pada periode berikutnya coba dilampaui oleh Ali bin Abi Thalib dan sahabat lainnya. Ali bin Abi Thalib secara filosofis berkata bahwa ibadah ada tiga level; 1) ibadah karena mengharapkan surga adalah ibadahnya pedagang (ibadah al-tujar); 2) ibadah karena takut siksa neraka adalah ibadahnya para budak (ibadah al-abdi); dan 3) ibadah karena syukur dan cinta Allah adalah ibadahnya orang-orang merdeka (ibadah al-ahrar). Pengandaian filosofis ini pada periode belakangan menginspirasi Rabiah Adawiyah dan para mistikus cinta untuk tidak beribadah kecuali demi ingin mendapatkan ridha dari sang Kekasih; Tuhan.

Statemen Ali bin Abi Thalib tersebut merupakan cermin visi teologi pembebasan ibadah puasa. Pada dasarnya puasa bukan hanya sekadar meninggalkan makan dan minum belaka, tetapi merupakan upaya pembebasan manusia dari segala jenis perbudakan diri sendiri karena manusia sering diperbudak oleh keinginan-keinginan hewaninya. Atas dasar alasan inilah maka puasa disejajarkan dengan memerdekakan budak. Dalam sejumlah firman Tuhan, denda-denda atas sejumlah pelanggaran hukum dapat ditebus dengan puasa atau memerdekakan budak.

Teologi pembebasan puasa juga mengusung spirit solidaritas sosial. Orang-orang yang kaya diharuskan menahan lapar dan haus sehingga dapat merasakan getirnya kehidupan kaum proletar yang berada di bawah garis kemiskinan. Puasa merupakan pelecut umat muslimin untuk berbagi dan menyayangi sesama manusia. Namun ironisnya, visi humanis ini tidak sejalan dengan realitas di lapangan dimana banyak sekali orang Islam yang asosial dan secara sadar melakukan tindakan dehumanisasi. Koruptor di negeri ini kebanyakan orang Islam. Para pengacau keamanan dan pelaku kekerasan agama yang destruktif belakangan ini juga orang Islam. Lapar yang seharusnya membuat manusia sabar mengontrol sifat hewani justru mendorong koruptor menyantap uang negara. Haus yang seharusnya membuat orang menjadi peduli fakir miskin justru menyulut kemarahan teroris yang haus darah. Lalu dimanakah puasa memainkan peran sosialis-humanisnya? Kenapa puasa yang penuh lapar dan dahaga justru memunculkan para drakula?

Al-Ghazali menilai bahwa hal itu merupakan akibat, baik langusng maupun tidak langsung, dari pendangkalan makna puasa. Baginya, sangatlah tidak memadahi jika puasa didefinisikan oleh fuqaha sebagai ibadah mengekang makan, minum, dan hasrat seksual. Definisi ini merupakan refleksi pemahaman yang superfisial terhadap teks agama. Al-Ghazali lantas membagi tiga level puasa dan mendorong umat muslimin agar berusaha mencapai level yang ketiga. Pertama, puasanya orang awam (shaum al-umum) yang hanya sekadar menahan haus, lapar, dan hasrat seksual. Kedua, puasanya orang khusus (shaum al-khushush), yaitu menahan telinga, mata, lisan, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari kemaksiatan. Ketiga, puasanya orang paling khusus (shaum al-khushush al-khushush), yakni puasa hati dari keinginan hewani, pemikiran negatif, dan kesibukan selain untuk Allah.

Level ketiga memang tidak mudah dicapai. Pada level ini umat muslim yang berpuasa didorong berupaya mengekang nafsu hewaninya. Manusia berada diantara posisi malaikat dan binatang. Jika manusia mampu memerdekakan dirinya dari nafsu hewani maka ia akan melebihi derajat malaikat, namun, sebaliknya, manusia akan merosot di bawah derajat binatang jika tidak mampu mengekang sifat hewaninya. Mampukah puasa berperan menanggulangi korupsi dan tindakan-tindakan hewani lainnya? Semua itu tergantung bagaimana kaum muslimin menghayati makna puasanya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Mlangi Yogyakarta, 14 Sya'ban 1432


.

PALING DIMINATI

Back To Top