Bismillahirrohmaanirrohiim

BILA ANDA MENUA NANTI

Oleh: Jum’an Basalim

Dua  tahun yang lalu saya menulis disini  dengan judul sama seperti diatas. Berbagi perihal ketuaan saya dengan anda yang masih muda, mengingatkan hal-hal yang saya sudah terlanjur yang tidak perlu anda ulangi. Apabila anda secara kebetulan membacanya waktu itu maka sekarang anda sudah menua dua tahun bersama saya. Ingin rasanya kembali berbagi pengalaman dan pengamatan saya dalam menjalani proses penuaan selama dua tahun terakhir ini. Ini bukan melankoli untuk dikasihani tetapi sebuah fenomena yang setelah saya kunyah-kunyah lalu saya telan ternyata memberikan khasiat yang menguatkan. Sebuah posting yang menyakitkan hati dari seorang remaja Amerika berjudul “I Hate Old People” berbunyi kira-kira begini: “Selama ini orang tua dianggap sebagai panutan bagi generasi muda, permata didalam keluarga yang harus dihormati dan dijaga. Bah! Orang tua adalah bisul dipantat, beban dipundak masyarakat. Saya muak melihat sosok dan tingkah mereka. Kusut, ceroboh, linglung, bau sampah, bikin ribet dan tidak berguna. Peduli apa dengan mereka! Mari bergabung dalam gerakan penghapusan jaminan hari tua dan legalisasi euthanasia! (bunuh diri untuk meringankan penderitaan)”. Sialan lu, teriak saya dalam hati.

Remaja ini yang mewakili sebagian generasi muda disana, tidak suka dengan orang tua. Alasannya seperti yang diatas tadi. Alasan ini dalam bentuk yang lebih tersamar dan tersembunyi mungkin juga sudah ada didalam masyarakat kita yang terbawa oleh arus modernisasi dan materialisme. Dengan iktikad introspeksi meskipun dengan berat hati biar saya mencoba memahami sikap mereka, siapa tahu ada pelajaran yang bisa kita ambil.  Orang tua memang menurun fisik dan memorinya. Organ tubuh mereka  banyak yang tidak koperatif lagi dan kurang berfungsi, meskipun disisi lain mungkin kesadaran batinnya semakin dalam. Kebutuhan dan kendala orang tua berbeda dan sering tidak difahami orang muda. Hampir bisa dikatakan bahwa dunianya berbeda. Ketika rekan seusia saya mengaku sering merasa kesepian, saya bertanya apa penyebabnya padahal keluarganya bahagia dan penuh ceria. Ia menjawab: dunia mereka berbeda! Ia merasa  anak-anaknya tidak memahami keinginan dan kekhawatirannya. Meskipun selalu berada  berdekatan ia tetap merasa kesepian. Sahabat saya yang lain bahkan sudah mengambil sikap: Seperak sekalipun kalau bisa, saya tidak akan minta uang dari anak-anak saya. Saya sendiri sudah banyak mengurangi keluhan didepan mereka bila sakit ringan, dan mengurangi menyuruh-nyuruh sesuatu yang masih bisa saya kerjakan sendiri. Bukan dengan sikap dongkol menghadapi Malin Kundang yang tak tahu balas budi tapi insyaalloh dengan ikhlas karena menerima kenyataan yang memang berbeda. Mulanya memang pahit dan sedih rasanya dihati.

Seiring berjalannya waktu, pil pahit itu mulai terasa hikmah dan khasiatnya. Balas budi tidak lagi terlalu diharapkan dari anak-anak tapi langsung dari yang menjanjikannya yaitu Alloh swt. Kalau konsisten kita mennghayatinya siapa tahu predikat “untuk Alloh semata – lillahi ta’ala” benar-benar dapat kita raih. Budi baik dari yang muda terasa sebagai jasa sukarela bukan hasil tuntutan. Alangkah manisnya. Saya kira sikap ini juga akan menumbuhkan kemandirian, ketabahan bagi orang tua dan kesiapan untuk menghadap sang khalik kelak. Tetapi seyogyanya jangan dimulai dari sikap defensive misalnya karena terpaksa memahami kebencian orang muda seperti diatas. Kita merindukan kehidupan yang lebih ideal; selain orang tua yang memahami anak-anak, juga generasi muda yang terdidik untuk menghormati orang tua. Seperti yang pernah dipesankan oleh Lukman kepada anaknya dan oleh nabi kita. Suatu waktu seorang pemuda siap bergabung kemedan perang, tetapi Rasulullah melarangnya karena dia meninggalkan orang tuanya sendirian. Beliau bersabda: Pulanglah engkau. Layani dan perlakukan mereka dengan santun. Itu sama baiknya dengan berperang dijalan Alloh.


.

PALING DIMINATI

Back To Top