Bismillahirrohmaanirrohiim

SUFI-SUFI REVOLUSIONER

Kaum sufi seperti bumi,yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa;juga seperti mendung,yang memayungi segala yang ada;seperti air hujan,mengaliri segala sesuatu.
[Al-Junaid al-Baghdady]
     Adalah As'ad al-Khatib,seorang sejarawan-demontratif yang tidak bisa tinggal diam ketika tasawuf selalu diidentifikasikan dengan hal-hal yang mengajarkan ke arah negative(regresif,jumud,apatis,dsb).Oleh karenanya,dia pernah melakukan perlawanan dengan menulis di majalah Turâts al-Arâbi al-Dimisyqiyah secara panjang lebar tentang kontribusi dan sumbangsih tasawuf di tengah-tengah masyarakat Arab pada khususnya dan islam pada umumnya.Dengan terbitnya tulisan itu ternyata mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan,diantaranya datang dari Prof.Dr.Muhammad Said Ramadhan al-Buti,Dr.Wahbah Az-Zuhaili,Dr.Nuruddin 'Ietr,Dr.Muhammad Abd Latif Forfor,Dr.Syauqi Abu Khalil,dan Ust.Muhammad Hisyam Burhani.Untuk melanjutkan proyek kolonikalnya ini,al-Khatib akhirnya menyusun sebuah buku yang sistematis dengan judul al-Buthûlah wa al-Fidâ' Inda al-Sûfiyah:Dirâsah Târîkhiyah.
     Tulisan ini akan berusaha mendedah--dengan sedikit banyak menggunakan analisisnya As'ad al-Khatib--sumbangsih para sufi kaitannya dengan dunia sosial dan kemasyarakatan dalam dua bentuk tipologisasi:klasik dan kontemporer, serta melakukan kritik yang secukupnya terhadap sebagian kalangan yang meragukan eksistensi ini.
Era Klasik
     Ketika zaman pemerintahan Al-Hakam al-Ayyûbi,konon kebutuhan akan ber-tasawuf sudah tidak bisa terelakkan lagi.Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,diantaranya adalah meruyaknya fitnah-fitnah yang terjadi di tengah masyarakat dan munculnya sekte-sekte keagamaan yang semakin menambah keruh suasana,ditambah dengan ekspansi militer yang dilancarkan tertantara salib terhadap negara-negara islam saat itu.Maka dari sinilah fungsi tasawuf menemukan relevansinya:yaitu dengan berduyun-duyunnya orang-orang yang ingin segera merasakan oase tasawuf.
     Diantara tokoh yang mempunyai andil besar dalam hal ini adalah:Aly ibn Husain al-Wâ'idz,Abdullah al-Yuniny,Abu Umar al-Maqdisy al-Hambali(w:607H),Abu Abbas al-Maqdisy,Abu Thâlib al-Khafîfy al-Abhary(w:624),Hasan ibn Yusuf al-Makzun al-Sanjârî(w:638H),Abdurrahman al-Jaljûlî(w:543H),Al-Hajjâj al-Fundulâwy al-Mâliky,Abu Bakar al-Thûsy al-Shûfy(w:492H),Yahya ibn Yusuf al-Sharsharî(w:656H),Najmuddin al-Kubrâ(w:618H).Semua tokoh ini adalah representasi dari sufi-sufi sejati dan para pengisi amunisi akhlak serta suluk masyarakat,tetapi yang perlu dicatat,bahwa Ke-sufiannya bukanlah menjadi penyebab kemunduran umat,tetapi malah menjadi pelecut untuk berjihad melawan tentara Salib yang tidak mengenal rasa kemanusiaan.[1]
     Lalu kontribusi apakah yang telah disumbangkan oleh Al-Ghazali(w:505H)?Benarkan Al-Ghazali termasuk salah satu pentolan sufi yang tidak ikut bertempur dalam perang salib,sebagaimana tuduhan-tuduhan para penentangnya?Untuk mengetahui jawabannya,maka dua point penting pemaparan penulis berikut perlu untuk diperhatikan.Pertama,sosok Al-Ghazali dikalangan umum lebih dikenal sebagai seorang filosof,juris(faqîh),sufi,politikus,dan pakar ilmu sosial.Kedua,Al-Ghazali hidup dalam suasana masyarakat yang sedang carut-marut  dalam segala aspek kehidupan (sosial,politik,agama,adat-etika).Maka oleh sebab itu,Al-Ghazali melihat cara yang paling jitu untuk mengembalikan kejayaan islam adalah dengan cara memperbaiki etika-moral umat islam itu sendiri,tidak yang lain.Akhirnya dikaranglah magnum opusnya yang berjudul Ihya' Ulûm al-Dîn.Karena Al-Ghazali dan pemikirannya yang tertuang dalam Ihya' inilah yang membentuk karakteristik dua panglima perang besar sepanjang sejarah perang salib,yaitu sultan Nuruddin Mahmud Zangki(w:569H) dan sultan Shalahuddin Al-Ayyubi(w:589).[2]
Era Kontemporer
     Membincang revolusi yang pernah diperoleh negara muslim dari Inggris, Perancis,dan Italia di belahan dunia Arab dan Afrika pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari peranan para tokoh sufi yang mengitarinya.Konon,pada saat itu, ribat (pesantren) yang biasanya digunakan sebagai media tranformasi ilmu agama an sich,merangkap sebagai benteng pertahanan laskar jihad yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh musuhnya.
     Sebagai permisalan,tarekat Sanusiyah di Libia yang didirikan oleh Muhammad Ibn Ali al-Sanusi(w:1859M),kemudian diteruskan Umar al-Mukhtar(w:1931M) dan Ahmad Syarif al-Sanusi(w:1933M) mampu mengusir tentara-tentara Itali dari bumi Libia.Raja Abdul Qadir al-Jazâiri(w:1885M) seorang penganut thariqah Qadiriyah tulen dan Syech Muhammad al-Haddad seorang pemimpin tarekat Syâdziliyah berhasil membuat Perancis bertekuk lutut.Di Sudan ada Muhammad Ahmad al-Mahdi(w:1885H) juga seorang pengikut tarekat Syâdziliyah yang merupakan representasi sufi yang berhasil melepaskan Sudan dari jajahan Inggris.
     Para sufi di Mesir pun juga tidak mau ketinggalan,dengan ketokohan Ahmad Arâbi yang dari kecil terdidik di lingkungan sufi,beserta para sufi-sufi yang lain,seperti Syech Hasan al-Adwa,Syech Muhammad 'Ulaisy(w:1882M),Syech Mahmud al-Syadzili,Syech Mahmud al-Qâyâti,Syech Muhammad Thanthawi(w:1888M) adalah orang-orang yang paling getol menyuarakan isu revolusi Mesir di lingkungan Al-Azhar.Maka ketika Napoleon Bonaparte menjajah Mesir tahun 1798 M,kelompok sufi-lah yang paling gerah dengan kondisi ini, dan merekalah yang mempunyai ide untuk menyatukan visi dan misi seluruh ulama untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah.Demikian juga di negara-negara Arab yang lain,di Yaman ada Syech Al-Hakîmi(w:1959M),di Maroko ada Muhammad Ibn Abd Kariem al-Khatthabi(w:1962M),Syech Muhammad Abdullah Hasan(w:1920M) berjuang di Somalia,Syech 'Utsman Ibn Faudâ(w:1817M) seorang sufi dan pejuan di Nigeria,dll.[3]
     Untuk konteks ke-Indonesiaan,konsep tasawuf dibawa oleh para penyebar islam dari Hadramaut(Yaman selatan) yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo.Dari tangan wali songo inilah yang akhirnya menelorkan sufi-sufi[4]  selanjutnya.Kontribusi para sufi di Indonesia semakin menemukan momentumnya ketika pertempuran 10 November 1945.Dimana 18 hari sebelum pertempuran itu,Nahdlatul Ulama(NU) menfatwakan resolusi jihad.KH.Hasyim Asy'ary memerintahkan KH.Wahab Hasbullah dan KH.Bisri Syamsuri mengadakat rapat dengan Kiai se-Jawa dan Madura di kantor PB Ansor NU,jalan Bubutan VI/2,22 oktober 1945.Pada 23 Oktober 1945,atas nama Pengurus Besar NU,Kiai Hasyim mendeklarasikan jihad fi sabilillah.
     Resolusi jihad mampu menyulap berbagai pesantren dari tempat pendidikan menjadi markas laskar Sabilillah dan Hisbullah untuk diberangkatkan ke Surabaya.Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan non regular Sabilillah yang dikomandani oleh KH.Maskur.Para santri dan pemuda  berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H.Zainul Arifin.Diantara alumnus kedua laskar yang masyhur ikut bertempur di Surabaya adalah KH.Munasir Ali,KH.Yusuf Hasyim,KH.Baidowi, KH.Mukhlas Rawi, KH.Sulanam Samsun, KH.Amien,KH.Anshari,dan KH.Adnan Nur.Namun panggilan hati sebagai penjaga umat membuat para kiai itu tidak melanjutkan karier militernya secara maksimal setelah revolusi fisik dan kembali mengasuh pesantren.
     Lima butir Resolusi Jihad itu adalah:pertama,kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan;kedua,RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong;ketiga;musuh RI yaitu belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu;keempat,umat islam harus mengangkat senjata melawan belanda dan tentara sekutu yang ingin memjajah Indonesia kembali;serta kelima adalah perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer,bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut.(Radius 94 diperoleh  dari  jarak diperbolehkannya menjama' dan mengkoshor salat).Jika umat islam yang dalam radius 94 kalah,maka umat islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka.[5]
     Demikianlah kontribusi yang telah disumbangkan oleh para sufi, jadi sungguh tidak bijak sana sekali jika jasa yang amat mulia itu harus dibalas dengan embel-embel musyrik-mukmin.Yang terpenting sekarang bukan membicarakan asal-usul atau ada tidaknya landasan teologis dari tasawuf ini,tetapi bagaimana kita bisa mewarisi semangat revolusi untuk kemudian dikontekstualisasikan ditengah-tengah kehidupan yang serba konsumeris dan hedonis ini.Pernah ada kritikan seperti ini:kalau ingin tidak konsumeris dan hedonis, mengapa susah-susah harus Nyufi,bukankah Qur'an-Hadis semuanya sudah lengkap?Pertanyaan seperti ini harap dimaklumi,mungkin karena si penanya belum tahu hakikat sufi sebenarnya,atau mungkin tahu tapi hanya septong-potong saja seperti kebiasaanya mencomot pendapat sana-sini tanpa diimbangi kemampuan teoritis gramatikal Arab yang mumpuni.Kalau hanya sekedar berargumen,justru kaum sufilah contoh paling baik dalam pengaplikasian nilai-nilai yang terkandung dalam Qur'an dan Hadist.Wallahu A'lam.      

Referensi
[1] As'ad al-Khatib, al-Buthûlah wa al-Fida' inda al-Sufiyah;Dirâsah Târîkhiyah, Dar el-Fikr, Cet.II., Damascus, tt., hal.96-100.
[2] Ibid, hal.167-168.
[3] Ibid, hal.177-dst.
[4] Menurut Syech Abdul Halim Mahmud,kata tasawuf pada awal mula perkembangannya tidak digunakan seperti pengertian yang kita ketahui sekarang.Melainkan untuk menyebut orang-orang yang berpaling dari dunia,yaitu para zahid dan ahli ibadah.Sekarang kata tasawuf ini sudah mengalami reduksi atau penyempitan makna kata,dimana kata itu oleh sebagian kalangan yang berhaluan purifikasi salafis-wahabis hanya ditujukan bagi orang-orang yang suka mengadakan maulid,ziarah kubur,tawasul,mencintai para wali,dll.
[5] Dwipanggar, Resolusi Jihad, Jawa Pos, 28 Desember 2009.


.

PALING DIMINATI

Back To Top