Bismillahirrohmaanirrohiim

Sanksi Pidana Mati Bagi Tindak Pidana Korupsi: Responsi dan Ijtihad Hukum Islam

Oleh H.M. Anis Mashduqi

Pendahuluan
Korupsi merupakan permasalahan global yang sekaligus menjadi permasalahan kunci bagi negara-negara di dunia. Korupsi adalah ancaman yang siap merusak tidak hanya sendi-sendi perekonomian, akan tetapi juga merapuhkan sendi-sendi mentalitas bangsa. Korupsi bukan hanya merusak sistem ekonomi yang berakibat merosotnya kesejahteraan bangsa, akan tetapi juga sistem berpikir manusia yang berkibat terbentuknya generasi masa depan sebuah negara yang rendah nilai moralitas dan integritasnya.

Perjalanan nomenklatur korupsi yang sekarang kita kenal bermula dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio sendiri berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin corruptio ini lah, nomenklatur korupsi turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda ini, nomenklatur korupsi diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia. Secara etimologis, korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi diartikan secara terminologis sebagai: 1. Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. 2. Menyelewengkan; menggelapkan (uang, benda, dsb). Sedangkan definisi korupsi menurut Lembaga Transparansi Internasional adalah perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Di samping itu, ada banyak pengertian korupsi yang digunakan oleh para peneliti, seperti: 1. Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekeuasaan oleh pegawai pemerintah untuk kepentingan pribadi, 2. Korupsi didefinisikan sebagai suatu tindakan penyelahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan.

Dalam UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 20 pasal berbicara tentang bentuk-bentuk korupsi dan sanksi pidananya.

Beberapa bentuk korupsi dalam 20 pasal di antaranya pada pasal 2 yang berbunyi,
”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup aau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000, 00 dan paling banyak 1.000.000.000.”

Kemudian pasal 3 yang berbunyi,
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit 50.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000.”

Korupsi, secara etimologis maupun terminologis mempunyai cakupan makna yang cukup luas. Ada perbedaan tegas antara definisi UU, Lembaga Transparansi Internasional, Bank Dunia, Peneliti dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Perbedaan ini tidak disebabkan oleh karakter identik korupsi yang merupakan bentuk penyelewengan kekayaan akan tetapi fokus masing-masing yang berbeda. Korupsi adalah semua bentuk penyelewengan kekayaan yang dimiliki oleh negara (UU, Lembaga Transparansi Internasional, Bank Dunia, Peneliti) atau negara maupun swasta (KBBI).

Menurut lembaga survei internasional, Political and Economic Risk Consultancy, Indonesia merupakan negeri terkorup nomor wahid di Asia. Indonesia adalah negara terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand, Malaysia, dan Cina berada pada posisi selanjutnya. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsi adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling korup berada pada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67; Singapura 0,5 dan Jepang 3,5.

Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang kebetulan mayoritas penduduknya beragama Islam ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp. 300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan dan diperlukan adanya kebijakan-kebijakan politik, hukum, dan budaya yang mampu menghapus atau minimal mengurangi tindakan-tindakan korupsi yang jelas menghambat perkembangan kesejahteraan bangsa yang terkait dengan kemaslahatan ratusan juta rakyat Indonesia.

Korupsi Dalam Bingkai Hukum Islam
Apabila kita melacak teks-teks hukum Islam sepanjang sejarah, khazanah hukum Islam menemukan dinamika secara substantif. Hanya saja karena proses politik, terutama setelah bangrutnya imperium Islam yang disebabkan pembusukan internal di samping agresi militeristik eksternal, khazanah yang sangat berharga ini tidak berkembang sedemikian rupa. Awal periode nation-state, di mana negara-negara Islam masih berada di bawah bayang-bayang hegemoni negara-negara imperialis, hukum Islam harus melakukan tawar menawar dengan tradisi hukum yang dipaksakan dari luar.1 Praksis hukum Islam menjadi sulit berkembang dan tidak menjadi bagian dari pengalaman negara dan masyarakatnya.

Orientalisme sering menisbahkan kegagalan untuk melakukan kontekstualisasi kepada kelemahan intrinsik dalam konsepsi hukum Islam dan atau teori hukum Islam itu sendiri. Sedangkan produk pemikiran hukum para ulama yang berkembang dan dikembangkan dalam konteks imperium Islam di mana berhasil menjamin kebaikan tata kelola hukum dan pemerintahan waktu itu, melalui metode historis, diklaim sebagai hasil pengaruh tradisi hukum Yunani dan Romawi (Eropa). Dalam spektrum yang lebih luas tesis-tesis orientalisme semacam ini adalah wujud dari persenyawaan kepentingan politik dengan gengsi budaya Eropa di benak orientalisme yang mengakibatkan sadar atau bawah sadar sentralisme Eropa (al-markaziyyah al-urubiyyah). (Baca: Noel James Coulson, A History of Islamic Jurisprudence (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1959). Bandingkan dengan Ali Sami Al-Nasyar, Manāhij Al-Baħs ‘Inda Mufakkirī Al-Islām (Beirut: Dar Al-Nahdhah Al-Arabiyyah, 1984), Hasan Hanafi, Al-Turāts wa Al-Tajdīd (Beirut: Al-Muassasah Al-Jāmi‘iyyah Li Al-Dirāsāt wa Al-Nasyr wa Al-Tauzī‘, 1992), Hasan Hanafi, Min Al-Nash Ilā Al-Wāqi‘ (Kairo: Markaz Al-Kitāb Li Al-Nasyr, 2005), Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwīn Al-‘Aql Al-‘Arabī (Beirut: Markaz Dirāsāt Al-Waħdah Al- ‘Arabiyyah, 2002).)

Hukum Islam mengenal dua jenis sanksi pidana (uqūbāt), yaitu sanksi pidana definitif (maħdūdah) dan sanksi pidana non definitif (ghair maħdūdah). Sanksi pidana definitif adalah hukuman atas kejahatan2 definitif karena sudah dijelaskan bentuknya sedemikian rupa di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagaimana hukuman cambuk (jild) bagi pemabuk dan hukuman potong tangan (qath’) bagi pencuri. Sedangkan sanksi pidana non defintif adalah sebaliknya, bentuk hukuman non denifitif atas kejahatan non definitif karena Al-Qur’an dan Al-Sunnah mengabaikan penjelasan bentuknya dan diserahkan kepada pertimbangan pemimpin ataupun hakim untuk merumuskan. Sebagai contoh, sanksi pidana bagi penyuap (risywah), pelaku kefasikan (fisq), pengkhiyanat (khiyānah) dan lain sebagainya. Sanksi pidana ini lazim disebut dengan nomenklatur ta‘zīr.

Sedangkan sanksi pidana definitif terdiri dari dua bentuk yaitu ħudūd dan qishāsh. Ibn Rusyd menjelaskan bentuk kejahatan yang termasuk kedalam kategori ħudūd sebagaimana berikut, ”Kejahatan yang harus dihukum dengan ħudūd adalah: 1. Kejahatan atas anggota badan dengan melukai, kejahatan atas nyawa dengan membunuh dan kejahatan atas kelamin dengan pemerkosaan, 2. Kejahatan atas harta benda. Apabila dengan bentuk perampokan dinamakan hirābah, dan dengan bentuk pencurian diam-diam dinamakan sirqah 3. Kejahatan atas harga diri disebut dengan qadzaf, dan 4. Kejahatan atas makanan dan minuman yang diharamkan oleh agama.4 Sedangkan mayoritas ulama menjelaskan bahwa ħudūd terdiri dari lima bentuk kejahatan, yaitu; perzinahan (al-zinā), tuduhan perzinahan (qadzaf), minuman keras (syurb al-khamr), pencurian (sirqah) dan perampokan ( ħirābah).

Selain ħudūd, qishāh adalah juga bentuk sanksi pidana yang sifatnya definitif. Berbeda dengan ħudūd, qishāh adalah bentuk sanksi pidana yang sama dengan bentuk tindak pidana. Dalam qishāsh seorang pelaku kejahatan dipidana sama dengan kejahatan yang ia lakukan.11 Prinsipnya adalah unsur kesamaan antara tindakan kejahatan dengan hukuman. Tidak dibedakan antara orang yang mempunyai status sosial tinggi dengan yang rendah. Jika ħudūd kemungkinan terkait dengan salah satu dari dua hal yaitu hak Allah berupa kemaslahatan sosial dan hak individu manusia, maka qishāsh hanya terkait dengan hak individu manusia.

Doktrin qishāsh tidak hanya diketemukan dalam Islam akan tetapi merupakan doktrin universal agama-agama samawi, Yahudi dan Nasrani.12 Dalam Taurat, Sifr Al-Khuruj, dijelaskan ”Barang siapa yang memukul manusia kemudian meninggal maka dibunuh...” Dalam Injil sering dijelaskan bertolak belakang dengan doktrin ini ketika mereka mamahami ”Jangan balas keburukan dengan keburukan, akan tetapi berikan pipi kirimu setelah pipi kananmu...”. Tafsir sesungguhnya dari doktrin ini adalah seruan untuk memaafkan, bukan berbuat kerusakan yang lebih buruk dengan memberikan pipi kiri. Islam pun menganjurkan pemaafan. Meski mengajarkan doktrin qishāsh, Islam mengajurkan pemaafan kepada pihak yang melakukan kejahatan qishāsh.13 Kesamaan doktrin agama samawi ini ditegaskan kembali oleh Al-Qur’an.14 Sedangkan doktrin ħudūd yang dipidana dengan hukuman fisik (al-‘uqūbah al-badaniyyah) seperti potong tangan, cambuk, bahkan hukuman mati merupakan tradisi hukum Yunani dan Romawi dan tertulis dalam kitab undang-undang mereka.15

Sedangkan ta‘zīr sebetulnya berarti mendidik (al-ta’dīb).16 Ta‘zīr sebagai konsep “mendidik” mempunyai cakupan sangat luas. Pelaku kejahatan yang terus melakukan kejahatan secara berulang meskipun sudah dihukum dan membahayakan kemaslahatan orang banyak, ta‘zīr dengan sanksi pidana mati bisa saja diterapkan. Di samping itu, tidak terpenuhinya syarat-syarat dan bukti-bukti dalam beberapa kejahatan yang termasuk dalam kategori ħudūd dan qishāsh pada akhirnya akan mengarah kepada hukuman ta‘zīr dari seorang pemimpin dengan pertimbangan kemaslahatan. Bahkan dalam qishāsh, meskipun pihak korban memberikan pengampunan sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’an, seorang pemimpin atau hakim bisa saja tetap memberikan ta‘zīr kepada yang bersangkutan yang lagi-lagi atas dasar pertimbangan kemaslahatan.17 Sebagai bentuk hukuman dari kejahatan yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, ketentuan ta‘zīr merupakan otoritas pemimpin atau hakim.18

Responsi dan Ijtihad Hukum Islam
Islam datang melalui risalah Nabi Muhammad pada abad VII M. Risalah yang bersumber dari wahyu Allah SWT itu bersifat universal. Islam tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Arab pada waktu pertama kali datang, akan tetapi seluruh umat manusia di setiap waktu dan tempat, termasuk generasi kita sekarang. Di samping bersifat universal, risalah Islam juga bersifat komprehensif. Islam telah berbicara tentang semua hal yang terkait dengan kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, hal yang terkait dengan kehidupan fisik maupun metafisik, logik maupun metalogik.

Universalitas ajaran Islam dikembangkan terus menerus melalui kerja intelektual yang dinamakan ijtihad. Seiring dengan perkembangan zaman, ajaran-ajaran Islam yang mula-mula terkodifikasi di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah menjadi sumber ilmu pengetahuan sekaligus menjadi inspirasi bagi tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan. Watak dinamis ilmu pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, didukung dengan pengembangan perangkat metodologis dalam ijtihad, pada akhirnya ilmu pengetahuan Islam berkembang secara intensif dan ekstensif sehingga mengandaikan adanya klasifikasi ilmu pengetahuan.

Hukum Islam adalah salah satu dari cabang klasifikasi ilmu pengetahuan dalam rumpun ilmu tekstual di samping sejarah, tafsir dan hadits. Selain ilmu pengetahuan dalam rumpun ilmu tekstual ada rumpun ilmu tekstual-rasional seperti akidah, tasawuf, filsafat dan ushul fiqh. Dan juga ada rumpun ilmu rasional sebagaimana varian disiplin ilmu dalam bidang sains dan humaniora.19 Masing-masing rumpun ilmu pengetahuan mempunyai bentuk hubungan dan pendekatan yang berbeda terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah. Kesemuanya dikembangkan melalui proses ijtihad yang diwajibkan dalam setiap generasi.

Sebagai bagian dari rumpun ilmu tekstual, hukum Islam bersumber kepada Al-Quran dan Al-Sunnah secara tekstual lebih banyak daripada rasional. Hal ini bisa dilihat dari fenomena di mana setiap hukum Islam diakui otoritasnya apabila mempunyai sandaran yang eksplisit di dalam kedua sumber utama pengetahuan itu (al-mashādir). Proses penemuan atau pencarian hukum dilakukan melalui mekanisme yang sudah digariskan di dalam teori hukum Islam (ushūl fiqh), salah satu dari cabang ilmu tekstual rasional. Ushul fiqh mengatur bagaimana mencari dan menemukan hukum Islam atas berbagai permasalahan hukum yang ada dan berkembang tanpa harus keluar dari tektualitas Al-Qur’an dan Al-Sunnah.21

Tekstualitas hukum Islam, melalui saluran ushul fiqh, bukan bentuk tekstualitas tertutup, akan tetapi tekstualitas lentur dan terbuka dengan batasan-batasan yang terangkum dalam syarat-syarat dan metodologi-metodologi tertentu. Sama saja dengan ijtihad dalam bidang ilmu-ilmu rasional seperti sains dan humaniora yang menggariskan syarat-syarat dan metodologi-metodologi tertentu. Tekstualitas hukum Islam dengan begitu merupakan hasil olah rasional dari syarat-syarat dan metodologi-metodologi yang bersifat rasional. Ijma’ (Consensus of Opinion) Qiyas (Analogical Deduction), Istihsan (Preferention), Mashalih Mursalah (Consideration of Public Interest) adalah beberapa dari banyak metodologi yang ada di dalam proses mencari dan menemukan hukum Islam di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang dipadukan dengan perkembangan realitas.

Memperhatikan definisi-definisi korupsi yang ada, mudah dijelaskan bahwa tindakan kejahatan ini termasuk ke dalam bentuk pengkhianatan (khiyānah) dan bukan bentuk pencurian uang negara (sirqah al-māl al-‘ām) atau perampokan (ħirābah). Definisi pencurian dan perampokan yang dikenal dengan istilah sirqah dan ħirābah, tidak setubuh untuk menggambarkan bentuk dan proses tindakan-tindakan korupsi yang sedemikian rupa. Pencurian, dalam konsep hukum Islam, lebih merupakan proses pengambilan baik kekayaan individu (sirqah al-māl al-khāsh) atau negara (sirqah al-māl al-‘ām) secara diam-diam sedangkan perampokan merupakan proses pengambilan kekayaan secara paksa dan terang-terangan.22 Korupsi adalah bentuk kejahatan khiyānah lebih tepat karena ia mempunyai karakter identik yaitu pengkhiyanatan kepercayaan terkait dengan keuangan negara.

Dalam hukum Islam, khiyānah termasuk ke dalam kategori kejahatan non definitif (ghair maħdudah) sehingga masuk ke dalam kategori ta‘zīr. Korupsi tidak termasuk ke dalam kategori ħudūd yang sudah mempunyai sanksi pidana definitif tersendiri semisal potong tangan (qath’) bagi tindak pidana pencurian, cambuk (jild) atas tindak pidana perzinahan, hukuman mati (qatl) atas tindak pidana perampokan, dan lainnya. Korupsi juga tidak termasuk ke dalam kategori qishāsh yang mengandaikan hukuman sepadan dengan bentuk kejahatan. Maka ketika hukum Islam menyerahkan sepenuhnya sanksi pidana ta‘zīr kepada pemimpin atau hakim. Bisa saja ketentuan hukuman yang sekarang disebut sebagai batas minimal dan batas maksimal diberlakukan dalam konteks hukuman bagi koruptor. Dalam hal ini apa yang dirumuskan dalam UU No 31 Tahun 1999 sesuai dengan konsep sanksi pidana ta‘zīr dalam hukum Islam.

Di dalam pasal 2 ayat 1 dijelaskan,
”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000, 00 dan paling banyak 1.000.000.000.”

Sedangkan di dalam pasal 2 ayat 2 dijelaskan,
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Hanya saja dalam pelaksanaannya, hukum Islam mempertimbangkan perumusan hukuman ta‘zīr di mana harus melihat beberapa hal sebagaimana berikut: 1. Faktor yang mendorong dijatuhkannya ta‘zīr adalah kemaslahatan umat, 2. Hukuman ta‘zīr yang diberikan dapat memberikan efek jera dan tidak menyebabkan kerusakan lebih besar di masyrakat, 3. Adanya kesesuaian antara besaran kejahatan dengan hukuman, tidak kurang dan tidak pula berlebihan 4. Persamaan dan keadilan bagi segenap masyarakat, tidak membedakan antara individu dan golongan.

Begitu juga, ta‘zīr idealnya dijatuhkan oleh seorang pemimpin atau hakim yang adil.23 Karena kenyataannya, masyarakat dihadapkan kepada kemungkinan seorang pemimpin yang menjatuhkan sanksi pidana hanya dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dan tidak dilandaskan kepada kebenaran dan keadilan. Maka tidak heran, apabila pengalaman hukum Islam para pakar hukum lebih banyak melakukan kodifikasi sanksi pidana ta‘zīr dari para hakim yang mempunyai reputasi baik dan fatwa-fatwa mereka daripada ta‘zīr yang dijatuhkan para pemimpin kecuali apabila memang benar-benar adil seperti figur Umar Ibn Abd Al-Aziz.24

Hukuman Mati: Ta‘zīr Bagi Koruptor?
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang batas maksimal sanksi pidana ta‘zīr. Mereka terbagi menjadi dua pendapat. Pertama, bentuk sanksi pidana ta‘zīr secara mutlak disesuaikan dengan pertimbangan kemaslahatan orang banyak.25 Umar Ibn Al-Khatab pernah menghukum cambuk seratus kali orang yang mencuri uang negara dari baitul mal karena berdampak bagi kesejahteraan rakyat banyak. Cambukan itu diulang seratus kali sampai hari ketiga. Nabi Muhammad juga pernah memerintahkan menghukum mati orang yang berkali-kali melakukan kebohongan secara sengaja. Ia juga pernah ditanya oleh seorang sahabat tentang seseorang yang tidak bisa berhenti menegak minuman keras, Nabi menyeru sahabat untuk menjatuhkan hukuman mati. Atas dasar riwayat dari Nabi semacam ini, Malik Ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki dan sebagian pengikut madzhab Hambali memperbolehkan penjatuhan hukuman mati bagi mata-mata dan pembuat fitnah yang hendak menghancurkan Islam.26

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa sanksi pidana ta‘zīr tidak bisa melampaui hukuman ħudūd-nya. Maka sanksi pidana ta‘zīr bagi pencuri yang mengambil harta secara diam-diam tetapi harta itu tidak berada di tempat yang aman (fī hirzi mislih) maka ukuran sanksi pidana ta‘zīr harus di bawah hukuman potong tangan. Begitu juga pelaku kejahatan yang tidak sampai kepada batas qadzaf akan tetapi hanya melakukan caci maki, maka sanksi pidana ta‘zīr tidak bisa melampaui batas hukum ħudūd bagi pelaku kejahatan qadzaf yaitu cambukan 80 kali. Pendapat kedua ini merupakan opini hukum pengikut madzhab Syafi’i, Hanbali dan Hanafi.27

Kedua pendapat tersebut mengarah kepada satu benang merah bahwa bentuk sanksi pidana ta‘zīr disesuaikan dengan tindak pidana dan dampaknya bagi kemaslahatan manusia. Hanya saja menurut pendapat yang kedua, sanksi pidana ta‘zīr atas beberapa tindak pidana yang tingkatannya di bawah kejahatan ħudūd, tidak diperbolehkan penjatuhan sanksi yang lebih berat dari sanksi pidana ħudūd-nya. Islam memberlakukan sanksi pidana yang keras atas kejahatan yang terkait dengan hak Allah atau kemaslahatan orang banyak dalam konsep ħudūd dan ta‘zīr. Sedangkan dalam sanksi pidana qishāsh, Islam menerapkan prinsip keadilan antar individu. Karena tidak terkait dengan kemaslahatan orang banyak maka dalam konsep qishāsh bisa saja korban memberikan pengampunan kepada pelaku kejahatan. Sedangkan kejahatan yang terkait dengan kemaslahatan sosial dalam ħudūd dan ta‘zīr, pengampunan tidak bisa dilakukan dan hukuman harus diberlakukan.

Korupsi adalah tindak pidana pengkhiyanatan atas kekayaan negara (khiyānah) yang mempunyai banyak tingkatan dan frekwensi. Sanksi pidana ta‘zīr yang diberikan oleh penguasa atau hakim seharusnya mempertimbangkan hal ini. Teguran (wa’dh), pemukulan (dharb), pemecatan (‘azl), penjara (sizn), penyaliban (shulb) bisa saja dijatuhkan kepada koruptor dengan tingkatan-tingkatan tertentu, begitu juga sanksi pidana mati bisa saja divoniskan kepada koruptor dengan jumlah yang amat merugikan dan berdampak kepada kemaslahatan orang banyak (ihdar mashalih al-ammah). Koruptor disamakan (qiyās) dengan pelaku subversi karena mengancam kemaslahatan negara dan orang banyak. Ta‘zīr dengan sanksi pidana mati juga bisa dijatuhkan kepada koruptor yang melakukan kejahatan secara berulang setelah sekian kali dihukum lebih ringan. Koruptor semacam ini disamakan dengan pecandu minuman keras yang terus mengulang perbuatannya setelah beberapa kali tervonis hukuman lebih ringan.

Penutup
Korupsi tidak hanya telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembagunan nasional akan tetapi telah merusak sendi-sendi moralitas dan mentalitas bangsa. Dampak yang diakibatkan oleh kejahatan korupsi bukan hanya bisa dirasakan pada masa sekarang, akan tetapi akan menjadi ancaman masa depan bangsa. Sehingga, upaya pemberantasan korupsi membutuhkan ikhtiar-ikhtiar yang simultan di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik di lini politik, hukum maupun budaya dan pendidikan. Khususnya di lini hukum, perlu adanya sanksi pidana yang lebih berat dan memberikan efek jera (al-zajr) bagi pelaku kejahatan korupsi sebagaimana dalam hukum Islam, di samping proses penanganan yang lebih intensif, konsisten dan berkesinambungan.



Daftar Pustaka:

Al-Asymawi, Muhammad Said. Ushūl Al-Syarī’ah (Beirut: Al-Intisyar Al-Arabi, 2004)
Al-Bahuti, Mansur Ibn Yunus. Syarkh Muntahā Al-Irādāt (Kairo: Muassasah Al-Risalah, 2000)
Gad, Al-Husaini Sulaiman. Al-Uqūbah Al-Badaniyyah fi Al-Fiqh Al-Islāmī (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1991)
Coulson, Noel James. A History of Islamic Jurisprudence (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964)
Hanafi, Hasan. Al-Turāts wa Al-Tajdīd (Beirut: Al-Muassasah Al-Jāmi‘iyyah Li Al-Dirāsāt wa Al-Nasyr wa Al-Tauzī‘, 1992)
Hanafi, Hasan. Min Al-Nash Ilā Al-Wāqi‘ (Kairo: Markaz Al-Kitāb Li Al-Nasyr, 2005),
Hanafi, Hasan. Muqaddimah Fī ‘Ilm Al-Istighrāb (Al-Muassasah Al-Jāmi‘iyyah Li Al-Dirātsah wa Al-Nasyr wa Al-Tauzī‘, 2000)
Musyrifah, Athiyyah. Al-Qadhā’ fi Al-Islām (Kairo: Syirkah Al-Syarq Al-Ausath, 1966)
Al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwīn Al-‘Aql Al-‘Arabī (Beirut: Markaz Dirāsāt Al-Waħdah Al- ‘Arabiyyah, 2002)
Al-Nasyar, Ali Sami. Manāhij Al-Baħs ‘Inda Mufakkirī Al-Islām (Beirut: Dar Al- Nahdhah Al-Arabiyyah, 1984)
Rusyd, Muhammad Ibn Ahmad Ibn. Bidāyah Al-Mujtahid wa Nihāyah Al-Muqtashid (Semarang: Thaha Putra, tt)
Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1959)
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Radd ‘Alā Man Akhlada Ilā Al-Ardh wa Jahila Anna Al-Ijtihād Fī Kulli Ashrin Fardhun (Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1983)
Taimiyah, Taqiyuddin Ibn. Al-Ħisbah fī Al-Islām (Riyadh, Muassasah Saidiyyah, tt)
Zahrah, Muhammad Abu. Al-Jarīmah wa Al-Uqūbah fi Al-Fiqh Al-Islāmī; Al-Jarīmah (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1998)
Zahrah, Muhammad Abu. Al-Uqūbah wa Al-Jarīmah fi Al-Fiqh Al-Islāmī; Al-Uqūbah (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1998)


.

PALING DIMINATI

Back To Top