Bismillahirrohmaanirrohiim

Nasihat Bijak Master Chin Kung tentang Agama dan Kehidupan

Ceramah Umum yang diselenggarakan di Auditorium UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 13 Januari 2011 menyita perhatian berbagai kalangan akademisi, termasuk mahasiswa UIN dan penulis sebagai alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara yang diinisiasi oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat itu menghadirkan Master Chin Kung, seorang biarawan yang lahir di China dan telah mendedikasikan dirinya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Budha sejak tahun 1959. Dengan mengambil tema “Peranan Agama dalam Menyelesaikan Semua Konflik dan Mewujudkan Perdamaian Dunia”, ia memaparkan beberapa pemikirannya tentang nilai-nilai pendidikan, peranan agama dan sifat tulus serta hormat ketika belajar.

Sekilas tentang Master Chin Kung
Master Chin Kung dilahirkan di kota Luchiang Provinsi Anthui,China pada tahun 1927. Sebelum menjadi biarawan, nama beliau adalah Yae Hong Hsu. Ia tumbuh dewasa di Cheino, Provinsi Fukien. Pada tahun 1949, ia pergi ke Taiwan dan bekerja di institute Shihchien. Selama 13 tahun ke depan, ia menghabiskan waktunya untuk belajar tentang Budhisme dan Philosofi di bawah bimbingan Professor Tung Mei Fang, Master Jia Chang dan seorang guru muda Mr. Bing Nan Lee. Selama tahun-tahun tersebut, ia membangun sebuah fondasi untuk karier nya kelak ke depan. Pada tahun 1959, ia memutuskan untuk menjadi biarawan dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran dan nilai yang telah di bawa oleh Buddha. Dalam perjalanannya untuk menjadi seorang biarawan, ia di tempatkan di candi Lintzi, Yuanshan di Taipei, Taiwan. Di situlah ia mendapatkan dan menerima nama Chin Kung. Sejak saat itu Master Chin Kung mengajar secara luas di Taiwan dan luar negeri.
Lebih dari 30 tahun, ia mengajar dan memberikan ceramah di beberapa tempat, seperti ‘Flower Adornment Sutra’, ‘The Dharma Flower Sutra’, ‘The Diamond Sutra’ dan beberapa tempat lainnya. Ia juga adalah pendiri biara Hwa Dzan, Perpustakaan Buddha Hwa Dzan, Hall tempat pengajaran Hwa Dzan dan lainnya. (disadur dari www.buddhanet.net/master chin kung)

Petuah Bijak dan Nasehat akan Agama dan Kehidupan 
Selama memberikan ceramahnya di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ada tiga hal yang di tekankan oleh Master Chin Kung mengenai agama dan kehidupan. Pertama, Nilai-nilai Pendidikan. Ia menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah sebagai hal utama untuk mendirikan sebuah bangsa”. Tanpa pendidikan, sebuah bangsa tidak akan kokoh berdiri dan bisa bersaing dengan bangsa lainnya. Sang Master juga menyatakan bahwa saat ini kita bisa melihat eksistensi pendidikan dalam dua jenis masyarakat. Pada masyarakat Barat, mereka telah melepaskan unsur-unsur agama dalam pendidikannya. Masyarakat Barat cenderung mengedepankan rasionalitas semata dalam dunia pendidikan mereka. Sedangkan pada masyarakat Timur, mayoritas telah kehilangan moral/etika nya untuk membangun pendidikan. Penulis memaknai penjelasan sang master sebagai fenomena dunia pendidikan yang kian jauh dari tujuan utamanya, yaitu membangun dan meningkatkan kapasitas kualitas diri seseorang dengan tidak meninggalkan unsur agama. Banyak hal yang bisa kita lihat dari dunia pendidikan di dunia saat ini, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, anggaran 20 persen untuk dunia pendidikan saja belum dapat dilaksanakan dengan baik. Anggaran 20 persen ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4), negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Meski anggaran 20 persen untuk pendidikan telah dianggarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, namun pada kenyataannya implementasi dari anggaran yang ‘sekurang-kurangnya’ ini masih saja bermasalah. Berbagai masalah dapat kita temukan ketika bersinggungan dengan anggaran pendidikan di Indonesia saat ini, mulai dari distribusi yang tidak merata antara desa dan kota, perbedaan yang mencolok bagi yang mampu dan tidak mampu hingga pengurangan anggaran pendidikan yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Desentralisasi/ otonomi daerah yang diterapkan pada era reformasi ini, menambah kewenangan daerah untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan kapasitas kebutuhan mereka, termasuk sektor pendidikan dengan tetap berkoordinasi dengan pusat. Namun nyatanya? Anggaran pendidikan kita masih saja terpusat pada daerah tertentu dengan bersandar pada pemikiran kolot, bahwa peningkatan kualitas pendidikan identik dengan bangunan fisik nya, yaitu bangunan sekolah. Padahal dalam acara Simposium Grand Design Otonomi Khusus Papua yang diselenggarakan oleh FISIP UI kerjasama dengan beberapa pihak, mayoritas peserta yang berasal dari Papua menyatakan bahwa persoalan ketertinggalan Papua dalam dunia pendidikan adalah bukan saja mengenai ada atau tidaknya bangunan sekolah di daerah mereka, namun tidak adanya tenaga pengajar yang merupakan komponen penting dalam sebuah pendidikan.

Inilah potret kecil bahwa masyarakat Timur memang telah kehilangan etika dan moral nya dalam membangun pendidikan. Pendidikan hanya di maknai sebagai aktifitas belajar mengajar yang difasilitasi oleh pengajar dan bangunan fisik sekolah. Mindset Pemerintah perlu diubah bahwa pendidikan bukanlah hanya tentang bangunan fisik, namun lebih dari itu, pendidikan adalah tentang menyiapkan generasi bangsa yang pintar dan berakhlak untuk masa depan. Setidaknya, meski hasil dari peningkatan kualitas pendidikan tidak bisa dilihat secara instan seperti pembangunan ekonomi, namun Indonesia bisa berkaca dari Malaysia yang lebih mengedepankan dunia pendidikannya. Jika pada tahun 1970 an negeri Jiran masih mendatangkan tenaga pengajar dari Indonesia, maka saat ini putra putri bangsa Indonesia-lah yang pergi untuk belajar ke negara tetangga tersebut. Meski demikian, apakah pendidikan hanya cukup di maknai dalam kapasitas keduniawian semata? Master Chin Kung mempunyai pemaknaan mendalam tentang apa itu pendidikan.

Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa menurut huruf Tionghoa, pendidikan adalah hal yang menolong pada kebaikan dan kesalehan. Semua manusia pada sifat aslinya adalah baik dan saleh, namun kebiasaan-kebiasaan nya lah yang menjadikan kesalehan dan kebaikan itu tertutup. Karenanya, beliau menjelaskan bahwa pendidikan idealnya adalah mengembalikan semua orang yang tersesat untuk kembali, yang jahat menjadi baik, yang kotor menjadi suci. Inilah sebenarnya tujuan pendidikan. Namun hal yang kita lihat saat ini adalah tidak demikian keadaannya, mengapa? Beliau mengatakan bahwa karena manusia hanya fokus pada keberadaan lembaga pendidikan dan bukan pada nilai-nilai yang menjadi tujuan pendidikan tersebut. Kedua, Selain pendidikan, Master juga memaparkan tentang peran agama dan nilai-nilai agama. “semua agama-agama di dunia, pada intinya adalah mengajarkan tentang kedamaian”. Multikultural pada intinya adalah mengajarkan kedamaian, namun kondisi daerah lah yang biasanya membuat sebuah perbedaan. Meski demikian, pada inti yang sama, adalah membangun sebuah kedamaian. Ia menjelaskan bahwa selama 100 tahun, nilai-nilai agama semakin melemah. Ummat beragama jadi lebih emosional, fanatic dan sulit bekerjasama. Keharmonisan agama menjadi sukar dibentuk. Salah satu kata penting yang penulis soroti dari petuah Chin Kung adalah “untuk menyelamatkan dunia ini, kita harus mengendalikan pendidikan agama”. Ia pun menceritakan pengalamannya ketika bertemu Almarhum Gus Dur di Indonesia. Waktu itu Gus Dur berucap bahwa “semua agama hanya mengetahui jubah luar, tapi tidak mengetahui nilai utamanya”.

Ketidaktahuan nilai utama inilah yang menurut penulis menjadikan banyak kekerasan antar ummat beragama terjadi, seperti peperangan Palestina-Israel, Aliran Ahmadiyah dengan FPI (Front Pembela Islam) yang sebetulnya keyakinan dan nilai agama mereka mengatakan bahwa bukankah masih ada jalan diskusi atau perdebatan dengan damai yang bisa diusahakan daripada melakukan peperangan? Seperti Firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 125 yang mengatakan bahwa “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Hal ketiga yang dipaparkan oleh Master Chin Kung adalah sifat tulus dan hormat waktu belajar. Ajaran agama selalu menganjurkan kita agar menghilangkan kesombongan. Dalam berbagai agama, kesombongan tersebut di bahas. Dalam agama Islam, ayat Al-Qur’an menerangkan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Dalam surat An-Nahl ayat 29, Allah berfirman “Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu”. Ini adalah cerminan yang akan di terima bagi orang-orang yang sombong berdasarkan ajaran Islam.

Dalam agama lainnya seperti Kristen, Master Chin Kung menyebutkan bahwa ajaran mereka mengisahkan kerendah hatian bunda Maria. Dalam ajaran Buddha, jika ingin menghilangkan kesombongan maka harus belajar rasa hormat. Rasa hormat akan mengurangi karma yang ada. Sang Master mengatakan bahwa tanpa rasa hormat dan yakin, maka membaca kitab suci hanya akan mendatangkan pengetahuan, namun tidak bermanfaat. Jika demikian, maka pengetahuan yang mereka dapat hanya akan mendatangkan kesombongan. Master nan murah senyum ini juga menjelaskan bahwa ketulusan dan rasa hormat adalah langkah awal yang baik dalam belajar. Ada sebuah pepatah kuno yang disadur oleh master Chin Kung, yaitu “ Tidak mendengarkan nasihat orang tua adalah menimbulkan sebuah kerugian”. Dengan mengembangkan pendidikan agama dan moralitas, maka bumi ini akan menjadi damai dan jauh dari kerugian.

Master Chin Kung menegaskan bahwa agama sangatlah berperan dalam menghadapi konflik dan mewujudkan perdamaian dunia. Statement dan pendapat terakhir Master tersirat dalam jawabannya di sessi tanya jawab, di mana salah satu pertanyaan peserta yaitu “bagaimana menyelesaikan konflik yang di latarbelakangi perbedaan agama”? sang Master menjawab bahwa penyelesaian dari itu adalah dengan mengadakan pertemuan rutin antar sesama pemimpin agama. Pertemuan ini tidak boleh singkat dan hanya beberapa jam, namun berhari-hari. Dengan begitu, hubungan yang baik akan terjaga, karena ada “curhat dan berbagi pengalaman antar pemimpin agama yang berbeda”. Setelah hubungan baik terjaga, maka masing-masing dapat mempelajari agama yang baik dari agama-agama yang berbeda”. Semoga.

By: Ana Sabhana Azmy, Jakarta 14 Januari 2011


.

PALING DIMINATI

Back To Top