Bismillahirrohmaanirrohiim

IMAN DAN ISLAM : Dua Mata Rantai yang Tak Terpisahkan

Dalam pandangan Islam, dalam diri manusia terdapat beberapa unsur yang diistimewakan Allah Swt, utamanya terkait dengan dengan keimanan. Sayangnya, hal itu tidak mendapat perhatian yang semestinya. Sering dilupakan bahwa perilaku keislaman harus didasari oleh keimanan yang teguh. Islam adalah perbuatan lahir yang harus berdasar keyakinan dan keimanan yang kuat. Fitrah manusia mendorongnnya berbuat sesuatu berdasarkan dorongan hati nurani dan dorongan manusiawi lainnya. Karenanya, tindakan manusia yang tidak memiliki motivasi yang benar pada akhirnya hanya akan melahirkan dampak buruk. Berpijak dari hal ini, sudah seharusnyalah iman menjadi landasan seluruh tingkah laku seorang muslim. Untuk memahami keduanya secara utuh dibutuhkan kajian yang paripurna, tulisan ini kiranya dapat menjadi pengantar menuju bacaan yang lebih mendalam.

 Makna Iman

Arti iman dalam tinjauan bahasa adalah percaya, setia, melindungi, dan menempatkan sesuatu di tempat yang aman (baca: pada tempatnya).1 Terkait dengan akidah yang dimaksud adalah iman yang bermakna pembenaran terhadap suatu hal; pembenaran yang hakikatnya tidak dapat dipaksakan (intimidasi) oleh siapapun, karena iman terletak dalam hati yang hanya bisa dikenali dan dipahami secara pribadi. Seseorang tidak dapat mengetahui hakikat keimanan orang lain, apalagi memaksakannya.2 Dalam syara’, iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw, yakni beriman kepada Allah Swt, para Malaikat, para Nabi, para Rasul, hari kiamat, qadhâ’ dan qadar. Demikian makna iman menurut hadits Nabi Saw.3
Dalam menjelaskan iman, beberapa ulama Ahlussunnah memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Awza’i, Ishaq bin al-Rahawayh,4 makna iman mencakup keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah kebenaran (haq)5 yang kemudian hal itu ditunjukkan dalam amal perbuatan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip al-Thahawi, amal perbuatan tidak termasuk dalam iman. Menurut beliau iman adalah pengakuan lisan dan pembenaran hati. Sementara al-Maturidi6 berpendapat bahwa hakikat keimanan adalah pembenaran hati, sementara pengakuan lisan merupakan pilar (rukun) tambahan dalam keimanan, bukan merupakan unsur utama.7 Namun demikian, beberapa pandangan—yang nampak berbeda—sepakat bahwa orang yang tidak meyakini kebenaran Islam adalah orang kafir, sementara orang yang tidak menjalankan perintah agama adalah fasik. Sekalipun pandangan mayoritas ahli hadits adalah bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman, dengan meninggalkannya tidak berarti seseorang menjadi kafir; namun ia kehilangan kesempurnaan iman. Dengan demikian substansi beberapa pendapat di atas adalah sama.8
            Dalam karyanya, al-Tawhid, al-Maturidi menguraikan bahwa pendapat yang benar mengenai keimanan ialah bahwa ia merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati. Pengertian ini ia dasari oleh dua argumen; pertama, berdasarkan penjelasan syara’: (a). Sebuah ayat yang menerangkan orang Munafik. Dalam ayat ni diterangkan bahwa orang munafik ialah: ”Orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman," padahal hati mereka belum beriman 9. (b) Firman Allah Swt. ketika seorang suku Badui (A‘raby) mengaku telah beriman: ”Katakanlah (kepada mereka): ’Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah: ’Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”.10 Dari kedua ayat al-Quran diatas terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati. Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika Badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal.11 Kedua, berdasarkan pendekatan nalar (aqli). Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan nurani.
            Namun demikian, beriman dalam arti meyakini kebenaran syariat yang dibawa Nabi Saw. adalah adalah sesuatu yang bersifat qalbiyah an sich dan esoteris (batin) yang tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Untuk mengetahuinya diperlukan sarana yang membuatnya dapat dijangkau. Hal itu adalah mengucapkan kalimat syahadah yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan ajaran Islam. Kesempurnaan iman seseorang diukur melalui keteguhan hati, ucapan dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Saw.
Perbedaan dalam memandang tiga komponen keimanan (pembenaran dengan hati, ungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan pengamalan) berakibat pada perbedaan dalam memandang keselamatan seseorang di akhirat. Al-Ghazali menjelaskan secara baik dengan penjelasan bertingkat:12
1.      Orang yang melakukan seluruh pilar keimanan, semua ulama sepakat bahwa di akhirat kelak ia akan memperoleh surga.
2.      Seseorang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagian perintah agama dan hanya menjauhi sebagian larangannya. Menurut Muktazilah, jika dia melakukan dosa besar berarti ia telah keluar dari keimanannya, berada diantara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir. Dan di akhirat kelak ia berada di tengah-tengah antara dua posisi (manzilah bayn manzilatayn). Tapi menurut Ahlussunah Wal-Jamaah, keputusannya dikembalikan (diserahkan sepenuhnya) kepada Allah Swt. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukannya.
3.      Golongan yang membenarkan dalam hati dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk syarat iman. Dengan demikian, tidak ada iman tanpa amal, sebab amal adalah komponen iman. Pendapat Abu Thalib dilandasi oleh ayat: الذين أمنوا وعملوا الصالحات [orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan] al-Ghazali berkomentar bahwa ayat ini justru menunjukkan pembedaan iman dan amal saleh. Dalam ayat ini, iman dan amal diposisikan dalam kerangka makna yang berbeda. Pendapat yang lain menyatakan, bahwa amal perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan penyempurna saja. Artinya, seseorang yang beriman tapi tidak beramal keputusannya kembali pada kebijakan Allah Swt. di akhirat kelak. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal dikategorikan sebagai bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal dinilai sebagai orang kafir, dan pelakunya berada di neraka selama-lamanya. Padahal orang berpendapat sebagaimana pandangan pertama tidak mengatakan demikian. Disamping itu, pendapat yang disebut belakangan adalah pandangan mayoritas ulama Ahlussunnah.
4.      Orang yang membenarkan dalam hati, namun sebelum sempat mengakui dengan ucapan ia terlebih dulu meninggal dunia. Menurut Ahlusunnah wal-Jamaah, dia mati dalam keadaan beriman di sisi Allah Swt. Berdasarkan firman Allah Swt. dalam hadits qudsi: Akan keluar dari neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman (meski) seberat semut.” Sementara kelompok kedua mengatakan bahwa dia bukan termasuk orang beriman dan akan kekal selamanya di neraka. Mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat mutlak bagi keimanan seseorang.
5.      Orang yang membenarkan (baca: beriman) tetapi menunda pengucapan syahadat. Padahal dia tahu bahwa syahadat adalah syarat seseorang dapat disebut seorang muslim. Orang seperti ini oleh Ahlussunnah disamakan dengan orang yang meninggalkan shalat. Di akhirat akan mendapat siksa walaupun tidak selamanya. Sedang Murji’ah13 berpandangan bahwa orang seperti itu tidak akan masuk neraka, tapi dipastikan masuk surga. Pendapat ini berbeda dengan pandangan mayoritas umat Islam.
6.      Seseorang yang mengucapkan syahadat, namun sebenarnya hatinya mengingkari. Orang yang melakukan tindakan ini diancam dengan neraka karena sebenarnya ia tergolong orang kafir. Jadi walaupun selama hidupnya dia diakui sebagai seorang muslim --karena telah mengucapkan dua kalimat syahadat, namun di akhirat kelak ia akan kekal di jurang jahanam. Orang yang memiliki karakteristik semacam ini dikenal sebagai orang munafik. Yakni seseorang yang menggunakan ungkapan syahadah untuk memperoleh keamanan duniawi semata.

 

Makna Islam

Islam secara lughawi bermakna ketundukkan, kepasrahan, atau kepatuhan.14 Dalam tataran syari’at, berpasrah diartikan sebagai manifestasi yang menunjukkan ketaatan, konsistensi, dan perilaku lurus-sejajar dengan norma-norma dasar syariat.15 Kemudian secara terminologis, menurut Husayn Afandi, Islam berarti tunduk dan patuh lahir-batin terhadap pesan-pesan yang diyakini datang dari Allah Swt. melalui Nabi-Nya.16 Dari definisi ini melahirkan keserupaan makna antara iman dan Islam. Hubungan keduanya sangat erat dan saling memberi arti. Kelekatan hubungan ini sangat logis, mengingat bahwa pembenaran terhadap Nabi akan mendorong sikap berserah diri dan patuh menjalankan ajaran yang dibawanya. Begitu juga orang yang patuh melaksanakan ajaran Nabi niscaya telah diawali dengan pembenaran dalam hati.17
Namun ada pendapat yang menjelaskan status keislaman seseorang terwujud dalam bentuk dua syahadah (persaksian): bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt. dan bahwa Muhammad utusan-Nya; yang kemudian dijalankan melalui ketaatan yang menjadi pilar-pilar Islam (arkân al-Islâm), yakni mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.18
Persaksian diatas merupakan syarat mutlak agar seseorang dapat dikatakan sebagai muslim. Ketentuan ini merujuk pada sebuah hadits yang menjadikan iman sebagai kunci keislaman, dan predikat keislaman harus didahului oleh syahadah; persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Pengucapan syahadah dijadikan sebagai sarana yang menunjukkan pembenaran atas ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw.

 Pertalian Iman dan Islam

Tertanamnya keimanan dalam hati akan melahirkan tata nilai ketuhanan (rabbâniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah Swt. dan hanya menuju kepada-Nya (innâ liLlahi wa innâ ilayhi râji‘un. Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami kembali). Tata nilai ketuhanan itu akan bisa digapai melalui tumbuhnya keyakinan dalam hati tentang Kemahatunggalan Allah Swt. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia lah penguasa segala yang ada, dan Dia pula pengatur semua ciptaan-Nya. Dengan demikian, prinsip peng-esa-an Tuhan (tawhid) adalah inti dan dasar ajaran Islam.
Disamping itu, agama Islam juga mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berserah diri dengan sepenuh hati, tulus dan pasrah kepada Allah Swt. Sikap berserah diri ini merupakan buah yang dihasilkan dari pengakuan atas kemahatunggalan dan kemahakuasaan-Nya. Jadi, jika pengakuan atas Keesaan Allah Swt adalah inti ajaran Islam, maka sikap pasrah adalah pengejawantahan dari pengakuan tersebut, sikap pasrah yang diwujudkan dengan pengamalan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. dalam kehidupan sehari-hari. Inilah prinsip keimanan yang sejati.
Iman sendiri merupakan landasan pokok bagi terbentuknya keislaman. Antara iman dan Islam bagaikan satu bangunan yang saling memperkuat satu sama lain. Iman tidak ada artinya tanpa amal shalih, dan amal shalih akan sia-sia jika tidak dilandasi keimanan. Oleh karena itu, dapat dikatakan setiap muslim pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Logikanya, orang yang percaya tentang kenabian Muhammad Saw. tentu tunduk dan patuh pada pesan-pesan syari’atnya. Begitu pula orang yang patuh terhadapnya pasti didasari keyakinan dan kepercayaan atas kebenaran ajaran yang dibawanya.19 Dapat dikatakan, bahwa iman adalah perbuatan batin (akidah), sementara Islam adalah perbuatan lahir-nya.
Secara teologis ulama berbeda pandangan dalam memaknai Islam. Penulis Syarh Aqîdah al-Thahâwiyyah, mencatat tiga pengertian Islam menurut pandangan beberapa mutakallim yang berbeda: (1) Kelompok yang menganggap Islam sebagai sebuah sebutan; (2) Aliran yang menggambarkan Islam sebagaimana keterangan hadits, ketika Nabi Saw. ditanya tentang makna Iman dan Islam, beliau menafsiri Islam dengan lima perbuatan lahir yang merupakan pilar ajaran Islam; (3) Golongan yang menyamakan antara iman dan Islam. Pendapat ketiga ini juga merujuk pada hadits yang menerangkan bahwa Islam adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Swt.,20 mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.
Masing-masing kelompok mendasarkan pandangan mereka pada hadits-hadits Nabi Saw. Beberapa hadits yang nampak bertentangan, kemudian ditafsiri secara berlainan oleh beberapa kelompok berbeda, sehingga melahirkan definisi yang berbeda pula. Namun setelah diteliti lebih dalam, ternyata tidak ada perbedaan mendasar dari masing-masing pendapat. Penulis Syarh Aqîdah al-Thahâwiyyah berkesimpulan bahwa ketiga definisi di atas memiliki titik temu, yakni bila dua kata, iman dan Islam, terkumpul (disebut bersamaan) keduanya memiliki pengertian yang berbeda; sebuah perbedaan yang terjadi hanya dalam tingkat pengertian (definisi), bukan merupakan perbedaan substantif; makna keduanya justru saling melengkapi. Namun bila keduanya disebutkan secara terpisah, masing-masing justru menunjuk pada pengertian yang sama (murâdif).21 Makna lain dari Islam adalah bahwa ia nama agama (al-din) yang diridlai Allah Swt. sebagaimana dalam al-Quran. Dalam hal ini, nampak perbedaan pengertian dan makna antara iman dan Islam.
Yang kemudian diperdebatkan adalah apakah iman cukup diyakini dalam hati, harus diucapkan, atau bahkan harus dibuktikan secara lahir dalam bentuk perbuatan. Lalu apa hubungannya dengan Islam, apakah keimanan cukup tertanam dalam hati, sementara keislaman berbentuk perbuatan lahir. Ketika menjawab pertanyaan ini, kalangan mutakallimin (teolog) berbeda pendapat. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran atas dalil yang menjadi landasan pendapat mereka. Apalagi dalil yang digunakan cenderung bersifat umum yang menimbulkan banyak penafsiran.
Bila kita merujuk pada al-Quran penjelasan seputar iman dapat kita temukan dalam ayat yang membicarakan sifat-sifat orang beriman (mu’minûn), seperti dalam surat al-Anfâl [8]: 2:

إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم أيته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka mereka semakin bertambah iman, dan kepada Tuhanlah mereka pasrah
dalam ayat lain dijelaskan tentang karakteristik lain dari orang mukmin:
قد أفلح المؤمنون الذين في صلاتهم خاشعون والذين هم عن اللغو معرضون والذين هم للزكوة فاعلون والذين هم  لفروجهم حفظون
Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat serta orang-orang yang menjaga kemaluannya ” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 1-5)

Dari dua kutipan ayat al-Quran di atas nampak bahwa dalam menerangkan iman, al-Quran menjelaskannya dengan penyebutan sifat-sifat yang dimiliki orang mukmin.
Penjelasan secara definitif mengenai pengertian iman, Islam dan ihsan dapat kita temukan dalam hadits Nabi Saw yang secara panjang lebar menguraikan ketiganya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah;22Pada suatu hari Rasululah berada di hadapan para sahabatnya, kemudian ada seorang laki-laki yang mendatangi dan bertanya: apakah iman itu? ’. Nabi menjawab: ‘iman adalah percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya akan berjumpa dengan-Nya, percaya kepada para rasul dan kebangkitan hari akhir’. Setelah itu, orang tersebut juga menanyakan arti Islam. Nabi mengatakan: ’Islam adalah penyembahan terhadap Allah Swt dengan tidak menyekutukan-Nya, menjalankan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan haji ke baituLlahkemudian orang itu menanyakan tentang ihsan. Lalu Nabi menjawab: ’(yaitu) apabila kalian menyembah (beribadah) kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya maka apabila kamu tidak bisa melihat-Nya, seungguhnya Ia melihatmu.

Sekilas terlihat bahwa hadits diatas memunculkan disparitas (pembedaan) makna antara iman dan Islam. Islam diposisikan sebagai segala perbuatan yang berkaitan erat dengan aspek-aspek lahiriyah-fisik, baik berupa ucapan maupun tindakan. Sedangkan iman lebih ekslusif (tertutup) karena maknanya berada pada kepercayaan dalam hati. Oleh karenanya, sebagian ulama, yang menjadikan hadits ini sebagai argumennya, mengharuskan pengucapan dua kalimat syahâdah (kesaksian tawhid) untuk memastikan status keislaman seseorang, yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan ajaran Islam yang lain, seperti shalat, zakat, puasa Ramadlan, dan pergi haji. Iman tidak sempurna bila diartikan sebagai pembenaran dalam hati saja, tanpa amal perbuatan.
Pemaknaan iman dan Islam semacam itu didukung oleh riwayat lain. Sebuah hadits Nabi Saw. menyatakan: ”Orang muslim adalah seorang yang bisa melindungi keselamatan orang lain dari ucapan maupun perbuatannya”. Selain itu, ketika Nabi Saw. ditanya mengenai Islam yang baik, Nabi Saw. mengaitkannya dengan aktifitas lahiriyah. Beliau mengatakan: ”(Islam yang baik adalah) memberi makanan (kerabat), mengucapkan salam, baik kepada orang yang dikenal atau tidak.”23 Dengan demikian, berpijak pada keterangan hadits-hadits di muka maka pengertian objektif kata iman dan Islam dibedakan. Islam adalah aktifitas lahir, dan iman aktifitas batin.
Namun, hal ini tidak dapat dijadikan sebuah kesimpulan akhir. Karena jika diteliti lebih lanjut, ternyata ada hadits lain yang menyamakan kedudukan iman dan Islam. Misalnya hadits riwayat Umar ibn ’Abasah. Ia berkata: ”Ada seorang laki-laki menemui Nabi Saw., lalu bertanya: ”Wahai Rasul, apa sebenarnya Islam itu?’. Nabi menjawab, (Islam adalah) berserah diri kepada Allah dalam hati dan menjamin ketenangan kaum muslimin dari ucapan maupun perbuatannya.”24 Dalam hadits ini Nabi Saw. memaknai Islam sebagai sikap berpasrah diri kepada Allah Swt., dimana sikap itu merupakan pekerjaan batin. Karenanya, terllihat ada pertentangan (ta‘ârudl) jika dikaitkan dengan beberapa hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Terkadang pengertian iman dibedakan dengan Islam, tapi dalam kesempatan lain keduanya memiliki pengertian yang sama; murâdif. Sebagaimana pengertian kata fakir dan miskin, ketika disebutkan bersamaan keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Namun ketika disebutkan secara terpisah keduanya memiliki makna serupa.
Sebagaimana telah disinggung di muka, fungsi ungkapan iman melalui sarana lisan adalah menyingkap keyakinan hati, yang berpengaruh pada pemberlakuan hukum lahiriyah. Karena itu, seorang yang membenarkan dalam hati dikategorikan sebagai orang beriman di sisi Allah Swt. Sementara yang membenarkan dalam hati sekaligus bersaksi dengan lisan tergolong mukmin di sisi Allah Swt dan hukum Islam berlaku padanya.25
Kesimpulan ini didukung oleh al-Ghazali. Menurutnya, dalam pandangan syari’at, iman dan Islam memiliki keterkaitan dengan dua keputusan hukum, hukum dunia dan akhirat. Hukum duniawi menjadikan seseorang yang berstatus muslim mendapat hukum sesuai ketentuan agama, seperti perlindungan nyawa, harta, dan lain sebagainya. Dalam persoalan hukum akhirat ia akan terbebas dari ancaman neraka atau tidak selamanya di neraka.
Keimanan sebagai sesuatu yang esoteris berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ukhrawi. Sementara sesuatu yang nampak adalah standar penilaian keislaman seseorang di dunia. Karenanya jika seseorang bersyahadah namun sebenarnya hatinya ingkar dalam kehidupan dunia ia disebut seorang muslim namun ia diancam siksa diakhirat kelak, ia disebut orang munafiq. Walhamdu liLlah.
  
Iman Adalah Pembenaran, Pengakuan dan Amal
Pada periode awal (salaf) umat Islam, para ulama mendefinisikan iman sebagai suatu keyakinan, pernyataan dan pengamalan. Abu Hasan Asy’ari menjelaskan, yang dimaksud iman ialah ucapan sekaligus tindakan. Ucapan dan tindakan sebagai pengejawantahan keyakinan hati bisa saja bertambah dan bisa berkurang.26 Kadar keimanan bisa bertambah dengan bertambahnya amal, dan amal pun dapat berkurang akibat menipisnya iman.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian iman acapkali diposisikan berbeda dengan amal; amal adalah bagian tersendiri meskipun tetap menjadi penopang keimanan. Berikut beberapa pendapat mengenai pertautan iman dan amal: 
1)     Mu’tazilah dan Khawarij sepakat memasukan amaliah menjadi bagian integral dari keimanan. Sehingga menurut dua aliran ini, orang yang meninggalkan amaliah tidak dianggap beriman; menurut Khawarij ia menjadi kafir, sedangkan menurut Muktazilah ia ada pada posisi antara iman dan kafir (manzilah bayna al-manzilatain)
2)     Murji’ah menganggap amaliah bukan termasuk pra-syarat iman. Persoalannya, keselamatan manusia terletak pada keyakinan. Sehingga kebahagiaan di akhirat tidak berkaitan dengan amaliah. Faktor yang terpenting menurut Murji’ah adalah soal kepercayaan hati. 
3)     Ahlusunnah Wal-Jamaah memilih sikap moderat. Amaliah bukanlah keniscayaan dalam menentukan status iman. Aliran ini menganggap bahwa seorang mukmin yang tidak melakukan amaliah adalah orang fasik, tapi tidak sampai menjadi kafir seperti tuduhan Khawarij. Dia hanya melakukan kemaksiatan sehingga dikategorikan fasik, namun imannya tidak sempurna sebagaimana pendapat Murji’ah.27
Jika ditelisik lebih dalam, pendapat Khawarij, Muktazilah, dan Muktazilah memang problematis, disamping tidak sejalan dengan tradisi ulama salaf, khususnya ahli hadits (muhadditsîn). Pendapat Muktazilah cenderung inkosisten, karena menempatkan orang yang tidak beramal dalam posisi yang tidak jelas, tanpa status pasti; antara iman dan kafir. Sementara Khawarij tampak sangat ekstrim, karena mereka menklaim kafir pada orang yang amalnya setengah-setengah. Sebaliknya, Murji’ah terlalu toleran dengan menganggap bahwa orang yang beramal dengan yang tidak beramal sama saja.28 
  
Problematika Hubungan Amal (Ibadah) dan Iman
Ibadah, yang dapat juga disebut sebagai ritus atau ritual, adalah bagian yang amat penting dari setiap agama. Sesuatu yang penting untuk diingat mengenai amal-ibadah ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang harus mengikuti petunjuk agama dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (al-Quran dan sunah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara dan pola mengerjakannya.
Berkenaan dengan hubungan antara amal-ibadah dan iman, pertanyaan seringkali timbul: Apakah orang tidak cukup dengan iman dan berbuat baik tanpa harus beramal-ibadah? Bahkan Einstein, ilmuan handal penemu teori relativitas gerak, pernah menyatakan bahwa ia percaya kepada Tuhan dan keharusan berbuat baik, tapi tidak merasa perlu-karena menganggap tidak ada gunannya-memasuki agama formal seperti Yahudi dan Kristen. Hal ini menunjukkan adanya kegamangan dan keraguan akan peran agama. Praktek ritua agama dinilai sebagian kalangan sebagai unsur-unsur seremonial belaka, dan tidak memiliki peran penting dalam membentuk karakter kepribadian seseorang. 
Kesempurnaan keimanan seseorang dalam pandangan Islam justru diukur dari kemantapan hati, ucapan, perbuatan, dan amal-ibadah. Kebaikan yang hakiki tidak dapat diraih tanpa panduan agama. Bahkan perintah beramal-ibadah merupakan motif utama penciptaan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt. surat al-Dzâriyât [57]: 56: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعدون“ [Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu]. 
Beriman (mempercayai) dalam arti membenarkan syariat Nabi Muhammad Saw. Adalah sesuatu yang esoteris (bathin) dan tidak dapat diketahui orang lain.29 Untuk mengetahuinya, diperlukan sarana yang membuatnya dapat diketahui, mula-mula dengan lisan selanjutnya dengan perbuatan. Penilaian hati lebih ditekankan pada unsur-unsur keakhiratan karena berada di luar batas nalar manusia. Sementara untuk kepentingan hukum duniawi, keimanan hati itu perlu diungkapkan dengan kalimat syahâdat. Karena itu, yang mengaku beriman dengan bersyahadat padahal hatinya tidak beriman, untuk kehidupan dunia ia disebut mukmin, tapi di sisi Allah Swt. yang berlaku adalah sebaliknya.
Untuk mendapat status mukmin sempurna, seseorang harus benar-benar meyakini dalam hati terhadap kebenaran Islam, kemudian mengikrarkan keyakinan itu dengan media syahadat, dan disempurnakan dengan amal perbuatan. Jika demikian adanya, maka orang tersebut dalam tataran hukum formal (duniawi) dianggap mukmin, dan di sisi Allah Swt-pun juga mukmin.30
Namun perlu diingat, ketika seseorang tidak mengatakan syahadat sebab beralasan (udzur), semisal bisu, atau tidak ada kesempatan karena terburu mati setelah sebelumnya percaya, atau kebetulan tidak mampu berkata-kata setelah beriman, maka orang-orang seperti ini tergolong mukmin dalam pandangan Allah Swt. dan termasuk selamat di akhiratnya. Berbeda dengan orang yang memang benar-benar tidak mau mengutarakan keimanannya sebab penginkaran, padahal telah diperintah bersyahadat, maka digolongkan kafir. Naudzu biLLah min dzalik. Golongan terakhir ini keyakinan hatinya  tidak dipersoalkan, dengan alasan syariat telah menetapkan bagi siapa yang menentang ajakan bersyahadat berarti hatinya hampa dari keimanan. Maka pantas disebut kafir.31
Dalam realitas hidup kekinian, bermunculan para pemikir kontemporer Islam yang mencoba menelaah kembali validitas ayat al-Quran dan hadits, utamanya yang bertalian dengan hukum yang dirasa menghalangi proses modernisasi, inklusifisme, pluralitas, egalitarianisme, dan isu-isu hangat lainnya. Mereka menolak al-Quran dan hadits didekati dai kerangka hukum formal, diposisikan sebagai kalam teosentris, apalagi dipahami secara tekstual. Mereka berupaya menalar semua pesan-pesan Tuhan dan Rasul-Nya dari sudut pandang kebutuhan manusia (antroposentris).
Karena itu perlu sekali pembentengam akidah, terutama dalam memahami kaidah iman dengan makna ayat-ayat al-Quran. Yang pasti, seseorang harus tunduk terhadap kandungan teks-teks yang jelas kehendak maknanya (nash qath’i), dan telah diyakini berasal Muhammad (hadits mutawatir).32 Juga larangan menjungkirbalikkan hukum, misalkan memanipulasi perintah shalat dengan menganggap shalat bukan sebuah kewajiban.33
Keimanan yang ideal akan melahirkan sikap berserah diri dengan setulus hati terhadap perintah Allah Swt. melalui Nabi Muhamad Saw.34 Pelaksanaan amal-ibadah –disamping karena didasari perintah Allah Swt. serta berbeda dengan sistem ilmu dan filsafat yang hanya berdimensi rasionalitas- selalu memiliki dimensi spiritual yang mengekpresikan sikap kepasrahan yang berada diluar batas nalar kemanusiaan. Tindakan-tindakan kebaktian itu tidak hanya meninggalkan dampak memperkuat rasa kepercayaan dan memberi kesadaran lebih tinggi tentang implikasi iman dalam perbuatan, tetapi juga menyediakan pengalaman keruhanian yang tidak kecil artinya bagi rasa kebahagian. 
Sistem amal-ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis sistem iman. Jika tidak dikehendaki iman menjadi rumusan-rumusan abstrak, tanpa kemampuan memberi dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan sejati, maka keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seseorang kepada pusat tujuan hidupnya, yaitu Allah Swt.
Islam sebagai ajaran menetapkan puncak ketekunan amal-ibadah dengan tekhnis ihsan. Seseorang yang berihsan dalam praktek ibadah keseharian itu terkandung keimanan dan keislaman yang menyebabkan konsentrasi beribadah, ikhlas menghadap Allah Swt.

IHSAN; Puncak Relasi Manusia dengan Tuhan
Telah disinggung bahwa ajaran Islam sarat dengan kepentingan ama-ibadah yang berujung pada tekhnis ihsan. Ditinjau dari sisi bahasa, ihsan berarti berbuat baik.  Sedangkan ihsan dipandang sebagai istilah -didefinisikan dalam sebuah hadits [Jibril]- adalah keadaan seseorang yang dalam beribadah kepada Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya (dengan mata hati). Jika tidak bisa melihat-Nya, maka ia yakin bahwa sesungguhnya Allah Swt. melihatnya. Dengan demikian, ihsan berarti suasana hati dan perilaku seseorang untuk senantiasa merasa dekat dengan Tuhan, sehingga tindakannya sesuai dengan aturan dan hukum Allah Swt.
            Pengertian ihsan dalam hadits di atas, ditarik makna-interpretatif oleh Jalal al-Din bahwa, ia adalah upaya merasa terhadap  Allah Swt. selalu mengawasi dalam setiap amal-ibadah yang mencakup iman dan islam, karena dengan tekhnis ibadah semacam itu kesempurnaan ibadah dapat diraih; ikhlas,35 konsen dan fokus.36
            Tersebab, manusia terhalang menyaksikan Allah kecuali dengan renungan nalar (kontemplasi) nya semata, maka keyakinan seseorang terhadap-Nya melalui tekhnis ihsan (meyakini bahwa Allah melihatnya) merupakan purna penyaksian (musyahadat) terhadap Wujud Hakiki (al-haq). Dalam tingkatan musyahadah, seseorang membayangkan selalu terawasi oleh Allah sehingga menimbulkan dorongan rasa malu jika melaksakan ibadah melalaikan Tuhannya, meskipun dalam hatinya masih belum sempurna meninggalkan unsur lain selain Allah Swt. Ini berbeda dalam praktek amal-ibadah seseorang yang meyakini seakan-akan Allah melihatnya.37 Yang didapatkan dengan cara ini, pelaksanaan amal-ibadah menjadi murni disematkan terhadap Tuhan, namun belum dapat menarik pengaruh (atsar) positif terhadap pelakunya.     
             Dalam khazanah ilmu sufi, ihsan dijadikan sebagai motto orang-orang dalam menempuh kehidupan tasawufnya. Tasawuf bertujuan mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhan melalui akidah (keimanan), pengamalan syari’at Islam, dan akhlak. Akhlak inilah yang menjadi prinsip utama ihsan. Seorang sufi setelah melalui makam-makam, seperti taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal, ridha, mahabah, dan makrifat, dapat melihat Tuhan dengan mata hati (sirri) yang terdapat dalam ruh atau kalbu. Karena itu untuk memperoleh ihsan, sebagaimana digambarkan dalam hadits RasuluLlah Saw. diperlukan usaha intensif lagi tidak mudah. Namun pada dasarnya manusia dengan sirri-nya dapat dekat sekali dengan Tuhan. Karena, Tuhan Yang Maha Suci hanya bisa didekati oleh ruh, kalbu atau sirri yang suci.38

            Derajat Keimanan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keimanan bisa mengalami peningkatan sekaligus pengurangan, meskipun masalah ini menjadi medan kontroversi para teolog. Tapi diakui atau tidak, hal itu telah menjadi kenyataan yang dapat kita saksikan secara riil. Seseorang yang dulu beribadah ala kadarnya, yang penting gugur kewajiban, tiba-tiba berubah menjadi tekun dan khusyu’ (fokus ibadah). Begitu pula sebaliknya, ada sebagian orang yang dulunya tekun dan rajin beribadah, kini mulai memudar semangatnya dan menganggap ibadah hanya sebagai ornamen pelengkap hidup saja.
Para teolog pun menempatkan standar mins-plusnya keimanan seseorang pada aspek ketaatan praktisnya.39 Jadi wajar bila para mutakallim (teolog) menklasifikasi kapasitas keimanan dalam lima hal berikut ini.40
1.      Tingkatan Awam, yaitu keimanan yang dihasilkan dengan cara mengambil keterangan (perkataan) seorang guru tanpa mengetahui dalil-dalilnya, atau biasa disebut taqlid.
2.      Tingkatan ashhab al-adillah, yakni seseorang yang keyakinannya dibangun atas dasar pengetahuan yang didapat dari penelisikan sebuah dalil-dalil yang mengukuhkan adanya Tuhan yang menciptakan.41
3.      Tingkatan ahl al-muraqabah, yaitu ukuran keimanan yang timbul atas ketajaman pengawasan mata hatinya terhadap keesaan dan kebesaran Allah Swt., dimana setiap kali berpikir tidak pernah luput merenungi nilai-nilai Tuhan, senantiasa merasa segala gerakannya adalah atas kontrol Allah Swt.
4.      Tingkatan musyâhadah, ialah keimanan yang diperoleh sebab penyaksian mata hatinya kepada Tuhan. 
5.      Tingkatan haqîqah, yakni keimanan yang berada pada posisi sudah tidak adanya hal lain kecuali Allah Swt. semata. Ini juga disebut maqam fana’ (posisi ketiadaan selain Allah Swt.),32 karena kelompok ini menganggap semuanya telah sirna kecuali Allah, sehingga yang ada hanya Dia semata. Inilah strata tertinggi yang mampu dicapai manusia. Namun di atas derajat ini masih terdapat strata lain yang lebih tinggi dan hanya dimiliki para Rasul. Akan tetapi, Allah Swt. tidak menunjukkan kepada kita tentang sarana menempuh derajat terakhir ini. 42
Demikian klasifikasi strata keimanan seorang mukmin. Yang harus dicatat, dari pembagian lima tingkatan tersebut yang menjadi kewajiban setiap orang mukallaf hanya tingkatan pertama dan kedua.43 Tapi, sebenarnya para teolog berbeda pendapat dalam mengabsahkan keimanan dengan cara taklid; 1). Menurut Ibn al-’Arabi dan al-Sanusi, keimanan dengan cara taklid belum dianggap cukup (sah), sehingga bagi muqallid (pelaku) dihukumi kafir; 2). Menyesuaikan kemampuan nalar orangnya; dengan menganggap sah bentuk keimanan dengan taklid, hanya saja bagi orang yang memiliki keahlian berpikir dihukumi berdosa; 3). Sah secara mutlak. Karenanya, menurut pendapat ini Studi Ilmu Kalam tidak ada kepentingan dalam akidah sekaligus menghukumi haram mempelajarinya.44[]   


1 Tentang perincian hal ini baca Muhammad Ibn Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisân al-‘Arab, Dâr Shadr, Beirut, cet I, tt, vol. XIII, h. 21.
2 Abu Manshur al-Maturidi ed. Fathullah Khulayf, al-Tawhid, Dar al-Jamiat al-Mishriyyah, Alexandria, vol. I, h. 377. 
3 Kejelasan tentang hal ini dapat dibaca dalam: Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, ed. Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi, Shahîh Muslim, Dâr Ihya al-Turâts al-‘Arabi, Beirut, vol. I, h. 37.
4 Para tokoh yang disebut di atas adalah ulama dibidang hadits dan ilmu hadits.
5 ________Syarh Aqîdah al-Thahawiyah, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, vol. I, h. 373-374.
6 Nama lengkapnya ialah Abu Manshur Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi al-Samarqandi (w. Samarkand, 333 H/944 M). Ia seorang mutakalim (ahli ilmu kalam/teolog muslim) yang telah banyak menghasilkan pemikiran mengenai masalah kalam. Pemikirannya banyak dianut oleh kaum muslimin yang dikenal dengan aliran Maturidiyah; aliran ini temasuk dalam kelompok Ahlussunah wal-Jamaah.  Abu Manshur al-Maturidi belajar ilmu pengetahuan pada paruh kedua abad ke-3 H. Pada saat itu terjadi pertentangan hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama karena pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi bermadzhab Hanafi. Lihat: Ensiklopedi Islam, pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, vol. Ketiga t. 1999, huruf “M” h. 206.
7 Syarh Aqîdah al-Thahawiyah, Loc. cit.
8 Semua pendapat yang diuraikan di muka masih berkisar pendapat-pendapat para teolog Ahlussunnah.
9 Q.S. Al-Mâidah: 41.
10 Q.S. AL-Hujurât: 14.
11 Abu Manshur al-Maturidi, ed. Fathullah Khulayf, Op. cit, h. 373 dst.
12 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Qawâ’id al-’Aqâid, h. 231-250.
13 Mereka adalah sebuah golongan yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka (ma’shiyah) tidak memberi pengaruh apapun apabila seseorang beriman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bila yang melakukan adalah orang kafir. Baca Syarif ‘Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rifât, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut, h. 208 silahkan di rujuk lebih lanjut pada bagian sejarah dalam buku ini.
14 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yoyakarta, h. 124.
15 Muhammad Ibn Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisân al-‘Arab, Dâr Shadr, Beirut, cet. I, tt, vol. XII, h. 293.
16 Sayid Husayn Afandi, Hushûn al-Hamîdiyah, al-Hidâyah, Surabaya, h. 8.
17 Ibid.
18 Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, Loc. cit.
19 Ibid.
20 Hadits tersebut didiriwayatkan oleh Muslim dari Umar ra. Lihat: dalam Yahya bin Syaraf al-Din al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawi, al-Hidayah, Surabaya, h. 16.
21 Zaynudian Abi Faraj Abdurahman ibn Syihabuddin al-Bahgdadi (Ibnu Rajab), Jami’ al-Ulûm wa al-Hikâm, Muasasah al-Risâlah, vol. I, h. 108.
22 Hadits tersebut disampaikan oleh sh. Umar bin Khatthab. Yahya bin Syarif al-Din al-Nawawi (w. 676 H.), Syarah al-’Arba’in al-Nawawiyyah fi al-Ahâdîts al-Shahihat al-Nabawiyyah, al-Hidayah, Surabaya, h. 8-9.  
23 Zaynudian Abi Faraj Abdurahman ibn Syihabuddin al-Bahgdadi (Ibnu Rajab), Jami’ al-Ulûm wa al-Hikâm, Muasasah al-Risâlah, vol.I, h. 98-99.
24 hadits ini tercatat dalam Musnad imam Ahmad. Menurut al-Haytsami dalam kitab al-Majma ’vol. I, h. 59,semua perawi hadits tersebut adalah tsiqât  (dapat dipercaya). Bisa anda lihat dalam: Ibid. h. 107.
25 Jamal al-Din Ahmad bin Muhammad, Kitab Ushûl al-Dîn, Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, Beirut, vol. I, h. 252.
26 Abu al-Hasan Asy’ari, al-Ibânah an Ushûl al-Diyânah, al-Jâmi’ah al-Islâmiyah, Madinah al-Munawwarah, cet. V, h. 59.
27 Ibnu Rajab, Op. cit. h. 115.
28 Di lingkungan ulama salaf sedikit ada perbedaan pandangan menyikapi persoalan di atas. Dari golongan pakar hadits, mayoritas berpendapat bahwa ritual-amal merupakan bagian iman. Lain dengan Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha. Mereka berpendapat, bahwa ritual-amal bukan pra-syarat iman. Namun perbedaan ini tidak begitu signifikan, karena keduanya sepakat bahwa status kafir hanya diperuntukkan bagi yang tidak percaya kebenaran RasuluLah. Kalau sekedar meninggalkan ritual-amal maka disebut fasik. Karena sekalipun mayoritas ahli hadits berpendapat ritual-amal bagian dari iman, namun dengan meninggalkannya tidak menjadikannya kafir, hanya kurang sempurna imannya. Dengan demikian, substansinya mereka tidak berbeda pendapat.

29 Di intern kaum Ahlusunnah Wal-Jamah, berselisih mengenai ikrar dengan lisan. Menurut teolog muhaqqiq  Asy’ariyah dan Maturidiyah, ikrar hanya sebagai syarat-sebagaimana amal-untuk menentukan status seorang yang berdampak pemberlakuan hukum duniawi. Ini menjadi perhatian karena mukmin dan kafir ketentuan hukum ketika di dunia dibedakan, misalkan hukum dibolehkan menikahi wanita muslim tapi tidak boleh menikahi wanita kafir. Sementara, Abu Hanifah dan kelompok Asy’ariyah, berpendapat itu termasuk bahan-bahan keimanan (rukun). Jadi menurut pendapat ini, seorang yang hatinya membenarkan namun tidak berkesempatan mengucapkan, baik hukum dunia atau akhirat tetap diklaim sebagai non-mukmin. Periksa: Syeh Ibrahim bin Muhammad , Tuhfah al-Murîd, al-Hidâyah, Surabaya, h. 30-31.
30 Syeh Muhammad  Amin al-Kurdi al-Irbili, Loc. cit.
31 Sayid Husain Afandi, Loc. cit
32 Mutawatir adalah sabda Nabi yang dikutip atau diceritakan orang banyak. Sehngga dengan banyaknya pengutip, tidak mungkin mereka bersekongkol untuk memalsukannya. Dalam disiplin ilmu hadits, bila ditinjau dari segi jumlah perawinya maka akan terbelah jadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits ahad ialah sabda Nabi yang diriwayatkan dari orang perorang yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Sedangkan mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan orang banyak pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat hadits sampai pada Nabi Muhammad  Saw), yang secara nalar dan wajar dapat dipastikan bahwa para periwayat hadist itu bersepakat untuk berdusta. Telaah kembali bidang ilmu Musthalah al-Hadits.
33 Sayid Husain Afandi, Loc. cit.
34 Ibid. H. 8.
35 Menurut Syeh Harist al-Muhasibi, ikhlas beramal tidak memasukkan perbuatan mubah. Mubah tidak terdapat unsur ibadah (qurbat) sama sekali disamping tidak membawa pengaruh untuk memancing berbuat ibadah. Dicontohkan memewahkan bangunan tempat tinggal tanpa tujuan positif. Begitu pun pada obyek hukum makruh dan haram. Sebagaimana seorang laki-laki yang melihat wanita lain (ajnabiyyah) dengan menduga perbuatannya ia lakukan dengan tujuan merenungi keindahan ciptaan Tuhan. Perbuatan semacam ini tidak dikategorikan ikhlas apalagi dikatakan sebagai bentuk ibadah. Seorang mushaddiqin, menurutnya, senantiasa berbuat untuk Tuhannya, baik dalam kesepian, keramaian, dan batin dan lahirnya. Makanya harus dibedakan antara bentuk ikhlas dan shidq. Keikhlasan mewujud dalam praktek ibadah dengan penuh ketaatan meskipun terkadang hatinya masih melalaikan Tuhannya. Sedangkan shidq merupakan tekhnis ibadah yang dilaksanakan dengan konsntrasi selalu menghadirkan Tuhan dalam hatinnya. Telisik dalam: Yahya bin Syarif al-Din al-Nawawi (w. 676 H.), Syarah al-’Arba’in al-Nawawiyyah fi al-Ahâdîts al-Shahihat al-Nabawiyyah, al-Hidayah, Surabaya, h. 8-9.
36 Syeh Muhammad  Amin al-Kurdi al-Irbili, Tanwîr al-Qulub, al-Hidayah, Surabaya, h. 86-87.
37 Ibid.
38 Abdul Karim al-Jilli (tokoh tasawuf) memasukan ihsan sebagai salah satu makam yang harus dilalui oleh calon sufi dalam mencapai derajat insan kamil (manusia sempurna). Setelah sampai pada derajat tersebut, calon sufi menempuh taraqqi (jalan naik) untuk memperoleh nur Muhamad, dengan melalui tiga tahap; yaitu bidayah (permulaan), tawasuth (pertengahan), dan khitâm (terakhir). Ensiklopedi Islam, Op. cit. vol. Kedua, h. 178-179.
39 Syeh Muhammad  Amin al-Kurdi al-Irbili, Op. cit. H. 83.
40 Syeh Ibrahim ibn Muhammad , Tuhfah al-Murîd, al-Hidâyah, Surabaya, h. 27.
41 Untuk tingkatan pertama dan kedua, ini masih terhalang untuk dapat menyaksikan (musyahadat) terhadap Allah Swt. Lihat dalam: Abu Abd al-Mu’thi Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kâsyifat al-Sajâ, al-Hidayah, Surabaya, h. 8.
32 Sedangkan makam fana terbagi lagi menjadi tiga tingkatan: fana’ dzat, fana’ shifat, dan fana’ af’al. Dalam kitab Kasifat al-Saja’, diterangkan bahwa tingkatan fana adalah pengetahuan-pengetahuan ketuhanan yang diberikan tidak pada sembarang orang. Hanya mereka yang mendapat keistimewaan oleh untuk diberinya. Baca: Abi Abdul Mukti Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kasifat al-Saja, al-Hidayah, Surabaya, h. 9.
42 Tapi menurut syeh al-Kurdi, klasifikasi iman cukup dibagi empat tingkatan: 1) Munafik, yakni keimanan dengan lisan padahal hatinya inkar. Mereka adalah orang munafik yang memanfaatkan status keimanan untuk dapat perlindungan duniawi semata, baik harta, nyawa dan lainnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, sekecil semut di atas batu hitam pada malam hari-pun. Padahal balasan di akhirat bagi orang-orang yang berbuat demikian telah dinyatakan: “sesungguhnya orang-orang munafik akan berada didasar paling rendah neraka ; 2) Awam, ialah tingkatan iman yang melekat dalam hati juga mengucapkannya dengan lisan. Hanya saja, mereka tidak berperilaku sebagaimana orang beriman. Mereka menanam biji keimanan akan tetapi tidak pernah kelihatan memetik buahnya. Justru yang tampak mereka terkesan lebih berani menentang dan tidak mempedulikan ajaran syari’at; 3) Muqarrabîn, ialah tingkatan iman yang memang benar-benar melekat dalam hati. Orang yang berada pada tingkatan ini, membayangkan bahwa segala sesuatu bisa terjadi atas kontrol Kuasa Tuhan. Sehingga, keyakinanannya mengajak pribadinya tidak mau meminta perlindungan selain kepada-Nya. Semua ciptaan tidak ada yang mampu mengendalikan diri manusia, baik dalam rangka mencari keuntungan atau melepaskan kebahayaan; 4) Ahli Fana’, adalah strata keimanan bagi orang-orang yang telah berhasil sirna (flaying) dalam musyâhadah-nya kepada Allah Swt. Gambaran iman dalam tingkatan fana’, dapat terlihat dalam impian dan renungan seorang Abdus Salam: “Seandainya Allah menenggelamkanku dalam sumber lautan tauhid-Nya, sehingga aku tidak bisa melihat, tidak mendengar, tidak dapat menemui, dan tidak merasakan kecuali lautan tauhid-Nya. Wahai Allah! Satukan aku dengan-Mu, jauhkan diriku dari rintangan yang menjauhkan aku dengan-Mu ”.
43 Abu Abd al-Mu’thi Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kâsyifat al-Sajâ, al-Hidayah, Surabaya, h. 8.
44 Ibrahim bin al-Bayjuri, Kifayat al-’Awam, Mutiara Ilmu, Surabaya, h. 17-18.


.

PALING DIMINATI

Back To Top