Bismillahirrohmaanirrohiim

Catatan Skenario Tuhan : Selayang pandang tentang qadha dan qadar

Secara leksikal, qadha berarti keputusan segala sesuatu. Kemudian diredefinisikan menjadi sebuah keputusan Allah yang tercatat di zaman azali.1 Sedangkan qadar adalah perwujudan (manifestasi) dari qadha. Misalkan dalam catatan (qadha), Allah berhendak si Helina sebagai orang pintar atau sebagai penguasa, maka yang demikian itu dinamakan qadha. Sedangkan realitas hidup si Helina menjadi orang yang pandai atau menjadi penguasa itu yang disebut qadar (takdir). Dalam sebuah hadits Nabi dinyatakan:2
كتب الله مقادير الخلائق قبل ان يخلق السموات والارض بخمسين الف سنة
“Allah mencatat takdir-takdir makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi dengan selisih lima puluh ribu tahun”.
Ibarat seorang sutradara yang menghendaki agar seorang aktor atau aktris menjadi seorang penjahat atau menjadi seorang polisi dalam sebuah sinetron, maka yang seperti inilah dinamakan qadha sedangkan ketika para aktor dan aktris memainkan peran yang telah ditentukan oleh sutradara itulah yang dinamakan qadar.
Menurut al-Ghazali, tidaklah akan terjadi pada alam nyata dan alam gaib, sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau jelek, manfaat atau madharat, iman atau kufur, pandai atau bodoh, beruntung atau rugi, bertambah atau berkurang, taat atau maksiat, kecuali dengan qadha atau qadar Allah SWT. hal tersebut karena hidup dan kehidupan manusia itu telah ditentukan Allah sejak azali dan ia hanya tinggal menjalaninya saja.3
Dalam pandangan sekte Asy‘ariyyah, Allah itu berkuasa dan berkehendak secara mutlak. Seluruh alam semesta berada dibawah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Manusia yang merupakan bagian dari alam ini juga berada dibawah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Bagi Asy‘ariyyah qadha adalah ketentuan Allah yang didalamnya terdapat iaradah-Nya untuk segala makhluk. Sedangkan qadar merupakan perwujudan (manifestasi) dari ketentuan yang ada yang takakan berubah sedikitpun. Karena qadha, maka kehidupan manusia pada dasarnya adalah realisasi dari apa yang telah digariskan oleh Allah pada zaman azali (sejak permulaan zaman), baik kehidupan yang menyangkut hal-hal yang baik maupun hal-hal jelek, beruntung atau rugi, senang atau menderita dlsb. Semua akan dijalani manusia sejak dia lahir sampai tutup usia.4
Dalam lingkungan Islam Liberal, bencana dianggap bukan dan mustahil dilakukan Tuhan. Sebab, (menurut Ulil Abshar) Tuhan tidak mungkin berbuat ganas dan buas. Jadi dalam Tsunami itu tak lebih dari peristiwa alam misteri, tuturnya. Tapi ironisnya ia menghimbau bahwa ada saat kita harus berdiam diri menyerahkan sesuatu terhadap misteri yang tidak butuh jawaban.
Pandangan seperti itu tidak beda -selaras- dengan sekte Mu‘tazilah yang meyakini bahwa sudah seharusnya Allah Swt. hanya memberi yang terbaik saja. Pendapat golongan Mu‘tazilah ini akan nampak sekali kekeliruannya apabila kita melihat ada anak kecil yang sakit atau ada orang yang mendapat musibah, bukankah sakit dan musibah itu semua juga berada dibawah kehendak Allah? jika saja Allah harus memberikan hal-hal yang baik saja kepada hambanya maka sakit dan musibah tidak akan terjadi kepada hamba-nya. Lantas bagaimana mungkin Allah meninggalkan sebuah kewajiban-Nya (memberikan hal yang baik kepada hambanya) sebagai Tuhan. Bukankah meninggalkan kewajiban itu adalah sebuah aib dan cacat? padahal tidak mungkin Allah memiliki sifat aib dan cacat.5
Selanjutnya, sebagai seorang muslim wajib mempercayai apa yang dilakukannya semuanya berdasarkan kendali (iradah) Allah Swt. yang telah diputuskan sejak zaman azali. Entah dilakukan dalam ketidaksadaran, seperti gerakan reflekektif saat menghindar atau yang dilakukan di bawah alam sadar seperti makan dan berjalan.6 Bahkan keyakinan ini sangat fundamen dalam keimanan umat muslim, karena termasuk salah satu obyek keyakinan (rukun iman) yang harus diimani.
Jika Allah adalah dzat yang menciptakan semua perbuatan baik dan buruk seorang hamba, apakah seorang hamba dalam hal ini tidak dalam keadaan terpaksa ? Bukankah orang yang dalam kedaan terpaksa tidak berhak mendapatkan pahala atau dosa ? Dalam hal ini seorang hamba sama sekali tidak dalam keadaan terpaksa. Karena Allah telah membekali kepada tiap-tiap hamba-Nya dengan akal yang bisa digunakan untuk membedakan hal yang baik dan hal yang buruk. Disamping itu seorang hamba juga diberi sifat kemampuan (iradah) yang bisa dia gunakan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Walhasil tidak ada alasan bagi seseorang yang melakukan perbuatan maksiat untuk berkata “ini semua sudah ditakdirkan oleh Allah, aku tinggal menjalaninya saja”. Bukti konkret bahwa seorang hamba tidak dalam keadaan terpaksa adalah ketika seorang hamba yang melakukan perbuatan dalam keadaan sadar (semisal menulis) maka dia akan berkata “aku menulis atas dasar kemauanku sendiri”. Sedangkan ketika seorang hamba melakukan perbuatan yang tidak disadarinya (semisal terjatuh), maka dia akan berkata “aku melakukannya tanpa kesengajaanku.”7
Untuk membuktikan bahwa semua yang terjadi di dunia ini berdasarkan takdir dari Allah, marilah kita lakukan percobaan yang digagas oleh ahli fisika Jerman Dr. Thomas Von Randow. Ambil sebiji kacang tanah, kacang panjang, atau biji kentang yang sudah mulai bertunas, masukkan kedalam pot yang sudah diberi tanah dan basah. Buatlah sebuah bentuk dua sekat di dalam kardus. Sekat pertama memberi ruang sedikit dibawah, sedang sekat yang kedua lubangnya di atas, jadi membentuk jalur zig-zag. Kemudian berilah sebuah lubang kecil di sisi kardus sebelah kiri sebagai tempat masuknya cahaya. Letakkan pot yang berisi tunas tadi di pojok di sisi sebelah kanan, lalu biarkan beberapa hari. Dan amati saat tunas itu telah memanjang. Ia akan keluar dari lubang tersebut, sedang bentuk tunas akan terlihat melengkung. Mengapa bisa demikian ?. jawabannya ya, tentu saja sebab setiap makhluk hidup pasti akan menjalani suratan takdirnya; mencari cahaya sebagi sumber kehidupannya. Tunas yang sekarang sudah berbentuk tumbuhan, dia tumbuh dengan mengikuti arah cahaya dimata cahaya itu masuk. Inilah hukum alam yang tak terbantahkan. Direkayasa seperti apapun biji tunas tadi, maka dia tetap akan mencari sumber cahaya.
Walhasil qadha adalah ketentuan Allah yang didalamnya terdapat Iradah-nya untuk semua makhluk. Sedangkan qadar adalah perwujudan dari ketentuan yang ada, yang tak akan ada berkurang dan berubahnya sedikitpun. Karena qadha, maka kehidupan manusia pada dasarnya adalah realisasi dari apa yang telah digariskan oleh Allah pada zaman azali (sejak permulaan zaman). Baik kehidupan yang menyangkut hal-hal yang baik atau buruk. Semua akan dijalani oleh manusia sejak ia lahir sampai menghembuskan nafas terakhirnya.8 []

Paham Jabariyyah dan Qadariyyah
Qadariyyah adalah suatu paham yang tidak mengakui adanya qadar bagi Allah Swt. Menurut aliran ini manusia adalah pencipta bagi segala perbuatan dan murni berasal dari dirinya sendiri. Manusia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Golongan ini dinamakan qadariyyah karena mereka meniadakan qadar bagi Allah Swt. dan menetapkannya pada manusia serta menjadikan semua perbuatan manusia tergantung pada kehendak dan kekuasaannya sendiri.
Tokoh paham qadariyah adalah Ma’bah al-Juhani (W. 80 H) dan Ghailan al-Dimasyqi. Menurut Ibnu Nabathah,9 orang yang mula-mula mengembangkan paham qadariyyah adalah seorang penduduk Irak. Pada mulanya dia adalah seorang Nasrani, kemudian masuk islam dan akhirnya kembali nasrani lagi. Dari orang inilah Ma’bah al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi mengambil paham qadariyah. Ma’bah al-Juhani adalah seorang tabi’in yang pernah berguru kepada Wasil bin Atha (imam Muktazilah) dan Hasan al-Basri (ahli fiqh dan hadits pada periode tabi’in) di Basra. Selanjutnya Ma’bah al-Juhani dihukum mati karena membawa paham kadariyah ini. Namun ajarannya tentang qadariyah tetap berkembang di dunia islam. Adapun Ghailan al-Dimsyaqi adalah seorang putra pegawai pada masa khalifah Usman bin Affan. Selanjutnya dia juga dihukum mati oleh khalifah Hisyam bin Abd Malik karena mnganut paham qadariyah.
Adapun pengertian qadariyah menurut muktazilah adalah bahwa semua perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, bukan oleh Allah Swt. Allah Swt. sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan perbuatan dan pekerjaan manusia dan apa yang dilakukan oleh manusia tidak diketahui oleh Allah Swt. sebelumnya. Akan tetapi setelah manusia melakukan sebuah pekerjaan barulah diketahui oleh Allah Swt. oleh karena itu pada saat sekarang Allah Swt. tidak bekerja lagi karena kodratnya telah diberikan kepada manusia dan Allah Swt. hanya melihat dan memperhatikan saja apa yang dilakukan oleh manusia. Jika manusia mengerjakan amal yang baik maka akan diberi pahala sebagai imbalan yang diberikan oleh Allah Swt. kepadanya karena dia telah memakai kodrat yang diberikan oleh Allah Swt. dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya jika manusia tidak menggunakan kodratnya dengan sebaik-baiknya maka Allah Swt. akan menghukumnya menurut yang semestinya.
Golongan qadariyah dalam memperkuat keyakinan dan pahamnya menggunakan dalil naqli (al-Qur'an dan hadits) serta dali aqli (akal/rasio). Diantara dalil aqli yang mereka ajukan adalah; jika perbuatan manusia diciptakan oleh Allah Swt. mengapa manusia diberi pahala jika berbuat baik dan diberi dosa jika berbuat durhaka. Bukankah yang menciptakan semua perbuatan itu adalah Allah sendiri ? jika demikian halnya berarti Allah Swt. tidak berlaku adil terhadap manusia. Sedangkan dalail naqli, mereka mengajukan diantaranya; “…sesungguhnya Allah Swt. tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (Qs. 13: 11). Dengan ayat ini golongan qadariyah berkeyakinan bahwa Allah Swt. tidak mempunyai andil dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Dalil naqli yang lain adalah: “dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan mengenahi dirinya, kemudian dia minta ampun kepada Allah, niscaya dia akan mendapati Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. 4: 110). Dengan ayat ini golongan qadariyah berkeyakinan bahwa manusialah yang berbuat dosa, bukan Allah. Karena itu pula dialah yang harus meminta ampun kepada Allah Swt. Jika saja Allah yang membuat dosa bagi hambanya maka tentu saja Allah menganiaya hambanya sendiri, dan ini adalah suatu yang mustahil jika Allah melakukan perbuatan aniaya (zhalim) kepada hambanya.
Dalil-dalil aqli dan naqli inilah yang dipakai oleh qadariyah sebagai acuan bahwa manusia sendirilah yang melakukan dan menciptakan perbuatan yang mereka lakukan. Maka jika decermati lebih dalam paham yang seperti ini tidaklah beda dengan paham muktazilah. Hanya ada beda tipis diantara keduanya. Menurut muktazilah perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia itu berasal dari Allah, sedangkan perbuatan yang buruk itu timbul dari diri manusia itu sendiri. Sedangkan menurut paham qadariyah semua perbuatan manusia yang baik atau yang buruk berasal dari manusia.
Berdasarkan catatan sejarah, paham qadariyah pada hakikatnya adalah sebagian dari paham muktazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang muktazilah. Betul..?10

Sedangkan paham jabariyah adalah suatu paham yang beranggapan bahwa manusia itu didalam perbuatannya serba terpaksa (majbur). Artinya, semua perbuatan manusia itu pada hakikatnya adalah perbuatan Allah Swt.
Menurut catatan sejarah paham jabariyah muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama mulai membicarakan masalah qadar serta masalah kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kemahakuasaan dan kehendak mutlak tuhan.
Sebagaimana diketahui, sudah menjadi keyakinan umat islam bahwa Allah lah yang menciptakan segala sesuatu termasuk didalamnya pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Disamping itu Allah Swt. juga berkehendak secara mutlak. Dari situlah muncul beberapa. Sejauh manakah manusia bergantung kepada kemahakuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Apakah manusia itu memiliki peranan dan kebebasan dalam mengatur segala gerak-gerik hidupnya ataukah manusia itu sepenuhnya terikat dan tunduk kepada kehendak mutlak tuhan ?
Menanggapi pertanyaan seperti diatas sebagian ulama kalam ada yang berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya manusia itu terikat dan tunduk kepada kemahakuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan demikian, menurut pandangan mereka, manusia itu serba terpaksa oleh kemahakuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Manusia sama sekali tidak mempunyai daya, melainkan serba terpaksa dalam perbuatannya. Di dalam paham ini manusia tak ubahnya seperti bulu yang tertiup angin, atau seperti lagu yang dipopulerkan oleh grup band Mr. Big “going where the wind blows.” Aliran yang seperti inilah yang didalam ilmu kalam dinamakan dengan aliran jabariyah.
Kebanyakan ahli sejarah menyatakan bahwa aliran jabariyah pertama kali dikenalkan oleh orang yahudi. Adapun orang islam yang pertama kali memperkenalkannya adalah Ja’ad bin Dirham. Paham ini kemudian diterima dan disebarluaskan oleh Jahm bin Sofwan. Tokoh yang disebut terakhir inilah yang oleh para ahli dipandang sebagai tokoh pendiri aliran jabariyah yang sesungguhnya, sehingga aliran ini juga sering disebut aliran jamhiyah.
Paham jabariyah juga memakai beberapa ayat al-Qur'an sebagai pegangan mereka. Diantaranya; “padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (al-Shaffat ayat 96) juga ayat: “maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar…” (QS. 8: 17).11

Sedangkan bagi Asy’ariyah Allah tetap diposisikan sebagai pencipta semua pekerjaan yang dilakukan manusia. Walaupun asy’ariyah mengakui kalau manusia itu memiliki daya dalam mewujudkan pekerjaan yang dia lakukan. Hanya saja daya itu tidak efektif. Dengan demikian manusia tetap memiliki peranan yang aktif dalam pekerjaan yang dilakukannya. Dengan kata lain manusia memiliki andil dan hak dalam melakukan perbuatannya 12.[]

Klasifikasi takdir
Takdir ada empat macam 13. 1). Takdir fi ilm Allah. Yaitu segala takdir yang hanya diketahui oleh Allah Swt. sejak zaman azali. Dengan macam pertama inilah yang dinamakan orang yang beruntung adalah orang yang sudah diketahui oleh Allah sejak zaman azali bahwa dia besok akan mati dalam keadaan Islam walaupun sebelum mati dia adalah orang kafir. Sebaliknya, orang yang celaka adalah orang yang sudah diketahui oleh Allah sejak zaman azali bahwa dia besok akan mati dalam keadaan kafir, walaupun sebelumnya dia seorang muslim14. Dari macam takdir yang pertama ini juga seseorang tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain. Karena baik dan buruk, beruntung dan celakanya seseorang itu hanya Allah yang tahu. Firman Allah Swt. dalam……
يؤفك عنه من افك
2). Takdir fi al-lawh al-mahfuzh. Takdir macam inilah yang bisa berubah. Firman Allah Swt:
يمحوا الله ما يشاء ويثــــبت وعنده ام الكتاب
Dalam sebuah hadits diceritakan, Ibn Umar pernah berdoa: “ya, Allah jika engkau mentakdirkan aku sebagai orang yang celaka, hapuslah takdir itu, dan takdirkanlah aku sebagai orang yang beruntung.” 3). Takdir fi al-Rohmi (kandungan). Yaitu takdir yang ditulis oleh para malaikat pada waktu manusia masih berada didalam kandungan. Yaitu takdir yang meliputi rizqi, ajal (umur), beruntung dan rugi. 4). Takdir. Yaitu perwujudan dari apa saja yang sudah ditentukan Allah Swt. dizaman azali. Bahwa baik dan buruk, beruntung dan rugi itu telah ditentukan oleh Allah Swt. dan akan berjalan sesuai dengan derajat yang telah ditentukan oleh Allah Swt. pula.  

Usaha yang dilakukan manusia dalam kaitannya dengan qadha dan qadar
Sebagai seorang muslim wajib hukumnya mengimani (meyakini) bahwa semua yang terjadi didunia ini adalah berdasarkan kehendak dan takdir Allah Swt. Semuanya telah tercatat dan tertulis, serta tidak dapat diragukan lagi, sebagaimana telah diterangkan dalam ayat-ayat al-Qur'an. Kita tidak dapat mengetahui bagaimana cara penulisannya, dan dengan bagaimana cara menulisnya itu. Yang harus diyakini dan diimani adalah bahwa semua yang telah diciptakan oleh Allah Swt; alam beserta isinya, semua itu berjalan sesuai dengan derajatnya. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Hadid ayat 22:
ما اصاب من مصيبة فى الارض ولافى انفسكم الا فى كتاب من قبل ان نبرأها ان ذلك على الله يسير   
“tiada suatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidaak pula) kepada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh al-mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah Swt.”
Segala usaha yang dilakukan manusia untuk mencapai sesuatu yang diinginkan atau mencegah sesuatu yang dibenci tidaklah bertentangan dengan percaya terhadap qadha dan qadar bahwa semuanya telah digariskan (ditakdirkan) oleh Allah Swt. Sebab Allah Swt. telah menetapkan segala sesuatu dan menetapkan juga sebab-sebabnya. Allah Swt. tidak hanya menetapkan hasil yang akan dicapai manusia tetapi ditetapkannya juga hal-hal yang menyebabkan keberhasilnya. Misalnya kerajinan, ketelitian, kesabaran dlsb. Semuanya ditetapkan oleh takdir.
Ketika Rasululloh ditanya mengenai obat yang bisa menyembuhkan dan hal-hal yang mencegah perkara-perkara yang buruk, apakah semua itu dapat menolak apa yang telah ditakdirkan oleh Allah? Rasul menjawab “hal itu termasuk takdir pula.”
Qadha dan qadar adalah sesuatu yang gaib dan tersembunyi bagi manusia. Manusia tidak bisa mengetahui bahwa hal itu adalah qadha dan qadar, kecuali setelah terjadi. Sebelum terjadi, manusia diperintahkan untuk melakukan hal-hal yang bisa membawa kebaikan di dunia dan di akhirat sesuai dengan petunjuk agama. Manusia harus mengerjakan hal-hal yang membawa atau menyebabkan keberhasilan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang paling kuat imannya kepada qadha dan qadar, yaitu rasululloh Saw.
Bukti kuatnya keimanan seseorang terhadap qadha dan qadar adalah perjuangannya yang hebat, yang penuh harapan atas pertolongan Allah, kemauannya yang keras, keberaniannya dalam menghadapi bahaya, dan kesabarannya dalam menghadapi keadaan yang sulit. Orang yang kuat kepercayaannya terhadap qadha dan qadar, ditengah perjuangannya dia akan berkata dengan penuh kesadaran, “jika kami berada dirumah kami, tentu kami akan mengalami nasib yang sama dengan orang yang ada dimedan peperangan (bertempur) bila kami ditakdirkan mati.” Dan ditengah-tengah penderitaan akan suatu musibah, dia akan berkata, “ini adalah takdir Allah.” sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat ali imran ayat 154:
قل لو كنتم فى بيوتكم لبرز الذين كتب عليهم القتل الى مضاجعهم
“….katakanlah (wahai Nabi), “Sekiranya kamu berada dirumah kamu, niscaya orang-orang yang ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ketempat mereka terbunuh….”15
Sebaliknya orang yang lemah keimanannya, dia akan memakai dalil qadha dan qadar untuk bermalas-malasan dan meninggalkan usaha yang seharusnya dia lakukan. Terkadang, orang ketika melakukan perbuatan dosa dia beralasan “semua yang dilakukannya adalah sudah ditakdirkan oleh Allah”. Bahkan ketika besok dia disiksa diakhirat dia berucap “wahai tuhanku mengapa engkau menyiksaku, bukankah semua perbuatan dosa yang aku lakukan adalah atas kehendakmu juga?”. Menghadapi orang tipe seperti ini memang gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena dia termasuk orang bodoh yang suka membuat-buat alasan. Dikatakan sulit karena terkadang sepintas kalau difikirkan apa yang dia jadikan alasan seakan-akan benar. Alasan semacam itu sebenarnya tak jauh beda dengan orang yang memukul kepala orang lain, kemudian dia beralasan “aku sama sekali tidak bermaksud memukul kepalamu, aku hanya ingin mengusir lalat yang telah dengan berani-beraninya menginja-injak kepalamu”. Bisakah alasan seperti ini diterima?. Jawabannya tentu saja sangat jauh untuk bisa diterima.16 Ada juga orang yang tidak mau dan bermalas-malasan melakukan usaha (bekerja), lalu dia beralasan “bukankah semua sudah ditakdirkan Allah, bukankah kaya dan miskin sudah pula ditakdirkan. Jika Allah menghendaki aku miskin buat apa aku bersusah payah bekerja, dan jika Allah mentakdirkan aku kaya buat apa aku harus bekerja. Jika rizki itu sudah ditakdirkan oleh Allah menjadi milikku, pasti akan datang juga”. Alasan orang tipe semacam ini sama sekali tidak bisa diterima. Karena didunia ini tidak ada satupun orang yang mengetahui rahasia Tuhan. Nabi Muhammad sendiri tidak tahu kapan hari kiamat akan datang. Sehingga bagaimana mungkin dia tahu dia ditakdirkan oleh Allah sebagai orang kaya, atau miskin, padahal dia belum berusaha.17 []

Doa sebagai usaha (jalan) lain manusia
Berdoa merupakan salah satu upaya manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Menurut pendapat mayoritas ulama berdoa hukumnya sunnah. Sebagai makhluk yang lemah dan tempat segala kekurangan manusia sering merasa tidak mampu menghadapi kesulitan-kesulitan didalam hidupnya. Sehingga dia akan mencari pertolongan dengan memanjatkan doa kepada dzat yang diyakininya memiliki kekuatan dan kekuasaan yang absolut. Dalam konteks seperti inilah doa menjadi kebutuhan manusia. Rasulullah sendiri sangat menganjurkan umatnya agar senantiasa berdo’a dan memperbanyaknya. Sabda beliau :
الدعاء سلاح المؤمن وعماد الدين ونور السموات والارض
الدعاء هو العبادة
Artinya :  “doa adalah senjata orang mukmin, sebagai pilar (tiang) agama dan cahaya langit dan bumi”. “doa adalah ibadah”
Dalam beberapa ayat al-Qur'an Allah SWT. memerintahkan untuk berdoa dan berjanji akan mengabulkannya. Diantaranya surat Ghafir ayat 60 dan surat al-Baqarah ayat 18:
قال ربكم ادعونى استجب لكم
واذا سألك عبادى عنى فانى قريب اجيب دعوة الداع اذا دعان
Permasalahnnya adalah, jika Allah memerintahkan kepada hambanya untuk berdoa dan berjanji akan mengabulkannya, lalu bukankah semuanya telah ditakdirkan oleh Allah jua ? Memang benar, pada dasarnya semua hal telah digariskan oleh Allah SWT. sejak zaman azali, namun apa yang telah digariskan oleh Allah itu masih bersifat ta’liq (belum keputusan final) dan sewaktu-waktu masih bisa berubah dan bisa dihapus, sebagaimana firman Allah : yamhu Allah ma yasya’. Dengan kata lain semua yang sudah ditulis oleh Allah di lauh al-mahfudz masih di gantungkan (ta’liq) terhadap beberapa persyaratan.18 Rasulullah SAW. bersabda :
لايرد القدر الا الدعاء ولايزيد فى العمر الاالبر فان الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه
Artinya : tidak bisa menolak (merubah) qadar kecuali do’a. dan tidak bisa menambah umur kecuali perbuatan baik. Karena sesungguhnya seorang lelaki akan terhalangi rizqinya keran perbuatan dosa yang dia lakukan.
Jika qadha Allah masih bisa berubah dengan doa, sedangkan Allah telah berjanji akan mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan hambanya, maka bukan hanya usaha secara dzahir saja yang dilakukan tetapi juga harus disertai dengan doa. seperti pepatah kuno dari yunani “ora et labora”.

Dalam kehidupan sehari-hari orang terkadang merasa setelah sekian lama berdoa tetapi mengapa doanya tidak dikabulkan oleh Allah ?. Menghadapi fenomena seperti ini, pertama-tama yang harus diyakini adalah Allah itu maha sempurna dan tak mungkin mengingkari janjinya. Sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 9 :
ان الله لا يخلف الميعاد
“Allah tidak akan mengingkari janjinya”.
Dengan memegang ayat diatas, seorang hamba harus meyakini bahwa doanya pasti akan dikabulkan oleh Allah. Dengan demikian seorang hamba tidak akan merasa doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Jika ternyata selama ini doa yang dipanjatkan belum kelihatan hasilnya, maka bisa jadi doa itu baru akan dikabulkan oleh Allah seminggu, sebulan, atau setahun kemudian. Bahkan mungkin baru akan dikabulkan besuk di akhirat. Karena anugrah yang diberikan oleh Allah di akhirat sebagian adalah balasan amal, sebagian lagi adalah berkah doa dan murni pemberian Allah. Atau bisa jadi juga hamba itu sendiri yang tidak tahu bahwa kebaikan yang dia terima selama ini adalah berkah dari doa yang dia panjatkan. Semisal orang yang berdoa memohon rizqi, lalu datanglah tetangganya membawa makanan untuknya. Dengan demikian berarti Allah tidak mengabulkan doa yang telah dipanjatkan hambanya, melainkan karena hamba itu sendiri yang tidak mengetahui kapan dan bagaimana Allah meluluskan sebuah doa. Atau bisa jadi, mungkin Allah memang sama sekali tidak mengabulkan doa hambanya. Karena berdoa itu berbeda dengan sekedar memohon. Didalam berdoa itu terdapat beberapa etika dan syarat agar doa di kabulkan oleh Allah.19[]

Meramal sebagai upaya membocorkan rahasia Tuhan
Didunia ini ada tiga hal yang menjadi rahasia Tuhan dan tidak ada satu pun manusia yang mengetahuinya, yaitu umur, rizqi, dan jodoh. Dalam kehidupan sehari-hari orang biasanya mengungkapkan kata qadar dengan takdir, nasib atau suratan hidup. Sehingga jika ada orang yang merasa umur, rizqi atau jodohnya tidak seperti yang dia inginkan maka dia akan berujar “ya, memang sudah takdir mau gimana.”
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang ada orang yang bisa mengatakan sesuatu yang belum terjadi dan terbukti kebenarannya. Hal seperti itu tentu saja memancing orang lain untuk mempercayai apa saja yang nanti akan dikatakannya. Orang lantas menamakan orang yang bisa melakukan hal seperti itu dengan paranormal atau orang pintar. Fenomena seperti itu bukanlah hal baru bahkan sudah ada sejak zaman Rasululloh Saw. Untuk bisa melakukan hal seperti itu tidaklah sulit. Cukup dengan mempelajari dan menghapalkan beberapa rumus maka seseorang sudah bisa menebak dan meramal jodoh, rejeki atau nasib orang lain. Bisa dengan memanfaatkan rasi bintang, shio, tanggal kelahiran dlsb. Masalahnya adalah mengapa yang dikatakan oleh paranormal itu terbukti kebenarannya?. Sebenarnya, jangankan seseorang yang sudah mempelajari dan menghapalkan rumus-rumus perbintangan, siapa saja pasti juga pernah mengatakan sesuatu yang belum terjadi dan terbukti kebenaranya.
Dikisahkan dalam sebuah hadits, sahabat Unas bertanya kepada Rasul Saw. tentang peramal. Rasul menjawab: jangan kau anggap. Sahabat Unas berkata: wahai Rasul sesungguhnya peramal itu telah mengatakan sesuatu (yang belum terjadi) kepada kami dan terbukti kebenarannya. Rasul berkata: sesunggnya perkataan itu termasuk sesuatu yang haq (benar), yang dibisikkan oleh jin ditelinga orang-orang yang menjadi bolo plek mereka. Lalu oleh para peramal bisikan jin itu dicampur dengan seratus kebohongan.
Didalam hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan diceritakan oleh ‘Aisyah, Rasul berkata: sesunguhnya para malaikat itu sedang berada disebuah tempat yang bernama al-‘annan. Yaitu sebuah tempat yang berada dibawah langit dan berbentuk awan putih. Para malaikat itu saling memperbincangkan tentang apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah Swt tentang segala sesuatu yang akan terjadi didunia. Disaat itulah syetan menguping (mencuri dengar) pembicaraan para malaikat. Lalu apa yang didengar oleh syetan itu dibisikkan ditelinga para peramal. Selanjutnya kabar dari syetan tadi dicampur dengan seratus kebohongan oleh para peramal.20  
            Oleh karena itu jika ada orang yang mengatakan sesuatu dan terbukti kebenarannya, maka sebenarnya itu hanyalah faktor kebetulan saja. Sebenarnya jika diteliti dan dicermati lebih dalam maka akan ditemukan lebih banyak salah dan melesetnya. Jika begitu kenyataannya maka adalah salah besar jika seseorang percaya terhadap ramalan. Bukankah Rasul pernah mengatakan: barang siapa yang meng-iya-kan (mempercayai) perkataan para dukun peramal sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari ?


1 Azali adalah tidak berawal atau tidak mempunyai permulaan; biasa digunakan dalam teologi dan filsafat. Ensiklopedi Islam Juz I h. 196. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1997
2 jalaludin abdurrahman bin abi bakar al-suyuthi. Al-Jami’ al-Shaghir juz II h. 90 al-Hidayah surabaya
3 idem ensiklopedi islam juz 5 h. 46.
4 ensiklopedi islam juz 5 h. 46.
5 Muhammad al-Fudhali Kifayah al-awam H. 65-66 Dar al-Kitab al-Islami Beirut Lebanon.
6 Thahir bin Shalih al-Jazairi al-Jawahir al-Kalamiyyah H. 46-48. penerbit Al-Miftah Surabaya.
7 Thahir bin Shalih al-Jazairi al-Jawahir al-Kalamiyyah H. 46-48. penerbit Al-Miftah Surabaya.
8 ensiklopedi Islam juz 5 h. 46.
9 seorang ahli sejarah dan pengarang kitab Syahr al-‘Uyun (bulan bagi mata-mata)
10 ensiklopedi h. 338juz II.
11 ensiklopedi H. 293 juz II.
12 ensiklopedi h. 187 juz I
13 Yahya syarofudin al-Nawawi, syarkh al-arbain al-nawawiyah. H. 16 Al-Miftah Surabaya
14 Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulb H. 91. al-hidayah Surabaya
15 Dr. Yusuf  Qardhawi. Fatawa Qardhawi, Risalah Gusti Surabaya, Jumadil Awal 1417/Oktober 1996
16 al-sulam al-munawwaraq H. piro bot.
17 Husain affandi. Husun al-hamidiyyah H. 125. maktabah al-hidayah surabaya.
18 Ibrahim bin Ismail, ta’lim al-muta’alim H. 43 thaha putra. Semarang
19 Muhammad Jamaludin al-Qasami al-Dimsyaqi, Mau’izhah al-Mu’minin H. 84 Dar al-‘Ulm al-Islamiyyah. Singapura. Rodhiyudin Abi Nash Ibn al-Imam, Makarim al-Akhlaq H. 103. al-Riyah Indonesia. Lihat juga kisah doa Syaikh Abd Qadir al-Jailani kepada Abu al-Muzhaffar bin Tamim al-Baghdadi, Abu Lutfi al-Hakim Mushlih bin Abd. Rahman al-Miraqi, Nur al-Burhani H. 68. Thoha Putra Semarang
20 Muhammad bin alan al-shadiqi. Dalil al-Falahin juz IV H. 510. dar al-fikr 2003.


.

PALING DIMINATI

Back To Top