Bismillahirrohmaanirrohiim

POUR UNE CRITIQUE DE LA RAISON ISLAMIQUE

Muhammed Arkoun, sang pemikir “wilayah tak terpikirkan” (al-la mufakkar fih/l’impensê/unthinkable), telah wafat pada 15 September 2010 di Paris. Ia lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris. Corak pemikiran epistemik Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis. Rujukan primer pemikirannya adalah De Sausure (linguistic), Levi Straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi), filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody, R. Bastide, Pierre Bourdieu, dan lain-lain. Arkoun banyak memungut konsep-konsep post-strukturalisme untuk kemudian diaplikasikan dalam area kajian Islam. Untuk mengenang kepergiannya, maka saya akan mengulas secara ringkas proyek kritik nalar Islam ala Arkoun.

Metode Kritik Nalar Islam

Kritik nalar Islam dan analisis dekonstruktif merupakan harga mati bagi Arkoun guna mencapai kebangkitan peradaban Islam yang sampai kini terkapar dalam ortodoksi dan dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh Arkoun dengan cara mengkritik secara dekonstruktif mekanisme berpikir konvensional yang telah memproduk sistem-sistem teologis kemudian merekonstruksinya. Untuk memahami proyek kritik Arkoun secara sistematik, maka klasifikasi poin-poin di bawah ini menjadi penting diperhatikan:

I. Islamologi Aplikatif dan Kritik Nalar Islam

Islamologi aplikatif Arkoun merupakan modifikasi dari tujuan Anthropologie Appliquêe R. Bastide. Dalam pandangan R. Bastide, antropologi modern dan kontemporer telah mengalami transformasi dari tujuannya yang semula untuk menghegemoni manusia menuju upaya mencari kebenaran sebuah gambaran atas manusia. Tranformasi tujuan antropologi ini kemudian diadopsi oleh Arkoun guna membangun tujuan teori islamologi aplikatif. Islamologi aplikatif adalah metodologi pencarian kebenaran pengetahuan objektif yang terkait dengan manusia Muslim. Hal ini berbeda sekali dengan ‘islamologi orientalis klasik’ yang hanya bertujuan memenuhi kepentingan kolonialisme, imperialisme dan missionarisme di satu sisi, dan yang tunduk pada rasionalitas Descartes di sisi yang lain. Islamologi orientalis klasik, pada era kolonial, sedikit banyak membebek pada sample rasionalitas Descartes bahwa “Pengetahuan adalah modal untuk menghegemoni”.

Secara terminologis, islamologi aplikatif tersusun dari dua nomenklatur: islamologi dan aplikatif. Sejak abad ke-19, nomenklatur ‘islamologi’ lazim digunakan untuk kajian orientalisme. Hal ini untuk membedakan antara orientalism studies yang memiliki dimensi rasional dengan Islamic studies yang berdimensi keimanan dogmatis. Di lain sisi, nomenklatur ‘aplikatif’ mengacu pada istilah dalam bidang antropologi. Di tangan Arkoun, nomenklatur ‘islamologi’ dikosongkan dari makna yang bermuatan orientalisme dan kemudian digabungkan dengan istilah ‘aplikatif’ yang dipinjam dari Roger Bastide, sehingga, pada kesimpulannya, islamologi aplikatif artinya adalah sekadar “metode antropologis religius” atau “teologi antropologis”.

Islamologi aplikatif didefinisikan oleh Arkoun sebagai “metode kajian yang concern terhadap segala objek yang berhubungan dengan kehidupan manusia secara umum”. Manusia, dalam perspektif islamologi aplikatif, adalah entitas yang memiliki dimensi kompleks; sosial, linguistik, politik, ekonomi, sejarah, psikis, rasional, imaginatif, religius, dan seterusnya. Dalam konteks kritik nalar Islam, islamologi aplikatif mengandaikan sebuah pendekatan inter-disipliner terhadap fenomena-fenomena keagamaan yang kompleks. Dogma-dogma, praktik ritus, dan segala fenomena keagamaan yang tak terbatas, tidak hanya produk teks dan konteks sosio-politik, melainkan produk dari elemen-elemen yang tak terbatas, tak terkecuali produk imajinasi dan khayalan sosial, seperti kata C. Castoriadis dan G. Duby.

II. Islamologi Aplikatif dan Metode Klasik dalam Kritik Nalar Islam

Arkoun telah berhasil mendekonstruksi ‘islamologi klasik’ yang selama ini concern dalam tradisi keislaman dan kemudian membangun rancangan metode kritiknya sendiri. Metodologi klasik diklasifikasikan oleh Arkoun menjadi dua: A) Metode orientalis klasik (baca: filologi/historisisme/islamologie clasissique/Islamiyyah al-Taqlidiyyah) dan; B) Metode Islam klasik yang disebut oleh Arkoun dengan al-Ijtihad al-Taqlidi. Maksud dari kedua model metode ini sebagai berikut:

A. Islamologi Klasik

Islamologi orientalis klasik (baca: Islamiyyah al-Taqlidiyyah/Islamologie classique) adalah wacana Barat seputar Islam atau discourse Barat yang dicanangkan untuk menerapkan rasionalitas terhadap tradisi Islam. Islamologi klasik secara epistemologis sangat terkait dengan inklinasi rasialisme Barat dan sentralitas ideologis Eropa. Islamologi klasik dipandang oleh Arkoun telah gagal total dalam melaksakan tugas kritik terhadap nalar Islam. Kegagalan ini ditengarai beberapa faktor:

Pertama, secara monolitik islamologi klasik hanya mengacu pada telaah atas teks-teks keagamaan Islam. Orientalis klasik yang menggunakan metode ini guna menghampiri tradisi Islam pada umumnya, dan sejarah al-Qur`an pada khususnya, berasumsi bahwa teks dapat merefleksikan kebenaran objektif yang tersembunyi di baliknya. Pendekatan (approach) islamologi klasik ini terbukti gagal dalam melancarkan kritiknya terhadap nalar Islam untuk kemudian menyematkan rasionalitas dalam nalar Islam, karena sejatinya ‘teks’ tidak dapat mengekspresikan kebenaran objektif. Metode islamologi klasik dipandang sangat bertentangan dengan basis kritik modern yang merujuk pada teori-teori post-strukturalisme (ma ba’da al-binyawiyyah). Orientalis klasik hanya berkutat dalam tataran formulasi teks dan apatis akan ‘relasi komunikatif’ antara formulasi teks dengan konteks sosiologis, kultural, ekonomi, dan sebagainya. Ketidakhirauan orientalis klasik terhadap hal ini menyebabkan mereka terjerembab dalam subjektivitas. Alih-alih mendekonstruksi, dengan pendekatan monolitik tersebut orientalis klasik tak berdaya melakukan kritik terhadap tradisi/Tradisi Islam (dengan t kecil = turats sekunder dan dengan T besar = al-Quran = turats primer).

Bagi Arkoun, kritik nalar Islam (baca: Nalar primer Islam=al-Qur’an) tidak mungkin dilakukan jika hanya dengan pendekatan tekstual terhadap teks-teks keagamaan, karena –meminjam teori hermeneutik komunikatif Habermas– bahwa nalar, makna dan kebenaran objektif, bukanlah semata-mata produk teks, melainkan adalah produk komunikasi dialektik antara teks dengan konteks. Dalam pandangan Arkoun, pemahaman terhadap al-Quran meniscayakan adanya telaah atas konteks audience yang mempengaruhi pembentukan formulasi teks. Al-Quran tidak boleh dipandang hanya sebagai teks an sich, melainkan harus dipahami sebagai teks komunikatif dan dialektik, seperti teori Habermas, atau minimal dipandang sebagai teks yang memiliki karakter stilistika, misalnya sebagaimana pembacaan al-Jahidh terhadap teks-teks Arab.

Kedua, pendekatan periodik terhadap sejarah pemikiran. Dengan pendekatan ini, islamologi klasik gagal melakukan kritik terhadap nalar/Nalar Islam (n kecil=tradisi pemikiran; N besar = Tradisi Islam dengan ‘T’ besar = Teks primer Islam = al-Quran). Pendekatan periodik terhadap nalar-nalar Islam telah menjadi rintangan bagi orientalis untuk mereformasi struktur pengatahuan Islam.

Arkoun tampak alergi dengan pendekatan ini sembari menegaskan bahwa penulisan sejarah pemikiran seharusnya mengacu pada penggalian seluruh lapisan geologis episteme nalar-nalar Islam dan, oleh karenanya, tidak cukup hanya sekadar pelacakan secara periodik, sebab, seperti yang telah diguratkan oleh teori ‘archaeology’ Michel Foucault dalam The Archaeology of Knowledge, bahwa sejarah pemikiran tidak pernah berada dalam keajekan dan kontinuitas episteme. Sebaliknya, sejarah pemikiran senantiasa mengalami mutasi-mutasi, pergeseran-pergeseran, transformasi-transformasi, retakan-retakan, dan diskontinuitas. Dengan kritik ini, Arkoun hendak melampaui capaian-capaian orientalis seperti C. Brockelman, F. Segzin, F. Rosenthal, Cl. Cahen, dan lain-lain yang penelitiannya hanya berkisar di atas jalur kontinuitas sejarah pemikiran.

Ketiga, sikap abai dan apatis islamologi klasik terhadap aspek-aspek antropologis. Terkait dengan hal ini, Arkoun menjelaskan dalam lima poin: 1) sikap apatis islamologi klasik terhadap budayai oral Islam di kawasan suku-suku yang tidak memiliki budaya dan tradisi tulis-menulis. Islamologi klasik hanya bertumpu pada wacana-wacana yang terkodifikasi; 2) abai terhadap realitas hidup yang tak tertulis dan tak terucapkan. Padahal, dalam pandangan Arkoun, nalar Islam tidak hanya sekadar produk teks maupun wacana oral an sich, melainkan juga terbentuk oleh realitas kehidupan individu-individu sehari-hari yang tak tertulis; 3) abai terhadap realitas hidup yang tak tertulis namun terucapkan; 4) abai terhadap karya-karya tulis yang dipandang non-representatif dan tidak resmi. Sebaliknya, orientalis hanya memerhatikan karya-karya yang mendapat dukungan otoritas kekuasaan; 5) abai terhadap instrumen-instrumen petanda non-linguistik yang telah ikut serta membentuk keyakinan dan simbol-simbol keagamaan, seperti mitos, syair, musik, dan lain sebagainya yang justru diperhatikan oleh pendekatan antropologis. Semua poin-poin di atas merupakan wilayah “tak terpikirkan” (al-la mufakkar fih/L’impensê/unthinkable) bagi islamologi klasik, tetapi sebaliknya, merupakan wilayah “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable) bagi Arkoun.

Uraian di atas merupakan elaborasi atas rintangan-rintangan epistemologis yang menghalangi islamologi klasik untuk melakukan kritik terhadap nalar Islam. Sementara itu, di sisi lain, terdapatkan pula rintangan ideologis. Rintangan ideologis yang menghalangi orientalis untuk melakukan kritik terhadap nalar Islam adalah berpulang pada kepentingan kolonialisme, imperialisme dan missionarisme. Dengan ungkapan lain, islamologi klasik dengan sadar sengaja meletakkan nalar-nalar Islam tertentu di luar wilayah kritik. Contohnya, islamologi klasik sengaja membiarkan wacana Islam klasik seputar “relasi integral (menurut Syi’ah) atau simbiotik (menurut Sunni) antara agama dan politik” berada di luar wilayah kritik mereka. Keengganan orientalis klasik mengkritik wacana ini –secara sadar– bertujuan untuk membuktikan betapa mundurnya peradaban Islam karena belum berhasil memisahkan antara wilayah agama yang sakral dengan urusan politik yang profan. Pada waktu yang sama, orientalis Barat hendak menunjukkan kemajuan peradaban Barat yang telah berhasil melakukan sekularisasi terhadap agama mereka sendiri. Image yang kemudian muncul adalah Islam-Timur regresif, sementara Barat progresif; Islam-Timur inferior, sedangkan Barat superior. Konsekuensi logisnya, inferioritas dan regresivitas Islam-Timur harus tunduk pada progresivitas dan superioritas Barat.

B. Ijtihad Klasik

Dalam Lectures du coran, Arkoun sadar bahwa ijtihad dalam koridor ‘kritik nalar Islam’ adalah perluasan dari, dan pembaharuan internal atas, model ijtihad klasik. Agar makna ijtihad dapat selaras dengan proyek kritik nalar Islam, maka Arkoun mencoba meredifinisi dan mereorientasi ijtihad. Menurutnya, ijtihad adalah aktivitas-aktivitas nalar teoretik yang berorientasi pada pengetahuan untuk mengafirmasi dan menjustifikasi hukum-hukum berlandaskan dasar-dasar ketuhanan dan pengetahuan. Frase “yang berorientasi pada pengetahuan” dalam definisi tersebut memiliki pengaruh yang luar biasa, karena, dalam tataran praksis, secara otomatis akan mengecualikan bentuk-bentuk ijtihad yang berorientasi pada tujuan hegemoni, politis, ideologis, dan sebagainya, seperti yang terjadi pada era klasik dan skolastik.

Ijtihad klasik dianggap oleh Arkoun gagal melakukan kritik terhadap tumpukan nalar-nalar yang mengendap dalam khazanah Islam. Kegagalan ini ditengarai kesalahan mujtahid klasik dalam memposisikan ‘makna’ yang mereka tafsirkan dari teks-teks keagamaan, tak terkecuali mujtahid sekaliber al-Thabari dan al-Syathibi. Bagi mujtahid klasik, makna-makna yang mereka tafsirkan dari teks-teks keagamaan tak lain merupakan pemberian Tuhan, sehingga mereka dengan mudah mendaku bahwa penafsirannya adalah kebenaran absolud yang selaras dengan maksud Tuhan. Otoritarianisme dan monopoli penafsiran tunggal ini kemudian dijustifikasi oleh mereka dengan jargon populer bahwa ‘ulama adalah pewaris para nabi’.

Pola tafsir seperti ini bagi Arkoun niscaya membutuhkan revolusi epistemologis dan reposisi makna teks dari yang semula teosentris menjadi antroposentris. Pola tafsir konvensional harus ditransformasikan dari yang semula vertikal menuju pola horisontal, dari persepsi ‘makna pemberian Tuhan’ menjadi ‘makna hasil pemahaman’, dari makna metafisik menuju fisik, dan seterusnya. Pendekatan filosofis Arkoun yang hendak menggerus dan membendung makna metafisis ini secara kasat berangkat dari hermeneutik modern Gadamer yang merekomendasikan proses reproduksi makna dari pola interpretasi “bagaimana kita memahami sehingga menciptakan makna?”, bukan “bagaimana kita memahami makna yang telah ada?”.

Konsep dan Struktur Nalar

Konseptualisasi dan strukturisasi nalar memiliki peran penting dalam ruang bedah kritik-analitik Arkoun. Nalar, menurut disiplin humaniora yang diadopsi oleh Arkoun, dikonseptualisasikan sebagai fenomena historis yang senantiasa berubah secara dinamis sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Nalar, dalam konseptualisasi disiplin humaniora, tidak memiliki dimensi transenden, melainkan sebagai entitas yang memiliki dimensi historisitas. Konseptualisasi seperti ini secara gamblang berbeda dengan konsep nalar dalam perspektif neo-platonisme ataupun Aristotelian, dimana nalar dipandang sebagai kekuatan abadi yang mendapat pancaran akal aktif metafisik guna menerangi setiap kekuatan demonstratif manusia.

Nalar, dalam teori Arkoun, bersifat inklusif dan juga pluralis. Nalar sangat beragam tergantung pada keberagaman metode-metode. Nalar yang digunakan oleh Hasan Basyri berbeda dengan nalar Ibn Khaldun. Nalar Ibn Khaldun berbeda dengan nalar Abduh. Nalar Abduh berbeda dengan nalar Renan, dan seterusnya. Nalar Abduh sama sekali tidak mengenal terma-terma filologi, sementara nalar Renan tidak mengenal khayalan dan khurafat keagamaan yang justru menjadi materi kritik Abduh. Oleh sebab itu, istilah ‘nalar’ dalam teori Arkoun seyogyanya dipahami sebagai ‘metode’.

Namun, keberagaman nalar ini tidak menutup kemungkinan adanya ‘keselarasan' antara satu nalar dengan nalar yang lainnya. Keselarasan nalar-nalar tersebut merupakan poin penting guna ‘menyatukan kesadaran’ (baca: mengharmonisasikan) agama-agama dan sekte-sekte. Caranya adalah dengan menonjolkan keselarasan nalar dari sudut pandang struktural, baik itu struktur eksternal maupun internal. Penjelasan atas struktur eksternal dan internal nalar agama tersebut adalah sebagai berikut:

A. Struktur Eksternal Nalar Agama; Proyek Harmonisasi Agama-agama

Struktur eksternal nalar agama sejatinya tunduk pada satu struktur, yaitu struktur nalar keagamaan yang khas dalam agama-agama samawi; Kristen, Yahudi, dan Islam. Struktur nalar agama-agama ini dijelaskan oleh Arkoun dalam empat poin penting:

(1) Nalar teosentris. Nalar ini berkerja di atas bangunan teologis bahwa keimanan terhadap wahyu akan menunjukkan akal manusia dari kesesatan. Keimanan terhadap pondasi teosentris nalar agama memiliki akar-akar ontologis yang kemudian menempatkan nalar tersebut dalam wilayah sacret dan terkuduskan. Lebih-lebih dalam Islam, terkuduskannya nalar tersebut juga dijustifikasi dengan hadits-hadits masyhur yang menjelaskan bahwa nalar merupakan ciptaan Tuhan paling sempurna. Dengan demikian, nalar agama samawi menjadi anti kritik.

(2) Nalar dogmatis ekslusif. Nalar agama samawi senantiasa meyakini bahwa kitab suci mereka mampu mengatasi segala problematika, menjangkau setiap gerak sejarah manusia, dan up-to-date. Keyakinan seperti ini dinilai Arkoun sebagai faktor penyebab penyempitan wilayah kebebasan berpikir, karena hanya terkungkung dan berkutat dalam teks-teks mushhaf, official closed corpus (al-mudawwanah al-rasmiyyah al-mughallaqah).

(3) Nalar yang tunduk patuh kepada kehendak Tuhan (Dette de sens). Struktur eksternal nalar agama samawi selalu bertekuk lutut di hadapan simbol dan sistem yang dipercayai menjadi representasi dari kehendak Tuhan. Nalar agama samawi, misalnya, dicirikan dengan ketundukan total kepada sistem-sistem, antara lain sistem politik, yang diajarkan oleh para agawaman karena diyakini merepresentasikan kehendak transendental Tuhan. Hanya saja, dalam konteks modern, dunia telah menyaksikan keberhasilan Yahudi dan Kristen melakukan sekularisasi terhadap doktrin agamanya, sementara Islam masih terpuruk dalam struktur nalar dogmatis politis.

(4) Nalar yang memonopoli kebenaran tunggal. Struktur eksternal agama Islam berbasis pada doktrin bahwa “agama yang benar adalah Islam” (al-din ‘inda Allah al-Islam). Nalar Islam adalah nalar yang menyingkirkan agama-agama lain dengan dasar bahwa agama selain Islam telah terhapus oleh Islam. Sementara itu, agama non-Islam juga memiliki sikap yang sama; Yahudi dan Kristen menganggap Islam salah dan Muhammad saw. adalah pembohong. Kesamaan sikap saling menyingkirkan ini menunjukkan bahwa struktur eksternal nalar agama samawi adalah sama.

Keselarasan struktur eksternal nalar di atas seharusnya menjadi modal untuk mengharmonisasikan agama-agama, yakni kesadaran yang membangun sikap toleransi dan dialog konstruktif antar agama.

B. Struktur Internal Nalar Islam; Proyek Harmonisasi Sekte-sekte Islam

Pada permukaan, nalar Islam tampak sangat beragam. Ada nalar Sunni, nalar Syi’i, nalar Khawariji, nalar teologis, nalar mistis, nalar filosofis, nalar politis, nalar fikih, dan nalar-nalar yang lain. Sepanjang bentangan sejarah Islam, nalar-nalar ini senantiasa bertarung memperebutkan otoritas. Namun secara esensial, nalar-nalar tersebut sejatinya memiliki kesamaan struktur internal yang dapat dijadikan acuan untuk menyatukan kesadaran sekte-sekte Islam. Untuk merealisasikan kerja ini, Arkoun meminjam konsep ‘Tipologie’ Aristoteles yang tampaknya juga diterima oleh kalangan strukturalis. Bagi Aristoteles, konsep ‘Tipologie’ adalah “barometer universal yang mencakup varian analogi dan aksioma”. Definisi ini kemudian dimodifikasi oleh Arkoun guna membangun ‘tipologi struktur internal nalar Islam’ (al-mawqi’iyyah li binyah al-dakhiliyyah li ‘aql al-Islami), yakni “struktur internal umum yang mengakomodir persoalan-persoalan yang diperdebatkan oleh nalar Sunni vis a vis nalar Syi’i, dan nalar-nalar lainnya”. Kesamaan struktur internal tersebut antara lain sebagai berikut:

(1) Semua nalar Islam tunduk pada teks primer (baca: al-Quran), tak terkecuali nalar para filosof maupun Muktazilah. Jika ada perbedaan, maka perbedaan itu hanya berkisar pada tataran metodologi interpretasi teks.

(2) Struktur internal nalar Islam dicirikan dengan ketundukan pada otoritas imam-imam.

(3) Nalar firqah najihah. Berangkat dari hadits keterpecahan umat Islam menjadi 73 sekte, maka masing-masing sekte mengklaim golongan mereka sebagai sekte benar yang selamat, sementara sekte lainnya salah dan masuk neraka. Semua sekte memiliki karakteristik yang sama, yakni mengklaim di pihak yang benar. Kesamaan klaim ini adalah kesamaan struktur internal nalar sekte-sekte. Bagi Arkoun, untuk menyatukan kesadaran sekte-sekte Islam amat dibutuhkan kritik terhadap nalar-nalar sekratianistik Islam. Umat Islam dewasa ini harus menyadari bahwa agama mereka hanyalah satu, sementara perbedaan sektarianistik hanyalah produk faktor politis dan historis. Dus, di sini kita dapat melihat bahwa Arkoun tidak hanya memandang perbedaan, melainkan juga persamaan antar sekte-sekte. Dengan pandangan yang serempak ini, Arkoun ingin melampaui capaian-capaian orientalis, misalnya, seperti capaian Luis Massignon, Henri Corbin, Henri Laust dan sebagainya, yang secara monolitik hanya mengkaji persamaan atau perbedannya saja.

(4) Nalar Islam adalah nalar ortodoksi yang ahistoris. Nalar ortodoksi dicirikan oleh sikapnya yang acap mendaku memiliki dimensi transendensialitas yang melampaui ruang-ruang historis. Untuk itu, kritik nalar Islam bertugas mendesakralisasi dan mendekonstruksi dimensi transendensialitas dengan menundukkan nalar tersebut pada historisitas.

Historisitas Nalar Islam

Bagi Arkoun, diskursus historisitas memiliki peran sangat penting dalam proyek kritik nalar Islam dan, tanpa bermaksud mendramatisir, historisitas menempati posisi sentral dalam gerakan rancang-bangun pemikiran Islam kontemporer. Urgensitas diskursus ini menjadikan Arkoun merasa perlu menjelaskannya secara terperinci seperti klasifikasi di bawah ini:

Pertama, historisitas nalar primer. Historisitas nalar primer, dalam wacana Arkoun, tak lain adalah historisitas nalar al-Qur’an. Sementara itu, yang dimaksud dengan nalar al-Qur’an bukanlah “akal Tuhan”, melainkan “kekuatan yang senantiasa bergerak dan berubah seiring dengan perbedaan geografis serta perubahan sosio-kultural dan ideologi, yakni kekuatan yang tunduk pada historisitas”. Intinya, bahwa al-Qur`an, yang memiliki nalar/kekuatan gerak dinamis, adalah entitas yang historis. Historisitas ini dapat dilihat dari terjadinya transformasi al-Qur’an dari horizon oral menjadi official closed corpus (al-mudawwanah al-nashiyyah al-rasmiyyah al-mughallaqah) yang familiar disebut mushhaf. Transformasi ini menunjukkan adanya campurtangan manusia dalam ‘menciptakan’ al-Qur’an.

Kodifikasi wahyu dalam bentuk official closed corpus kemudian memunculkan problem-problem elementer antara lain: 1) memunculkan kekacauan irasional berupa kesenjangan antara wahyu pada masa wicara dengan wahyu pasca kodifikasi. Terkait problem ini, Arkoun mendapuk amukan-amukan teoretis metode kritik historis untuk menekankan pentinganya rekonstruksi sejarah kodifikasi dan menertibkan kembali surat-surat al-Qur’an secara kronologis. Ia menekankan pentingnya kritik filologis-historis ala Jerman untuk kemudian mencapai kritik antropologis kontemporer. Arkoun menyayangkan mengapa metode ini –seperti telah diterapkan oleh Theodore Noldeke dalam Geschichte des Qorans dan R. Blachere dalam Introduction au coran– tidak diapresiasi dan tidak diaplikasikan oleh kalangan Muslim, bahkan metode itu masih dalam wilayah yang ‘tak terpikirkan’ atau ‘mustahil terpikirkan’ bagi umat Islam. Namun harus diakui, Arkoun menemukan kendala besar –sebagaimana dialami oleh Theodore Noldeke– bahwa ia tidak menemukan barometer yang rasional dalam upaya merekonstruksi sejarah al-Qur’an secara kronologis. Oleh karena itu, ia mengusulkan upaya menertibkan kembali dan memberikan batasan kategorisasi atas poin-poin wacana-wacana dalam mushhaf, seperti yang telah ditempuh Paul Recoeur terhadap Taurat dan Injil; 2) kodifikasi tidak dapat mencakup dimensi historis al-Qur’an, melainkan justru mengukuhkan dimensi mitos dan sacret. Umat Islam pada gilirannya meyakini mushhaf sebagai bentuk fisik dan material bagi wahyu yang ahistoris; 3) munculnya pandangan mengkuduskan ‘al-Qur’an tertulis’ yang pada gilirannya juga menyebabkan umat Islam mensakralkan ‘teks-teks tertulis sekunder’ (teks tafsir, fiqh, ushul fiqh dan lain-lain). Teks-teks sekunder tersebut akhirnya disakralkan layaknya al-Qur’an karena dipandang sama-sama mengandung nilai-nilai dan kebenaran abadi.

Berangkat dari historisitas al-Qur’an ini, Arkoun juga menekankan pentingnya memahami al-Quran ketika masih dalam horizon Quranic discourse, bersamaan ketika Rasulullah saw menafsirkannya dan menyebarkannya pada audience yang variatif. Inilah yang oleh Arkoun disebut sebagai ‘fenomena hidup’ (living phenomena). Dalam hal ini Arkoun tampak sejalan dengan para filsuf Barat yang lebih menekankan pentingnya masa wicara ketimbang masa tulisan. Ketika membahas Esai Tentang Asal Usul Bahasa karya Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), Derrida menunjukkan bagaimana Rousseau menilai wicara sebagai bentuk asali dan suatu kondisi alami dari bahasa. Rousseau mencurigai tulisan dan menganggapnya hanyalah suplemen atau tambahan dari bahasa. Tokoh lain yang juga memprioritaskan masa wicara adalah antropolog strukturalis Prancis, Claude Lévi-Strauss. Seperti Rousseau, Lévi-Strauss menunjukkan kerinduannya pada kesatuan primordial masa wicara sebelum adanya tulisan. Mereka menganggap bahwa tulisan berpotensi mereduksi makna otentik sebagaimana dikehendaki oleh pengarangnya.

Kedua, historisitas nalar eksegesis (baca: tafsir). Arkoun melihat nalar tafsir Islam telah terperangkap dalam ahistorisitas. Interpretasi eksegesis Islam tidak mampu menafsirkan berdasarkan historisitas kronologis ayat-ayat. Oleh sebab itu, ahli tafsir terpaksa menawarkan solusi asbab al-nuzul. Dalam pandangannya, historisitas nalar tafsir berbeda dengan asbab al-nuzul. Historisitas lebih mengacu pada tafsiran berdasarkan kronologi ayat-ayat, sementara asbab al-nuzul bagi ahli tafsir klasik lebih dimaknai secara metafisis ketimbang sosiologis, yakni sebagai “kecocokan yang bertepatan antara turunnya wahyu dengan insiden-insiden”. Lebih jauh lagi, ia pun menilai konsep abrogasi (naskh-mansukh) sebagai bukti paling jelas bagi ahistorisitas tafsir klasik. Di sisi lain, historisitas nalar eksegesis juga bisa dimaksudkan bahwa khazanah tafsir klasik adalah produk dialektika historis antara teks dan konteks sosio-kultural pada periode dimana para ahli tafsir hidup. Dari kritik historisnya, Arkoun meyakini bahwa tumpukan literatur tafsir layaknya endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, ia menyatakan,

“Jika kita melihat literatur tafsir dengan seluruh macam taksonomi madzhabnya, maka kita akan sadar bahwa al-Qur’an hanyalah media untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Tafsir-tafsir itu merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, daripada dengan konteks al-Qur’an itu sendiri”.

Ketiga, historisitas nalar historiografi. Dalam proyek kritik Arkoun, nalar historiografi tak lain adalah mekanisme-mekanisme rasional yang didapuk oleh para sejarawan sebagai perangkat kodifikasi sejarah awal Islam, sejarah nabi, sejarah sahabat, dan sejarah raksasa klasik lainnya. Dalam konteks ini, Arkoun menempatkan Ibn Ishaq dan Thabari sebagai sample dan representasi sejarawan yang dikaji. Dengan meminjam teori antara ‘teks pada masa wicara dan tulisan’ Jack Goody, dalam karyanya La raison graphique, Arkoun menilai sejarah yang ditulis oleh Ibn Ishaq dan Thabari telah mereduksi dimensi antropologis masa wicara dalam sejarah tersebut, sehingga kemudian justru menjadi sejarah yang berdimensi transendental, penuh mitos, dan khayalan-khayalan sosial yang ahistoris. Pereduksian tersebut merupakan –meminjam bahasa Foucault dan Heideger– ‘kelalaian’ yang menyebabkan nalar historiografi tidak dapat lepas dari mitos-mitos.

Keempat, historisitas nalar ushul fiqh. Dalam mengkaji diskurus ini, Arkoun memilih Syafi’i sebagai sample. Pembacaannya terhadap al-Risalah karya Syafi’i sampai pada kesimpulan seperti –kurang lebih– kesimpulan Nashr Hamid Abu Zaid. Kesimpulan Arkoun tersebut dapat disederhanakan dalam poin-poin berikut: 1) Upaya Syafi’i menjustifikasi dan memberikan pembasisan terhadap supremasi bahasa Arab sebagai bahasa transendental agama yang sacret; 2) pembasisan dan sakralisasi sunnah berdasarkan tafsiran skriptural atas teks-teks al-Quran dan teori sinonimitas. Akibatnya, sunnah menjadi transendental, ahistoris, dan terkuduskan sebagaimana kudusnya al-Quran; 3) Syafi’i telah berupaya menundukkan akal di bawah hegemoni teks.

Kelima, historisitas nalar Islam. Dengan terilhami oleh amukan-amukan teoritis ‘diskontinuitas’ Michel Foucault, Arkoun secara epistemik membagi sejarah nalar Islam menjadi empat penggalan (rupture): 1) era formatif dan pendasaran nilai-nilai Islam. Episteme nalar Islam pada periode kenabian ini ditandai oleh wacana-wacana yang inklusif, realistis, historis, dialektik, dan gradual; 2) era nalar Islam klasik seiring dengan pembasisan disiplin ilmu pengetahuan. Retakan-retakan sejarah nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad pertama sampai penghujung abad keempat. Meskipun pada periode ini di satu sisi terdapatkan kecenderungan negatif berupa munculnya percikan inklinasi ortodoksi yang hendak mengenyahkan dimensi-dimensi historisitas, namun, di sisi lain, gerakan keilmuan berkembang pesat, terutama di kawasan Damaskus, Baghdad, Cordoba, Cairo, dan sebagainya, dengan didukung oleh otoritas imperium dan antusiasme kalangan borjuis. Pada era ini, kecenderungan ortodoksi masih kalah oleh kecenderungan dialektik antara agama dan nalar. Periode ini juga menyaksikan munculnya inklinasi humanisme di tangan Miskawayh dan Abu Hayan al-Tawhidi. Miskawayh, penulis Tadzhib al-Akhlaq, dianggap oleh Arkoun sebagai pawang intelektual ikonis yang mengkonstruksi etika berdasarkan ontologi rasional, sementara Abu Hayan al-Tawhidi berperan sebagai pionir humanisme; 3) era skolastik yang dimulai sejak abad ke-5 Hijriyyah yang ditandai oleh keruntuhan nalar Islam di medan pembebekan dan menguatnya ortodoksi; 4) era modern. Era ini merupakan mutasi dan retakan menuju era kebangkitan kembali nalar Islam dan revolusi episteme. Modernitas Islam, bagi Arkoun, bukanlah seperti modernitas Barat yang berdiri di atas jargon “the death of God” seperti dikatakan Neitczhe, bukan pula modernitas ala Foucault yang mengacu pada jargon “the death of human”. Modernitas tidak hanya dimiliki Barat dan Eropa, seperti asumsi para orientalis. Modernitas adalah milik setiap bangsa, tak terkecuali Arab-Islam. Humanisme pun bukan hanya milik Eropa, tetapi juga dimiliki oleh Islam, seperti tercermin dalam humanisme Miskawayh, Tawhidi, dan al-Jahidh.

Kesimpulan

Arkoun tidak hanya berupaya memikirkan wacana ‘terpikirkan’, tetapi juga memikirkan objek-objek yang ‘tak terpikirkan’ dan yang ‘mustahil terpikirkan’ oleh nalar-nalar dogmatis maupun nalar orientalis. Di sini, ia berhutang pada teori Le belief system/et les disbelief systems Milton Rokeach. Dalam konteks ini, Jean Pierre Deconche menyatakan bahwa teori Rokeach menegaskan bahwa nalar-nalar dogmatis selalu berdiri di atas asas dualistik antara keimanan dan ketidakimanan. Oleh karenanya, nalar dogmatis selalu bersikap apatis terhadap wacana-wacana pihak lain yang dinilai tak beriman. Konsekuensinya, wacana-wacana itu menjadi ‘terlarang dipikirkan’ dan pada gilirannya menjadi ‘tak terpikirkan’. Berangkat dari teori ini, Arkoun mencari celah-celah ‘tak terpikirkan’ dalam tumpukan geologis khazanah klasik Islam sembari melancarkan kritiknya pada nalar-nalar dogmatis Islam. Hasilnya, seperti telah kita lihat, Arkoun memang layak dinobatkan sebagai pemikir "wacana tak terpikirkan".

Selamat jalan, Arkoun. Semoga amal ijtihadmu diterima-Nya.


.

PALING DIMINATI

Back To Top