Bismillahirrohmaanirrohiim

Mbah Kyai Nur Iman dan Karyanya (Oleh Gus Irwan)

Mbah Kyai Nur Iman dikenal oleh masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya sebagai pendiri Desa Mlangi. Beliau lahir pada tahun 1760 dengan nama kecil Bendoro Pangeran Hangabehi (BPH) Sandiyo. Beliau adalah putra Paku
Buwono II, Raja Keraton Kartasura, dan kakak tertua dari Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Keraton Kesultanan Yogyakarta (The Jakarta Post, 9 Oct 2007).
Beliau bertekad meninggalkan kehidupan mewah dan tahta di Keraton demi tujuan “ngangsu kaweruh”; mencari ilmu agama. Gaya hidup feodal beliau tanggalkan dan memilih berbaju rakyat biasa dengan pola hidup
sederhana sebagai santri. Darah biru yang mengalir di tubuhnya tak menghalanginya untuk menimba ilmu-ilmu keislaman di Pesantren Gedagangan, Pasuruan, Jawa Timur, di bawah asuhan Kyai Abdullah Muhsin. Sejak saat
itu BPH Sandiyo mengganti namanya dengan Nur Iman yang artinya adalah “cahaya iman”. Ilmu yang ditimba kemudian disebarkan di Bangil, Besuki, Ponorogo, dan Sepanjang, Jawa Timur (www.gatra.com).
Tak lama kemudian beliau bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono I yang telah berhasil mendirikan Keraton Yogyakarta pada 1757. Sultan mempersilahkan Kyai Nur Iman memilih tanah luas untuk mendirikan Masjid.
Pilihan Kyai Nur Iman jatuh pada sebuah desa yang kelak diberi nama “Mlangi”. Secara filologis, kata “Mlangi” berasal dari bahasa Jawa “Mulangi” yang artinya ''mengajar''. Di desa inilah Kyai Nur Iman mengajarkan disiplin
keilmuan Islam (www.gatra.com). Daerah itu dijadikan oleh Sultan sebagai bumi “Perdikan” (or tax-free region), yaitu ''tanah yang dimerdekakan'' dalam arti dibebaskan dari membayar pajak kepada Keraton Yogyakarta
(Martin Van Bruinessen, Pesantren and Kitab Kuning, 1995 & Fokkens 1886).
Masjid tersebut dibangun oleh Kyai Nur Iman sekitar tahun 1780-an dengan nama Jami’ Mlangi. Masjid Mlangi merupakan salah satu dari lima Masjid Pathok Negara yang ada di Yogyakarta. Disebut Pathok Negara karena
memiliki keistimewaan dikelola oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta. Keraton dan Pesantren, sebagai subkultur yang tak terpisahkan dalam sejarah kebudayaan Jawa, juga memiliki peran penting sebagai benteng moral dan
keimanan, dimana kekuatan asing VOC yang saat itu menjadi kompetitor Islam mencoba merebut pengaruh keraton.
Kyai Nur Iman merupakan sosok yang memiliki minat tinggi dalam menguasai ilmu-ilmu keislaman. Spirit keilmuan tersebut sangat mempengaruhi budaya masyarakat Mlangi yang lekat dengan dinamika intelektual. Namun
belakangan ini semangat intelektualitas yang diwariskan oleh Kyai Nur Iman semakin pudar dan diabaikan. Masyarakat Mlangi sekarang ini lebih suka membanggakan diri dengan mengaku sebagai keturunan Kyai Nur Iman
ketimbang sebagai pewaris ilmunya. Klaim ini tentu dikuatkan oleh bukti kuat bahwa saat ini masyarakat Mlangi lebih suka memperingati Khaul Kyai Nur Iman dengan acara simbolis berupa pembacaan silsilah keturunan
ketimbang mengkaji secara serius karya-karyanya. Masyarakat dan para peziarah dari berbagai daerah rajin membaca doa-doa sambil menggeleng-nggelengkan kepala di samping makam Kyai Nur Iman yang terletak di
belakang Masjid Jami ’ Mlangi, namun hampir tidak ada satu pun orang yang sudi membaca karya-karyanya. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena warisan budaya yang seharusnya diapresiasi justru terbengkalai.
Keprihatinan ini mendorong penulis untuk menghidupkan kembali semangat intelektualitas Kyai Nur Iman dengan cara mengkaji ulang karya-karyanya. Penelitian terhadap pemikiran Kyai Nur Iman sudah sangat mendesak
sebab para penulis sejarah Kyai Nur Iman lebih fokus menelusuri jalur keturunan Kyai Nur Iman ketimbang mengulas secara detail pemikiran-pemikirannya. Karya-karya Kyai Nur Iman adalah Taqwim (mengulas Gramatika
Arab), ringkasan Ilmu Sharaf (Morfologi), dan al-Saniy al-Matalib fi Istilah al- ‘Awaqib (tasawuf dan nahwu).
Kitab Taqwim merupakan ringkasan disiplin ilmu nahwu yang diproyeksikan untuk membimbing proses belajar para pemula agar semakin mudah memahami gramatika Arab. Bahasa yang dipakai terkesan ringan sehingga
para pemula tidak akan merasa jenuh membacanya. Karya ini mungkin bisa disejajarkan dengan al-Jurumiyah karya al-Sanhaji dari segi pemaparannya yang ringkas. Karya lainnya adalah ringkasan Ilmu Sharaf yang dapat
disejajarkan dengan Amthilah al-Tashrif dari Jombang. Dua karya ini pada tahun 1990-an pernah dipelajari oleh para pemuda Mlangi, namun saat ini sama sekali tak tersentuh.
Karya ketiga Kyai Nur Iman adalah al-Saniy al-Matalib fi Istilah} al-‘Awaqib (Tujuan-tujuan Luhur dalam Istilah Para Peniti Jalan Menuju Tuhan). Dalam mukadimahnya, Kyai Nur Iman berkata bahwa “karya ini adalah komentar
yang lembut dalam bidang nahwu”. Artinya al-Saniy al-Matalib fi Istilah} al-‘Awaqib merupakan ulasan seputar ilmu nahwu yang dikomentari dari sudut pandang tasawuf. Ilmu Nahwu bagi Kyai Nur Iman adalah disiplin yang
mewakili aspek eksoteris agama (dhahir al-din) sementara tasawuf merupakan disiplin yang mewakili aspek esoteris agama (batin al-din). Pandangan Kyai Nur Iman ini senada dengan pandangan al-Ghazali yang membagi
ilmu menjadi “ilmu kulit” dan “ilmu isi”. Nahwu ibarat kulit, sementara tasawuf adalah isinya. Aspek eksoteris dan esoteris dinilai oleh Kyai Nur Iman sebagai dua hal yang harus diharmonisasikan seperti harmoni antara syari’at
dan haqiqat atau antara jasad dan jiwa. Nahwu ibarat jasad dan tasawuf ibarat jiwa. Jika meminjam istilah Abid Al-Jabri, seorang intelektual Maroko, langkah yang ditempuh oleh Kyai Nur Iman adalah sebuah upaya
menginterkoneksikan epistemologi (al-tadakhul al-ebistemoloji) antara bayani dan irfani guna mempertemukan antara ilmu bahasa dan ilmu hati.
Dalam sejarah kebudayaan Islam, harmonisasi nahwu dan tasawuf bukanlah hal yang asing. Jauh sebelum Kyai Nur Iman melakukan upaya tersebut, Imam Abu Qasim al-Qushayri (w. 465) telah melakukan hal yang sama
dalam karyanya yang berjudul Nahwu al-Qulub. Sama seperti Kyai Nur Iman, Imam al-Qushayri menjelaskan kaidah-kaidah gramatika Arab dengan pendekatan sufisme. Kyai Nur Iman dan Imam al-Qushayri sama-sama
hendak membawa para pembaca tidak hanya terbang ke alam bahasa melainkan melambungkan mereka ke alam imajinasi yang mempertemukan manusia dengan Tuhan di sebuah tempat komunikatif yang disebut alam
barzakh. Dengan membaca dua karya yang mirip ini, kita tidak hanya melintasi posisi rafa ’, nashab, jar, dan jazem, tetapi juga serasa melayang di atas langit-langit syariat kemudian menanjak ke tangga-tangga haqiqat. Mari
kita perhatikan contoh komparatif yang mengilustrasikan pandangan keduanya. Imam al-Qushayri berkata,
“Perubahan akhir kata benda ada kalanya rafa’, nashab, jar, dan jazem. Rafa’ adalah simbol tingginya cita-cita para sufi menuju Allah. Nashab adalah simbol tegaknya badan para sufi dalam rangka taat kepada Allah. Jar adalah
simbol upaya merendahkan diri di depan Allah. Sementara jazem adalah simbol ketetapan hati sufi yang tak mau berpaling kepada selain Allah”.
Hampir senada dengan Imam al-Qushayri, Kyai Nur Iman menyatakan,
“Perubahan akhir kata benda adakalanya rafa’, nashab, jar, dan jazem. Rafa’ artinya adalah tingginya derajat Allah atas semua makhluk-Nya. Nashab artinya adalah tegaknya kekuasaan Allah atas semua makhluk-Nya. Jar
artinya adalah daya tarik Allah dalam menarik semua penampakan-Nya sebab semua yang ada di langit dan di bumi tak lain merupakan penampakan-Nya. Jazem yang ditandai dengan sukun artinya adalah diam yang
merupakan lawan bergerak karena sebuah pergerakan menunjukkan cermin wujud Tuhan. Pendapat ini untuk menolak orang yang sesat yang berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan alam semesta dengan pilihan-Nya
tetapi alam semesta tercipta dengan sendirinya ”.
Dua kutipan di atas menarik untuk kita analisis. Imam al-Qushayri dan Kyai Nur Iman sama-sama menggali mutiara-mutiara spiritual dari kaidah-kaidah gramatika Arab. Hal itu didorong sebuah tujuan agar para pengkaji
bahasa tidak hanya berhenti pada penguasaan bahasa secara tepat, namun lebih dari itu mereka harus terus menyusuri tangga-tangga spiritual demi mencari ketetapan hati (jazem/sukun) yang memungkinkan seseorang
memperoleh kedamaian hidup setelah mendekatkan diri pada Allah. Lebih menarik lagi, Kyai Nur Iman secara tak sadar telah mengkritik teori Evolusi yang belakangan dipromosikan oleh Darwin (w. 1882). Kyai Nur Iman
menyatakan bahwa penciptaan alam bukanlah faktor kebetulan tetapi karena diciptakan oleh Allah.
Harmonisasi epistemologi bayani dan irfani yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut tentunya memiliki tujuan ideologis. Al-Qushayri hendak melawan formalisme dan skripturalisme di dunia Arab yang terkungkung pada
aksara dan memberhalakan bahasa. Dengan demikian Nahwu al-Qulub diproyeksikan untuk menengah-nengahi pertikaian antara kaum eksoteris (ahl al-dhahir) dan kaum esoteris (ahl al-batin). Demikian pula Kyai Nur Iman
dalam al-Saniy al-Matalib fi Istilah al- ‘Awaqib yang hendak menengah-nengahi antara kaum formalistik yang membela syarengat (syariat) dengan kaum kejawen-kebatinan yang hanya menghiraukan rasa jati (haqiqat).
Selain Kyai Nur Iman, Paku Buwana IV, Raden Mas Sambadya, atau sultan Surakarta (1788-1820) juga mengharmonisasikan antara pekih (fikih) dengan tasawuf dalam Serat Wulangreh. Ia berkata,
“Yen sira nggeguru, amiliha manungsa kang nyata ingkang becik martabate, serta kang weruh ing hukum, kang ibadah lan kang wirangi, sukur oleh tapa, iya kang wus mungkul tan mikir piwewehing liyan”.
Artinya, “Jika kamu ingin berguru, pilihlah manusia nyata yang baik martabatnya serta tahu hukum, yang beribadah dan sederhana, syukur dapat pertapa, dan yang sudah menanggalkan pamrih pemberian orang”.
“Lamun ana wong micara ilmu, tan mufakat ing patang perkara, aja sira age-age anganggep nyatanipun. Saringana dipun baresih. Limbangen kang patang, prakara rumuhun, dalil hadis lan ijmak lan kiyase papat iku salah siji,
adate kang mufakat”.
Artinya, “Kalau ada orang bicara ilmu, tak setuju empat perkara, jangan cepat-cepat percaya padanya. Seringlah yang teliti. Pertimbangkanlah empat hal; perkara terdahulu, dalil hadis, ijmak, dan qiyas. Semua telah disepakati”.
“Ana uga kena den antepi, yen ucula kang patang prakara, enak eca legatine, tan wurung tinggal wektu, penganggepe wus angengkoki, aja kudu sembahyang, wus salat katanggung, banjure mbuwang sarengat, batal haram
nora nganggo den rawati, mbubrah sakening tata”.
Artinya, “Ada juga yang mantab kalau empat perkara sungguh tidak tepat. Hanya meninggalkan waktu. Menganggap sudah tepat hendak tidak shalat. Shalat sudah tertanggung. Kemudian membuang syariat. Batal haram
tidak peduli, lalu bikin kacau”.
Harmonisasi nahwu, fikih, dan tasawuf sangat dibutuhkan oleh Kyai Nur Iman dan Paku Buwana IV untuk membendung formalisme agama sekaligus esoterisme ekstrem. Pada saat ini, karya Kyai Nur Iman yang hendak
menjembatani dua kelompok kanan dan kiri menemukan relevansinya kembali dimana sekarang peta pemikiran Islam masih terbelah antara dua gerbong kelompok tersebut. Di sinilah urgensi moderatisme karya Kyai Nur
Iman.


.

PALING DIMINATI

Back To Top