Bismillahirrohmaanirrohiim

Bekerjalah, agar Allah Mencintaimu

Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia, maka persaingan hidup pun menjadi semakin ketat pula. Manusia dipaksa untuk bekerja jauh lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping itu, mereka juga di tuntut untuk memeras otaknya untuk mencari peluang-peluang baru sekaligus memanfaatkan peluang itu.

Jika pada masa mbah-mbah buyut kita dulu, perjalanan hidup seluruh wanita nyaris seragam. Yaitu lahir, bermain di masa kecil, dipingit di usia belasan tahun, menikah, dan seterusnya sudah bisa di tebak. Yaitu mengurusi berbagai tugas rumah tangga hingga ajal menjemputnya.

Namun saat ini, para wanita, tua, muda, dari berbagai daerah bertebaran meninggalkan rumah menuju berbagai tempat kerja mereka. Ada yang di kantor, pabrik, bahkan hingga mereka bertebaran di berbagai belahan dunia. Mulai yang dekat seperti Malaysia, Singapura, hingga yang jauh seperti Hongkong, Saudi Arabia, Amerika Serikat, dan lain-lain.

Zaman ini juga ditandai dengan munculnya berbagai profesi kerja baru yang pada masa dahulu belum begitu dikenal, atau bahkan belum ada sama-sekali. Seperti streaptise (penari telanjang), pengamen, penagih utang, makelar penumpang dan lain-lain.

ISLAM DAN KERJA

Fenomena tingginya sirkulasi perekonomian di atas, bagi kaum muslimin bukanlah sesuatu yang harus di tanggapi secara negatife. Memang muncul berbagai profesi baru yang tidak bisa diterima secara syariah. Seperti streaptise, pengamen, serta berbagai bentuk pelacuran terselubung. Walaupun demikian, masih banyak fenomena lain yang masih sejalan dengan syariah. Seperti tumbuhnya berbagai Bank Syariah, Asuransi Syariah dan lain-lain.

Dalam Islam sendiri, bekerja mencari nafkah merupakan sesuatu yang sangat ditekankan. Allah berfirman dalam Al Qur’an:”Dan apabila shalat (jum’at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan raihlah anugerah Allah, dan perbanyaklah kalian ingat kepada Allah.” (QS. Al Jum’ah: 10)
Dalam Islam, bekerja mempunyai beberapa fungsi.
Yang Pertama adalah bahwa dengan bekerja akan terbentuk pribadi yang kuat dan mandiri. Dan kemandirian individu merupakan dasar terbentuknya masyarakat yang mandiri. Dalam kaitan dengan ini, suatu saat Rasulullah SAW bersabda kepada sekelompok sahabat,”Tidaklah kalian hendak berbaiat (bersumpah setia) kepada Rasulullah?” Padahal saat itu mereka baru saja berbaiat. Akhirnya mereka berkata, ”Bukankah kami sudah membaiat Tuan Yaa Rasulullah.” Kemudian beliau bersabda sebagaimana sabda beliau sebelumnya. Yaitu agar mereka berbaiat kepada beliau lagi. Para sahabat kemudian membentangkan tangan mereka sambil berkata, ”Bukankah kami sudah berbaiat. Dalam masalah apa lagi kami harus berbaiat kepada Tuan?” Rasulullah SAW kemudian bersabda, ”(Berbaiatlah) untuk selalu mengabdi kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain, untuk melaksanakan shalat lima waktu, dan untuk mendengarkan dan mentaati (pimpinan).” Kemudian beliau mengucapkan kata-kata dengan lirih, ”Dan janganlah kalian meminta sesuatu kepada manusia.” (HR. Muslim).Dalam hadits lain, Rasulullah SAW mengecam para peminta-minta yang sebenarnya mampu bekerja namun malas untuk bekerja,”Barangsiapa yang meminta-minta untuk menumpuk-menumpuk harta (bukan karena terpaksa), maka sebenarnya ia hanyalah meminta api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karena itulah pada masa Rasulullah SAW serta pada masa sahabat, mereka yang meminta-minta memang orang-orang yang tidak mampu bekerja serta orang-orang yang dalam kondisi yang darurat (sangat membutuhkan). Bukan untuk memperkaya diri seperti yang terjadi pada saat ini.

Kedua, dengan bekerja, seseorang berarti menjaga kehormatanya dari hinaan dan penindasan. Dalam pandangan Islam, kehormatan adalah sesuatu yang harus di jaga. Karena itulah, Rasulullah SAW mengajarkan doa setiap pagi dan petang,”Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan dan kekikiran. Dan aku berlindung kepada-Mu dari tindihan hutang dan penindasan para penindas.”(HR. Bukhari).Dalam kesempatan yang lain, beliau memerintahkan kepada umatnya untuk memohon kepada Allah dari cobaan yang memayahkan, kesusahan yang terus menerus, qadha (ketetapan) yang jelek serta umpatan para musuh. (HR. Bukhari).
Ketiga, bekerja merupakan salah satu syarat kesempurnaan agama. Banyak syariat Islam yang pelaksanaanya membuthkan kemampuan harta. Ketika shalat, seseorang membutuhkan untuk membeli pakaian penutup aurat. Ketika berzakat, mereka harus bisa mandiri terlebih dahulu. Untuk berhaji mereka juga membutuhkan harta. Untuk berjihad, mereka juga membutuhkan untuk membeli persenjataan. Tanpa adanya harta, syariat Islam tidak akan bisa tegak dengan sempurna.

Keempat, bekerja memiliki aspek spiritual tersendiri dalam Islam. Bahkan bekerja merupakan salah satu tariqah (cara) untuk mencapai maqom muhibbin. yaitu maqom maqom para pecinta kepada Allah Ta’ala. Dalam kaitan ini, Imam Ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dhaif,”Sesungguhnya Allah mencintai seorang mukmin yang bekerja.”
Dalam kaitan ini pulalah, Syaikh Abul Hasan Asy Syadzali sangat menekankan kepada para murid beliau untuk bekerja. Bahkan dalam suatu riwayat, beliau tidak mau menerima murid yang tidak mempunyai pekerjaan (pengangguran).
Imam Ahmad suatu ketika ditanya seseorang,”Wahai Imam, bagaimana pendapat Tuan dengan mereka yang hanya duduk dirumah atau di masjid dan mengatakan, ’Aku tidak akan mengerjakan sesuatu sampai rezeki datang sendiri kepadaku’.” Beliau hanya berkomentar pendek, ”Orang ini orang yang bodoh akan ilmu.”
PARA NABI DAN WALI PUN BEKERJA

Bekerja bukanlah pekerjaan yang hina. Dalam pandangan Islam, bekerja adalah pekerjaan yang sangat mulia. Karena itu, para Rasul pun bekerja. Demikian juga dengan para Auliya’ dan Ulama. Rasulullah SAW bersabda,”Nabi Dawud tidak akan makan kecuali dari hasil kerja tanganya.” (HR. Bukhari).Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga pernah bersabda,”Nabi Zakariyya adalah tukang kayu.” (HR. Muslim). Hampir seluruh Nabi adalah ’kaum pekerja’. Sedangkan untuk Rasulullah SAW sendiri beliau bersabda,”Sesungguhnya Allah meletakkan rezekiku di bawah naungan tombak.” (HR. Ahmad dengan isnad yang shahih). Artinya adalah, profesi beliau adalah prajurit atau tentara yang selalu siap untuk berjihad.
Demikian juga dengan para Auliya’ dan ulama’. Imam Abu Hanifah terkenal sebagai pedagang kain. Imam Asy Syafi’i adalah seorang kepala administrasi di Yaman. Malah konon Syaikh Abdul Qodir al Jailani memiliki enam armada dagang. Sunan Giri memilki jaringan dagang hingga luar negeri. Imam Sirri as Saqothi, guru al Junayd adalah seorang pedagang di pasar.

Pada abad XVII Masehi, di India pernah hidup seorang Raja Islam yang terbesar pada masanya, yaitu Sultan Aurangzib. Pada masa beliau, kesultanan Mongol Islam mencapai puncak kebesaranya. Dengan angkatan perang yang berjumlah ratusan ribu, baik pasukan bergajah, berkuda maupun yang berjalan kaki, beliau menggerakkan penaklukan hampir di seluruh India. Dalam sejarah India, tidak ada raja, baik pada masa Hindu maupun Islam seorang raja yang melebihi Sultan Aurangzib.

Walaupun demikian, raja ini konon tidak pernah makan dari hasil jabatanya sebagai seorang raja. Setiap hari beliau bekerja sebagai tukang membuat kopiah. Beliau makan dari hasil penjualan kopiah tersebut. Karena itu, kehidupan beliau sangat sederhana. Walaupun sebenarnya beliau adalah seorang Maharaja. Wallahu a’lam


.

PALING DIMINATI

Back To Top