Bismillahirrohmaanirrohiim

BAGAIMANA HUKUM BERMAIN MUSIK ?

Keharaman musik pada hakikatnya bukan terletak pada dzatiyahnya alat-alat musik melainkan dari suara yang ditimbulkan. Statemen Hujjah aL-Islam, Imâm aL-Ghozâly dalam Ihyâ' menjelaskan bahwa keharaman alat malâhi (alat musik) karena didasari wujudnya salah satu dari tiga illat hukum, yakni:
Pertama, musik dengan daya buaiannya sangat potensial mendorong perilaku negatif, seperti minum-minuman keras atau mengkonsumsi drugs sehingga tenggelam dalam kemaksiatan. Hal ini bisa dibuktikan pada perhelatan konser musik yang acap kali terjadi keributan atau perilaku negatif lainnya yang bermula dari histeria alunan melodi musik.

Kedua, alunan musik juga dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang, sehingga bagi orang-orang tertentu akan dapat mengembalikan nostalgia perilaku negatif yang pernah dilakukan, hingga timbul keinginan dan dorongan untuk kembali melakukan.

Ketiga, musik identik sebagai tradisi orang fasiq. Secara psikologis ketika seseorang meniru atau menyerupai orang lain akan timbul kecenderungan pada pihak yang diserupai tersebut, bahkan bukan tidak mungkin dalam hal-hal negatif. Lantaran hal itulah menjalani gaya hidup menyerupai mereka merupakan larangan syara'.

Sedangkan aL-Qurthuby menyatakan bahwa larangan menyerupai orang fasiq ini disebabkan akan memancing su'udhon (prasangka buruk) orang lain kepada yang bersangkutan, bahwa ia termasuk golongan orang fasiq yang diserupai. Dengan demikian, secara tidak langsung ia telah menciptakan kausalitas dan simbiosis dalam kejelekan. Di samping itu, larangan tasyabbuh ini tertulis dalam sebuah hadits:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongannya".

Tinjauan Hukum Alat-Alat Musik

Sampai di sini bisa diketahui, apabila dalam sebuah musik terdapat salah satu illat dari tiga illat di atas hukumnya dapat dipastikan haram dan inilah yang menjadi konsensus (ijmâ') ulama'. Kendati demikian, ulama masih silang pendapat dalam mengklasifikasikan alat-alat musik yang diharamkan. Di antara berbagai varian alat musik, mulai dari alat musik tiup, pukul, gesek, petik dan yang lainnya hanya alat musik terbang (ad-duff) yang telah disepakati kehalalannya oleh para ulama. Kesepakatan ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah;

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِوَاضْرِبُوا عَلَيْهِ الدُّفُوفَ
"Perlihatkanlah pernikahan ini, dan jadikanlah di dalam masjid serta pukullah terbang".

Di luar kesepakatan hukum terbang ini, ulama berbeda pendapat dalam batasan penggunaan permainan ad-duff yang diperbolehkan. Syâfi'iyyah memperbolehkan permainan ad-duff meski di dalamnya ada aksesoris kencer (al-jalâjil) pada setiap momen, entah walîmah al-ursy, khitan, seremonial penyambutan tamu kehormatan dan lain-lain. Ketika ad-duff disertai alat musik tiup, ulama juga berbeda pendapat. Di antara yang memperbolehkan adalah Ahmad aL-Ghozâly, Izzuddîn bin Abdissalam dan Taqyuddîn Ad-Daqîq.
Kalangan Mâlikiyyah juga mengatakan bolehnya —bahkan sunah— ad-duff dalam resepsi pernikahan saja, memandang bahwa publikasi pernikahan adalah sunah maka permainan ad-duff sebagai media publikasi juga sunah.
Sebagian Hanâbilah membatasi legalitas ad-duff hanya untuk seremonial walimah khitân perempuan saja dan ada yang membatasi dalam momen pernikahan saja. Adapun untuk yang dilakukan laki-laki atau dalam momen selain pernikahan adalah makruh.
Kemakruhan untuk selain pernikahan ini didasarkan pada atsar yang diriwayatkan dari sahabat Umar, bahwa Umar ketika melihat ad-duff dimainkan dalam walimah beliau berkenan, tetapi ketika dimainkan di selain walimah beliau melarangnya. Kalangan Hanafiyyah tidak membatasi pada pernikahan saja, tapi juga diperbolehkan untuk momen bahagia yang lain. Namun mereka mengkhususkan untuk perempuan saja, sedangkan untuk laki-laki adalah makruh.

- Alat Musik Pukul (Gendang Dan Sejenisnya)

Kalangan Mâlikiyyah, Hanafiyyah, aL-Ghozâly dari Syâfi'iyyah menganalogikan semua jenis alat musik pukul dengan alat musik terbang (al-duff) yang secara shorih mendapat legalisasi dari Nabi seperti dalam hadits di atas. Maka, sepanjang bukan untuk tujuan yang diharamkan misalkan untuk kesombongan atau lahwun, menurut versi ini semua bentuk alat pukul hukumnya legal. Namun aL-Ghozâly mengecualikan al-kûbah (gendang kecil), berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Abî Dâwud dan Ibn Hibbân;

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ
"Sesungguhnya Allâh telah mengharamkan khamr, judi dan kûbah."

Hanafiyyah mengecualikan alat musik pukul yang memakai stick, hal ini disebabkan identik dengan tepukan tangan yang merupakan kebiasaan wanita ketika mengingatkan imam yang alpa dalam shalat.
Mayoritas Syâfi'iyyah mengharamkan alat musik pukul, dengan bukti mewasiatkan alat al-malâhi —termasuk kendang, dan seterusnya— hukumnya tidak sah, karena dalam konsep Syâfi'iyyah syarat al-mushô bih harus halal memanfaatkannya secara syar'i. Sedangkan kalangan Hanâbilah memakruhkan alat musik pukul, sebab dinilai tidak memiliki manfaat. Sehingga bedug yang memiliki manfaat sebagai tanda masuknya waktu shalat dan genderang perang yang memiliki manfaat untuk menggugah semangat tempur hukumnya adalah sunah.

- Alat Musik Tiup

Mayoritas ulama Syâfi'iyyah mengharamkan alat musik tiup, dengan alasan alat tersebut adalah tradisi pelaku fasik. Namun imam Ar-Râfi'î didukung aL-Ghozâly mengecualikan al-yarô' (seruling dari buluh), memandang kemanfaatannya yang besar. Sedangkan Hanafiyyah mengharamkan alat musik tiup dengan bertendensi pada hadits riwayat Abî Umâmah;

إنَّ اللَّهَ تَعَالَى بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِير
"Sesungguhnya Allâh mengutusku sebagai rahmat sekalian alam. Dia memerintah padaku memusnahkan ma’âzif (alat musik) dan seruling-seruling".

Hanafiyyah memasukkan alat musik tiup dalam kategori alat muthorribah (membuai) yang bisa melalaikan dari ingat pada Allâh. Sebagian Kalangan Mâlikiyyah memperbolehkan segala macam alat musik tiup, karena mengacu pada atsar Ibn Mas'ûd yang menceritakan suatu ketika beliau pernah masuk dalam suatu pesta (ursy) dan menjumpai seruling dan ternyata beliau tidak melarangnya, ini mengindikasikan persetujuan beliau. Namun sebagian yang lain dengan tegas mengharamkan dengan pertimbangan merupakan tradisi iringan hal-hal yang negatif seperti minum-minuman keras. Pendapat ini didukung aL-Ghozâly dalam Ihyâ' bahwa setiap perangkat yang menimbulkan kemerduan suara dan tradisi ahli fasiq hukumnya haram, namun bila bukan tradisi mereka maka kembali pada hukum asal yakni mubah.
Dalam suatu riwayat Abî Umâmah mengisahkan bahwa ketika Iblîs diturunkan ke bumi dia berkata, "wahai Tuhanku, Engkau telah turunkan aku ke bumi dan Engkau jadikan aku terlaknat, maka jadikan untukku muadzin" (pemanggil). "Seruling", jawab Allâh. Dengan adanya riwayat hadits tersebut ulama Hanâbilah mengharamkan segala macam bentuk seruling karena ia sebagai alat syiar Iblîs seperti azan sebagai syiar orang Islam.

- Alat Musik Petik Dan Gesek

Di antara alat musik petik dan gesek atau alat musik yang berdawai adalah ûd (gitar kuno/lute berleher panjang), tanbûr (lute berleher pendek), kamanchah (fidlle tegak/biola), rubâb (rebab) dan lain-lain. Abdullâh bin Ja'far dan Abdullâh bin Zubair dari golongan sahabat adalah di antara ulama yang melegalkan alat musik berdawai. Mereka juga didukung Sa'îd bin Musayyab, Athâ' bin Abî Robbâh dari golongan tabi'în. Sedangkan syaikh Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Safarîny dari madzhab Hanâbilah mengharamkan semua jenis alat musik berdawai tanpa kecuali. Beliau juga mengutip pendapat imam Nawawî dari madzhab Syâfi'iyyah yang sependapat dengannya. Pendapat kedua ulama tersebut didukung oleh kalangan Mâlikiyyah. Namun sebagian dari mereka melegalkan apabila dimainkan dalam resepsi pernikahan, dan ada lagi yang sekedar memakruhkannya. Ibn Abidîn dari Kalangan Hanafiyyah juga memakruhkan, namun arti makruh yang dikehendaki beliau bukan makruh murni. Sebab dalam konsep Hanafiyyah, ketika ada istilah makruh terkadang yang dikehendaki adalah makruh tahrîm seperti dalam masalah hukum menyanyi di mana redaksional yang dipakai terkadang makruh dan terkadang haram, sedangkan yang dikehendaki adalah sama, yakni memiliki konsekuensi dosa.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dengan masing-masing hujjahnya, bila direnungkan, andaikan malâhi lolos dari hukum haram sekalipun, toh juga tidak ada jaminan bebas dari lingkaran syubhat, apalagi bila memiliki ekses negatif, baik dalam skala besar ataupun kecil yang menjadikan jalan bagi syaitan untuk membentang jaring-jaring tipuannya guna menjerumuskan manusia ke dalam kubangan maksiat. Sebagai mukmin ideal, sudah selayaknya melepaskan diri dari tirai-tirai syubhat sebagaimana pesan wasiat dalam sebuah sabda;

وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِعَرْضِهِ وَدِينِهِ , وَمَنْ حَامَ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ
"Barang siapa meninggalkan syubhat niscaya dia menyelamatkan harga diri dan agamanya. Dan barang siapa menggembala di sekitar bumi larangan maka kemungkinan ia terjerumus di dalamnya".


.

PALING DIMINATI

Back To Top