Bismillahirrohmaanirrohiim

Belajar Nyufi : ‘AIN WUJUDULHAQ

Bila wujud segala sesuatu dinisbatkan atau dihubungkan dengan Wujud Alloh SWT
yang Hakiki, maka wujud-wujud tersebut menjadi wujud khayali, wahmi (fantasi)
dan majazi (metaforis).
Karena wujud selain diri-Nya itu keberadaannya antara “ada” dan “tiada” (mumkin),
artinya wujud segala sesuatu itu pada hakikatnya ‘adam (tiada)
yang ada hanya wujud Alloh SWT.

Arifin Billah Maulana Sayyid Abdillah ibnu Ibrohim Miroghony Rohimahulloh
didalam kitabnya Tuhfatul Mursalat menjelaskan : “Segala mumkin (keberadaan sesuatu)
yang maujud pada khorij (eksternal) pada dasarnya kenyataan wujud diri-Nya,
yaitu ‘Ain Wujudulhaq.”
Oleh karena itu realita wujud mumkin merupakan ‘Ain Wujudulhaq,
tetapi harus dipahami bahwa wujud mumkin dengan ‘Ain Wujudulhaq itu
secara hakiki tetap berbeda.
Karena wujud mumkin merupakan esensi dari ‘Ain Wujudulhaq,
diumpamakan buih, ombak, laut, mega, hujan, es dan sebagainya, yang semua itu
identik dengan air dan pada hakikatnya merupakan ‘ain wujud air juga.
Dikalangan para arifin billah ada yang berpendapat bahwa alam semesta ini
adalah nuskhotulhaq (salinan Haq Ta’ala).
Dan sebagian lainnya berpendapat bahwa alam semesta ini merupakan cermin Haq Ta’ala.

Melihat Wujud-Nya.
Syaikhul Akbar wal Kibritul Ahmar Ibnu Aroby Qds didalam Fushushul Hikam
juga mengatakan : “Apabila Haq Alloh SWT Wiqoyah (memelihara/ada) pada suatu
wajhu (diri) seorang haba, berarti Haq Ta’ala nyata didalam cermin hamba
dan wujud diri hamba tersembunyi.
Sebaliknya manakala hamba wiqoyah pada suatu wajhu dari Haq Ta’ala,
maka sang hamba menjadi lahir pada cermin Haq Ta’ala dan jadilah Haq Ta’ala tersenbunyi.”
Dzauq atau rasa adalah kunci dalam memahami tentang wiqoyah pada suatu wajhu,
seperti seorang hamba yang mengembalikan semua ‘rasa’ pada Tuhan,
secara otomatis akan sirna ‘rasa’ kehambaan
dan sebaliknya seorang hamba mengakui ‘rasa’ itu sebagai miliknya, niscaya lenyap
kekuasaan atau wiqoyah Haq Ta’ala pada dirinya.
Dalam sebuah i’tibar dinyatakan bahwa segala yang maujud dialam semesta,
yang tampak secara lahiriah, adalah makhluk yang lahir sebagai cermin Haq Ta’ala.
Dan semua itu ‘keadaannya’ hamba menjadi wiqoyah terhadap wujudulhaq,
itu adalah merupakan kaidah atau konsep Syuhudul katsroh fil wahdah
yakni memandang yang banyak didalam yang satu.
Pengertian yang tersirat didalam ungkapan atau konsep tersebut memang sulit dipahami,
namun setidaknya masih lebih mudah disbanding dengan konsep lainnya.
Syeikh Suhami Qds pun mengakui bahwa yang menjadi alasan konsep ini didahulukan,
karena saking sulitnya akal kalangan awam mencerna konsep tersebut.
Sedangkan pada i’tibar lainnya dikatakan bahwa segala yang wujud merupakan Haq Ta’ala,
yang berarti wujud-Nya yang zohir dalam cermin makhluk.
Itu adalah penjelasan bahwa i’tibar “keadaan-Nya” Haq Ta’ala menjadi wiqoyah
pada hamba-hamba-Nya.
Hal itu merupakan kaidah atau konsep Syuhudul wahdah fil katsroh
yaitu memandang yang satu didalam yang banyak.

I’tibar Wujud-Nya
Kedua konsep tersebut agak sukar dibedakan, tapi dapat dipahami melalui perumpamaan
dua cermin yang diletakkan kesuatu arah sehingga tampak keduanya memiliki kesamaan rupa.
Dapat pula ditafsirkan bahwa yang lahir merupakan batin
dan yang batin pun merupakan lahir.
Jadi ketika mengetahui bahwa yang tampak didalam cermin itu merupakan Haq Ta’ala
atau makhluk, itu hanya sebuah i’tibar bahwa masing-masing dari keduanya lahir
didalam cermin tanpa ada perbedaan diantara kedua cermin itu.
Sebab segala macam i’tibar itu pada dasarnya hanya ada didalam ilmu-Nya
yang tidak dapat diubah karena kecenderungan pada wajhu.
Jika disebutkan dalam sebuah i’tibar bahwa Haq Ta’ala itu lain dari makhluk,
maka hal ini tidak lain hanya sebuah pengertian bahwa alam semesta
bukanlah Zat dan Wujud diri-Nya.
Oleh karena itu bisa juga dikatakan bahwa yang tampak itu bukan Haq Ta’ala pada setiap wajhu
dan bukan pula makhluk, tentunya dengan i’tibar lain diantara dua cermin itu pada satu wajhu,
yaitu wajhu yang membedakan ilmu itu sebagai Sifat dari Zat.
Syeikh Abdul Ghoni An Nablusi Qds mengatakan : “Yang dimaksud dengan ‘keadaan-Nya’ itu
bukan dalam arti ia merupakan Haq ta’ala pada setiap wajhu, tetapi hanya menjadi i’tibar
Haq Ta’ala pada wajhu keadaan-Nya yang maujud.
Dan yang dimaksud ‘keadaannya’ itu juga bukan makhluk pada setiap wajhu,
melainkan i’tibar makhluk pada wajhu keadaannya.”
Persoalan i’tibar tersebut memang mengherankan, bahkan bagi yang memahaminya
nyaris dibuat tidak mampu membedakan mana yang lahir dan mana yang batin.
Sebab yang lahir didalam cermin akan menjadi batin dengan i’tibar keadaan diri cermin
dengan menilik yang lain.
Tetapi bagi para Salikin bila sudah mengenal dan memahami segala persoalan wajhu ini,
maka akan nyata mengenai kebenaran yang selama ini dituntut.
Bila seorang Salikin telah mencapai titik pemahaman dari apa yang diinginkan
oleh setiap orang yang bertakwa, tentang tingkatan wujud dengan i’tibar Zat dan Dzuhur-Nya,
dan jika keyakinan ini ternyata memiliki keterbatasan (tahdid),
maka itu tidak jadi soal bagi Alloh SWT, karena keterbatasan itu sendiri adalah berasal dari-Nya.
Rosululloh SAW sendiri mengakui hal itu dengan mengatakan bahwa Alloh SWT
dapat mengubah atau mengganti (tahwil) keadaan kedalam beberapa rupa.

Rupa Wujud-Nya
Syeikh Abdul Ghoni An Nablusi Qds mengatakan : “Keterbatasan yang masih dimaklumi
Alloh SWT adalah keterbatasan dalam konteks bahwa seseorang masih mengakui
kenyataan ‘ada’ Nya Alloh SWT, serta batinnya tidak bergeser sedikitpun untuk membenarkan
bahwa Alloh SWT sejak azali adalah tidak mengalami perubahan.
Adapun fakta bahwa Alloh SWT mengalami perubahan bentuk dalam rupa-Nya
dinyatakan dalam sebuah hadits Rosululloh SAW, ‘Bahwasanya pada hari kiamat nanti
Alloh SWT akan bertajalli (menyingkap) kepada segenap makhluk dalam pelbagai rupa
yang selama ini dinafikan dan diingkari.’
Dengan demikian pada hari kiamat nanti Alloh SWT akan menampakkan Wajah Asli-Nya
serta menyingkap dan memperlihatkan rahasia Diri-Nya dalam bentuk (rupa)
sebagaimana i’tiqod para hamba, sehingga mereka pun bersujud di hadapan-Nya.
Semua yang maujud tersebut berada dibawah martabat Ilahi.
Semua makhluk yang diliputi oleh keterbatasan akan ditampakkan aslinya
oleh Alloh SWT dalam berbagai rupa,
sekalipun sebetulnya makhluk itu sendiri tidak memiliki rupa yang sesungguhnya.
Mereka dan segenap a’yan adalah ‘adam (nihil), sebab yang ada hanyalah Alloh SWT.
Oleh karenanya jika keterbatasan berlaku bagi makhluk, maka janganlah mengira
bahwa dihadapan cermin Haq Ta’ala keterbatasan tersebut juga berlaku.
Hal ini memng tidak secara jelas disaksikan secara kasat mata pada wujud mumkin,
tetapi keberadaa hukumnya bersifat pasti.
Sebagaimana kepastian tersebut dapat dilihat dengan berbagai cara,
sebab andai pun tidak diyakini, maka kepastian hukumnya tetaplah demikian.
Dengan begitu nalar dan visi wujud mumkin tidak menjangkau secara mutlak
atas kebenaran masalah ini, melainkan dengan i’tibar tsubut (ketetapan)
Alloh dengan ilmu-Nya.

Hanya Wujud-Nya
Karena wujud selain Alloh SWT adalah fana dibawah wujud Alloh,
maka tidak ada yang maujud melainkan hanya Alloh SWT.
Bahwa wujud alam semesta merupakan mazhar (penampakkan) dari Wujud Alloh SWT
yang selanjutnya dijadikan sebuah perumpamaan oleh kaum arifin billah,
adalah semata-mata untuk memudahkan dan bukan pada arti yang sesungguhnya.
Sebagaimana arifin billah mengibaratkan laut, ombak dan buih,
yang ketiganya merupakan penampakkan dari air.
Sehingga tidak ada yang maujud kecuali air, karena ombak maupun buih itu
maujud melalui air.
Mewujudnya ketiga hal tersebut itu adalah melalui proses, misalnya air yang bergerak
jadilah ombak dan buih, namun ketika air itu berada ditempat yang luas, maka jadilah laut.
Ketiga wujud tersebut menunjukkan hakikat air yang berarti tiada yang maujud
dari semua itu kecuali hanya air.
Karena yang meliputi wujud laut, ombak dan buih itu hanya air, seperti itulah i’tibarnya.
Wujud Alloh SWT meliputi seluruh alam semesta, sebab alam semesta ini pada dasarnya
tidak maujud melainkan karena Alloh SWT.
“Sesungguhnya Alloh meliputi segala sesuatu.” (QS. Fussilat : 54)

Maulana Syeikh Abdur Rohman ibnu Abdul Aziz Al Maghribi Al Umari Ra.
berpendapat bahwa : “Meliputi disini adalah meliputi dengan Zat-Nya yang melazimkan
bagi-Nya Sifat Ma’nawiyah, sebab Alloh adalah nama bagi Zat Yang Wajibul Wujud,
Yang memiliki segala Sifat terpuji dan sempurna.
Jadi pengertian ‘meliputi’ disini bukan hanya terhadap alam semesta saja,
sebagaimana pendapat yang berkembang dari banyak ulama yang kurang memahami
ilmu tauhid dan hakikat, karena mereka kurang memahami dan mengenal Zat dan Sifat
Alloh SWT secara sempurna.
Padahal Alloh SWT menjelaskan : “Dan kepunyaan Alloh lah timur dan barat, 
maka kemanapun engkau menghadap disitulah wajah Alloh.” (Al Baqoroh : 115)
Ayat ini menyiratkan bahwa dimanapun dan siapapun menghadapkan wajah, hati,
ruh atau akalnya maka disanalah terdapat Zat Alloh SWT.
“Dan Dia bersama (beserta) kamu dimana pun kamu berada.” (Al Hadid : 4)
Kalimat “ma’a” (beserta) pada ayat tersebut pengertiannya adalah dengan Zat-Nya,
yang melazimkan bagi-Nya Sifat pada makna fana sekalian alam ini,
sehingga tiada maujud kecuali hanya Alloh.
Pengertian semacam ini dapat disimpulkan bahwa dimanapun ada ‘wujud’,
disitulah ada Alloh SWT yang meng-qiyam-kan (mendirikan) nya.

Syeikh Abdul Wahab Asy Sya’roni Qds menyatakan dalam Al Yawaqit wal Jawahir :
“Barang siapa yang mengatakan bahwa ma’iyyah (kebesertaan) Alloh SWT
terhadap makhluk-Nya hanya dengan Sifat-Nya, maka sama saja ia menyatakan
bahwa Sifat itu infika’ (terlepas) dari Zat-Nya.
Hal ini tentu tidak mungkin, tetapi jika ia mengatakan bahwa proses kebesertaan
tersebut adalah hanya Sifat-Nya, dan bukan Zat-Nya, maka itulah pendapat yang sempurna,
walau pada hakikatnya Sifat-Nya itu tidak dapat diceraikan dari Zat-Nya.”
Wujud dan Zat Alloh SWT bukanlah jisim (fisikal), bukan jawahir (substansi),
bukan ‘arod (aksiden), bukan ittihad (penyatuan), bukan hulul (penempatan),
dan bukan pula sesuatu yang jihah (bersegi).
Sebab IA tidak ber hadd (terbatas), tidak terhingga, tidak baru dan keberadaannya
berbeda dari segala sesuatu.
“Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dial ah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuuroo : 11)
Dia lah Alloh SWT Zat yang tidak memerlukan pasangan, tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Alloh itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan segala sesuau memerlukan-Nya.
“Katakanlah : Dia lah Alloh Yang Maha Esa, Alloh adalah tempat meminta.
Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada sesuatupun 
yang setara dengan Dia.” (QS Al Ikhlas : 1-4).

Oleh karena itu bagi para Salikin yang benar-benar menuju kepada-Nya
harus istiqomah memandang dan meyakini bahwa tidak ada yang maujud
dialam semesta ini kecuali hanya Alloh SWT.
Inilah syuhud yang akan menjadi lentera penerang sepanjang perjalanannya.

Sumber :Ad Duurun Nafis ; Syeikh Muhammad Nafis Al Banjari.Fushushul Hikam ; Syeikh Ibnu Aroby.Tuhfatul Mursalat ; Sayyid Abdillah Miroghony.Yawaqit wal Jawahir ; Syeikh Abdul Wahab Asy Sya’rony.


.

PALING DIMINATI

Back To Top