Bismillahirrohmaanirrohiim

Hukum Salam Lintas Agama

oleh Abdul Wahhab Ahmad 

Saya melihat argumen para pihak yang pro mau pun kontra salam lintas agama yang diperdebatkan banyak kalangan selepas keluarnya fatwa MUI beberapa saat lalu yang mengharamkannya. Aktivis sosial, guru besar, aktivis bahtsu hingga pejabat merespons fatwa pengharaman tersebut dengan berbagai alasan yang intinya fatwa haram tersebut diianggap kurang tepat dan kurang toleran. Beberapa pihak bahkan ada yang menganggap fatwa MUI tersebut seperti fatwanya wahabi yang mudah mengharamkan berbagai hal dengan gegabah. 

Hanya saja, saya melihat argumen pihak yang kontra fatwa MUI tidak relevan dengan inti permasalahan yang dibahas. Mereka semua membahas pentingnya salam dan manfaat salam bagi kerukunan dan toleransi. Padahal yang dipermasalhkan bukan salam, sama sekali bukan salamnya. 

Sebagian menitik beratkan pada isu "goyahnya keyakinan" atau "murtad". Masak mengucap salam saja seolah mau dikesankan keyakinannya goyah atau murtad mengikuti agama orang lain? Kira-kira demikian inti narasi yang dibangun pihak yang kontra fatwa MUI. Padahal masalahnya bukan di situ sebab tidak ada yang sampai menuduh murtad atau pindah keyakinan gegara mengucap salam lintas agama. 

Inti masalahnya (mahallun niza') adalah redaksi dalam salam lintas agama yang beredar saat ini. Misalnya saja redaksi "Namo Buddhaya" yang artinya terpujiah Sang Budha, yang jelas merupakan redaksi doa pujian dalam agama lain kepada Tuhannya. 

Apakah redaksi itu halal diucapkan oleh seorang muslim meskipun tidak dalam rangka beribadah atau mengakui kebenaran agama lain? Okelah tidak sampai murtad (meskipun sebenarnya poin ini bisa juga diperdebatkan kalau mau memakai dalil teologis yang ketat), tapi apakah karena tidak sampai murtad lalu halal diucapkan seorang muslim dalam kondisi normal tanpa paksaan? Saya menanyakan pertanyaan kritis ini pada beberapa teman yang cenderung kontra pada fatwa MUI tersebut tapi tidak ada dari mereka yang menjawab sebab jawabannya jelas, yakni haram.

Tidak semua hal boleh diucapkan oleh seorang muslim, meskipun hal tersebut tidak diyakini olehnya. Misalnya saja berkata "kamu terlaknat" pada seorang teman di saat bercanda, meskipun tidak disertai keyakinan bahwa temannya dilaknat oleh Allah, tapi tetap saja itu tidak diperbolehkan untuk diucapkan sebab itu perkataan buruk. Demikian juga dengan ucapan yang merupakan doa agama lain kepada sesembahan selain Allah, meskipun mau dicari kitab fikihnya sampai ke akhirat, tetap saja tidak akan ditemukan pendapat yang memperbolehkan, semua ulama pasti menjawab bahwa hukumnya haram.

Apalagi sama sekali tidak ada tuntutan untuk mengucapkan redaks-redaksi yang bermasalah tersebut dalam salam. Dalam sejarahnya, salam tidak lebih dari sebuah sapaan yang netral yang tidak perlu ditambahi dengan atribut keagamaan yang khusus bagi agama tertentu semisal "Namo Buddhaya" dan semacamnya. Kata "salam" saja sebebarnya sudah cukup sebagaimana salam para malaikat pada orang-orang yang masuk ke surga. Orang Yahudi mengucapkannya dengan kata "Shalom", itu sama saja hanya beda bahasa. "Assalamu 'alaikum" adalah versi lengkap dalam tradisi muslim yang maknanya juga sama. Versi modifikasinya seperti "selamat pagi" atau "salam sejahtera" juga sama hukumnya netral alias boleh. Sebatas inilah salam yang diperlukan sebagai sebuah bentuk keakraban, sama sekali tidak perlu lebih dari itu.

Kalau berbicara toleransi, maka justru pihak yang memaksakan muslim lain agar mengucap "Namo Buddhaya" adalah pihak yang perlu belajar makna toleransi. Kenapa pula urusan salam yang seharusnya sederhana harus dipaksa-paksa redaksinya hingga memakai doa agama lain segala dan keberatan pada pihak yang melarang? Padahal, seandainya diucapkan "hai" atau "halo" saja sudah cukup untuk segala bangsa. Lihat saja pidato-pidato resmi orang Barat, salamnya cukup "hai" atau "halo" dan tidak ada yang latah menganggap mereka tidak toleran bukan? 

Semoga bermanfaat.


.

PALING DIMINATI

Back To Top