Bismillahirrohmaanirrohiim

TIGA PONDOK NU BERMETAMORFOSA KARENA LEMAHNYA DOKTRIN KE-NU-AN KIYAI DAN GENERASINYA


Mengapa bisa ? 
Kenapa pondok pesantren yang awalnya Aswaja/NU kok akhinya mendirikan aliran sendiri?

Jawabannya karena pengasuh/pendiri ponpes tersebut tidak punya ghirah thd NU dengan demikian ponpesnya tidak ikutkan dlm RMINU (Rabithah Ma'ahid Islamiyah, Asosiasi Pesantren keIslaman NU).

Memang dilihat dari amaliahnya mungkin pendiri/pengasuh ponpes tsb awalnya NU, tapi dalam perjalananya karena terpengaruh aliran lain maka keluar dari NU atau minimal acuh thd NU.

Kalau saya tidak salah, contohnya: 

Ponpes Kedungloh, Kediri yang "awalnya NU" akhirnya menjadi "ormas" Wahidiyah.
Ponpes Shiddiqiyah, Jombang yang "awalnya NU" akhirnya menjadi "ormas" Shiddiqiyah.

Juga Ponpes al-Fatah, Temboro Magetan, yang awalnya NU tapi akhirnya menjadi Jamaah Tabligh (JT/Jaulah) malahan menjadi markas di Indonesia. Juga ponpes Maskumambang Gresik.

Begini ceritanya:

Dua pesantren yang dijadikan contoh, ini termasuk pesantren tua, yakni Pesantren Maskumambang berdiri tahun 1859 oleh Kiai Abdul Jabbar (w. 1907), dan pesantren al-Fatah didirikan pada 1912 oleh Kiai Siddiq (w. 1950). Pada awalnya, dua pesantren ini dapat dikatakan sebagai tipikal pesantren NU yang mengembangkan paham ahl al-sunnah wa al-jama'ah (Aswaja).

Namun dalam perjalanannya, kedua pesantren tersebut berganti wajah. Pesantren Maskumambang berganti wajah dari pesantren salafiyah-aswaja menjadi modern-wahabi. Sedang al-Fatah Magetan berubah dari salafiyah-tarekat-aswaja menjadi pesantren berwajah majlis tabligh.

Perubahan itu merupakan hasil dari interaksi dua pesantren ini dengan dunia luar. Pesantren Maskumambang bergerak ke arah wahabi pada generasi kedua, yang diwakili figur Kiai Ammar Faqih (w.1965) setelah dia belajar ke Mekah dan Madinah dan persentuhannya dengan karya Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab al-Tauhid ketika menjalankan ibadah haji. Perubahan orientasi Pesantren Maskumambang semakin jelas ketika Kiai Nadjih Ahjad mengganti posisi Kiai Ammar Faqih. 

Sedang pesantren al-Fatah Magetan berubah wajah menjadi majlis tablig setelah Kiai Uzairon belajar ke Mesir dan Kiai Noor Tohir belajar ke Mekah. Kedua pengasuh al-Fatah tersebut berkenalan dengan majlis tablig yang didirikan Maulana Muhammad Ilyas bin Muhammad Ismail al-Kandahlawi (w. 1944). Hubungan itu dilanjutkan dengan kunjungan jama'ah tabligh dari India dan Pakistan ke al-Fatah Magetan pada 1984 dan 1988.

Peristiwa ini pada 1989 sempat memunculkan ketegangan antara Pesantren al-Fatah dengan PCNU Magetan. Ketika itu, Kiai Uzairon menjabat sebagai Rais Syuriah, dan Kiai Noor Tohir sebagai Katib Syuriyah PCNU Magetan. Forum tabayyun itu ternyata tidak menemukan titik temu. 

Kiai Uzairon dan Kiai Noor Tohir akhirnya menyatakan keluar dari NU dan memilih mengembangkan majlis tabligh. Sejak itu, Pesantren al-Fatah semakin menjauh dari komunitas NU dan semakin mantap mengembangkan karakter keberagamaan majlis tabligh dengan khuruj (keluar menyebarkan agama) menjadi ciri khasnya.

Karena peristiwa ini, banyak wali santri yang berontak. Wali santri banyak yang tidak bisa menerima pilihan pengelola Pesantren al-Fattah. Akhirnya, sekitar 500 santri ditarik orang tuanya dan dipindahkan ke pesantren lain.

Metamorfosis dan perubahan orientasi pesantren demikian tidak hanya dialami Maskumambang Gresik dan al-Fatah Magetan. Masih banyak sejumlah pesantren NU yang ikut tergerus gelombang wahabisme. Kalau Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, menyatakan Islam Indonesia diserang ideologi trans-nasional, kasus Maskumambang dan al-Fatah bisa menjadi contoh riil.

Bahkan, kini medan pertarungan itu tidak hanya melalui pesantren. Masjid-masjid sebagai basis kehidupan sosial keagamaan masyarakat juga menjadi ajang kontestasi. Dari berbagai informasi yang penulis peroleh, masjid-masjid yang dikelola warga NU banyak sekali yang “diserobot” kelompok wahabi dan aliran puritan lainnya.

Dari kenyataan tersebut, ada beberapa hal yang layak dicatat, yaitu:

_Pertama_
Jika selama ini NU mengklaim mempunyai soko guru yang kokoh, yaitu pesantren, ternyata kini pesantren telah mengalami metamorfosis yang melahirkan wajah baru pesantren yang jauh dari karakter ke-NU-an. Meski saya tidak percaya semua pesantren NU akan terbawa arus ini, namun jika tidak diwaspadai bukan tidak mungkin paham keagamaan NU akan semakin dipandang asing di negerinya sendiri. NU juga akan semakin kehilangan legitimasi pesantren.

_Kedua_
Pelajaran berharga dari Pesantren Maskumambang dan al-Fatah adalah ternyata jaringan tokoh-tokoh pesantren yang dibangun melalui belajar di luar negeri, terutama Mekkah dan Madinah mempunyai pengaruh besar dalam mengubah wajah pesantren. Memang tidak sumua alumni Mekkah dan Madinah menjadi wahabi, namun mengabaikan hal ini juga bukan sikap yang baik.

_Ketiga_
NU memang punya lembaga yang secara khusus membidangi soal pesantren, yaitu Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyah (RMI). Lembaga ini perlu diorientasikan untuk melihat perkembangan pesantren-pesantren NU dari sisi orientasi ideologisnya. Hal ini memang bukan perkara mudah. Meski NU mengklaim mempunyai basis pesantren, tapi pesantren di lingkungan NU mempunyai otonomi penuh yang tidak bisa dicampuri dan diintervensi pengurus struktural NU. Pesantren NU lebih bisa digerakkan melalui hubungan guru-murid, daripada hubungan struktur NU.

Memang, perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Arus perubahan terkadang juga tidak terduga. Dan kini, pesantren di hadapkan pada berbagai pilihan perubahan. Harus diakui, di sini umat Islam, termasuk warga NU dan pesantren, sering tergagap dalam menghadapi berbagai arus perubahan. Saya yakin, pesantren memang tidak akan bisa hilang dari bumi Indonesia. Masalahnya adalah pesantren jenis apa yang akan hidup. Inilah tantangan yang harus dihadapi. 

Untuk itulah maka pengasuh pesantren harusnya mempunyai ghirah NU (NU yang sesuai dengan PBNU), bukan NUGL, bukan KKNU dan sempalan lainnya. Dan pesantrennya harusnya didaftarkan ke dalam RMI NU agar tidak keluar dari sistem NU. 

Dan hal yang mengerikan lagi bagi  mereka ( Pondok pesantren lembaga/ Yayasan yang keluar dari NU, di mungkinkah akan putus sanadnya dari Para Ulama dan kiyai Muassis dan pendiri NU. Yang paling berbahaya penyesalan generasinya.


.

PALING DIMINATI

Back To Top