Bismillahirrohmaanirrohiim

Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki


Oleh : Ulil Abshar Abdalla

Nama Sayyid Muhammad ibn Alawy al-Maliki sudah saya dengar sejak kecil. Saat saya masih berumur kira-kira tiga belas tahun, saya mendengar sebuah ceramah dalam bahasa Arab yang diputar di rumah kakek saya, Kiai Muhammadun Pondowan (Tayu, Pati). “Itu adalah ceramah Sayyid Muhammad,” kata ayah saya. Ketika itu, saya belum tahu siapa sosok yang begitu mendapatkan tempat yang amat terhormat di hati para kiai Nahdlatul Ulama ini. Dalam percakapan informal atau pengajian, kakek saya kerap menyebut nama Sayyid Muhammad al-Maliki.

Beberapa tahun kemudian barulah saya mendapatkan gambaran yang terang mengenai ulama asal Mekah ini. Yakni, ketika saya, untuk pertama kali, berkenalan dengan kitab karangan Sayyid Muhammad yang berjudul, “Mafahim Yajibu An Tusahhah” (paham-paham yang harus diluruskan). Kitab ini menjadi bacaan favorit para warga NU karena memuat hujjah dan pembelaan atas amalan-amalan warga nahdliyyin yang selama ini kerap dibid’ahkan oleh ulama Wahabi. Sayyid Muhammad dipandang sebagai pembela akidah ala Ahluassunnah wal Jama’ah (kerap disingkat Aswaja) di Saudi Arabia secara khusus, dan dunia Islam secara umum.

Sayyid Muhammad lahir di Mekah pada 1944 dari keluarga para ulama besar mazhab Maliki di Mekah. Leluhurnya adalah para ulama utama yang mengajar mazhab Maliki di Mekah. Sejak tahun 1970an, Sayyid Muhammad sudah mendapatkan semacam “chair” atau kursi untuk mengajar di Masjidil Haram. Belakangan, karena desakan dari ulama Wahabi yang tidak menyukainya, akhirnya ia tidak lagi bisa mengajar di sana, dan membuat semacam “halaqah” pesantren secara terpisah. Pesantren dan sekaligus “ndalem”-nya Sayyid Muhammad di kawasan Rushaifah (di daerah yang dikenal dengan Misfalah) menarik banyak santri dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia. Banyak putera kiai di tanah Jawa yang belajar dengan Sayyid Muhammad. Beliau wafat pada 2004. Pesantrennya kemudian diteruskan oleh puteranya yang bernama al-Sayyid al-Duktur Ahmad ibn Muhammad ibn Alawi al-Maliki.

Waktu melaksanakan haji pada tahun 1990an, ayah saya sempat sowan ke ndalem Sayyid Muhammad dan mendapatkan banyak kitab karya beliau. Sejak itu, saya bermimpi: kapan bisa sowan ke Sayyid Muhammad. Malam ini, mimpi itu terkabulkan. Bersama para kiai dari PBNU, saya memasuki gerbang kediaman Sayyid Ahmad al-Maliki menjelang Maghrib. Kami melaksanakan jamaah Maghrib di sana, dilanjutkan dengan ngaji dua kitab: pertama, kitab “al-Dzakha’ir al-Muhammadiyyah” karya Sayyid Muhammad, dan, kedua, kitab “Inarat al-Duja” karya Syaikah Muhammad ibn Hasan al-Massyat (lulusan Madrasah al-Shaulatiyyah). Yang mengajar adalah langsung Syekh Ahmad al-Maliki.

Setelah jamaah Isya’, ada pembacaan semacam salawat dengan lagu yang indah sekali, diiringi dengan terbangan. Di ujung acara, rombongan kami dipersilahkan untuk mampir ke ruang khusus Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Saat memasuki ruangan ini, saya tak kuasa menahan tetesan air mata, karena merasakan sebuah berkah yang tak berhingga. Di ruangan ini, kemungkinan, ayah saya sowan kepada Sayyid Muhammad beberapa puluh tahun lalu.

Sebelum pamit, semua rombongan diberi kehormatan sebuah sorban yang langsung dipasangkan oleh Sayyid Ahmad ke kepala kami masing-masing. Sehuah keberkahan.

Semoga Sayyid Ahmad diberikan umur panjang dan kesehatan. Dia adalah “cagak” aqidah Ahlissunnah wal Jamaah di tanah Arab saat ini. Dialah yang menjadi “tali penghubung” antara tradisi keilmuan Sunni di masa sekarang dengan masa lampau, dengan generasi Ibn Hajar al-Haitami dll.


.

PALING DIMINATI

Back To Top