Bismillahirrohmaanirrohiim

Masalah Niat Tidak Sesederhana Itu

Oleh Yendri Junaidi 

Sudah jamak diketahui bahwa niat berarti maksud dan kehendak. Saya berniat untuk shalat berarti saya bermaksud melakukan ibadah shalat. Sebagian kita menganggap bahwa berniat untuk shalat cukup dengan diam sejenak sebelum shalat lalu ‘pasang’ niat kemudian takbir.

Benarkah masalah niat sesederhana itu? Apakah niat bisa diwujudkan dengan cara ‘merenung’ sejenak, lalu menghadirkan jenis ibadah yang ingin dilakukan (terlepas dari perbedaan boleh tidaknya melafazkan niat), kemudian langsung action? 

Bisakah seseorang yang sedang kenyang mengatakan: “Saya berniat untuk punya selera makan”? Bisakah seorang yang sangat lapar mengatakan: “Saya berniat makan untuk ibadah”? Bisakah seorang suami yang tak bertemu dengan isterinya lebih sebulan, lalu ketika bertemu dan ingin berhubungan ia berkata: “Saya berniat melakukan ini untuk mendapatkan keturunan yang shaleh”? 

Dengan kata lain, bisakah niat itu ‘dihadirkan’ secara paksa?

Tidak mudah menjelaskan hal ini, apalagi memahamkannya pada orang lain. Poinnya, kita mesti menyadari bahwa perkara niat tidak sesederhana yang kita bayangkan. 

Dalam konteks ini kita baru bisa mulai memahami kenapa Imam Sufyan ats-Tsauri saat mengetahui puteranya wafat, ia hanya berucap : innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ketika ditanya: “Kenapa engkau tidak menyaksikan pemakamannya?” Ia menjawab singkat:

لَمْ تَحْضُرْنِي النِّيَّةُ

“Niat tidak hadir.”

*** 

Disinilah perlunya kita mengkaji kembali hal-hal yang terlihat jelas dan mudah, padahal sesungguhnya menyimpan bahasan yang tidak ringan. Kita mengira sudah melakukan sesuatu dengan benar, ternyata banyak kekeliruan yang terjadi tanpa disadari.

Sangat menarik dan bermanfaat sekali menelaah apa yang ditulis Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya` khususnya dalam Bab al-Ghurur. Bab ini sangat penting dikaji dan didalami. Terutama mereka yang dipandang sebagai ulama dan para pecinta ilmu. Demikian juga ahli ibadah dan semua yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt, dimana semua itu mesti dimulai dengan niat yang benar dan bersih.

*** 

Di salah satu bagian dalam Bab ini, Imam al-Ghazali rahimahullah menukil dari Abu Nashr at-Tammar. 

Seorang laki-laki datang menemui Bisyr bin al-Harits. Ia berkata: “Saya mau pergi haji. Apakah ada pesan untuk saya?”

Bisyr berkata: “Berapa banyak yang engkau siapkan untuk bekal?”

“Dua ribu dirham,” jawab laki-laki itu.

“Apa yang engkau inginkan dari ibadah haji ini?”

“Ingin ridha Allah.”

“Kalau seandainya engkau bisa mendapat ridha Allah tapi engkau tetap di rumah dan menginfakkan uang dua ribu dirham itu dan engkau yakin beroleh ridha Allah, apakah engkau mau melakukannya?”

“Mau.”

Bisyr kemudian berkata: 

“Berikan uang dua ribu dirham itu pada sepuluh orang ; orang berhutang untuk melunasi hutangnya, orang fakir untuk menutupi kebutuhannya, kepala keluarga untuk mencukupkan kebutuhan keluarganya, pengasuh anak yatim untuk membahagiakannya. 

Kalau hatimu lebih mantap dan mau memberikannya pada satu orang saja itu lebih baik. Karena memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang muslim, menolong orang kesulitan, meringankan beban dan membantu orang lemah jauh lebih utama dari seratus kali haji setelah haji fardhu.”

Bisyr melanjutkan: 

“Sekarang pergilah dan lakukan apa yang saya sarankan. Tapi kalau hatimu merasa berat, maka sampaikan saja dengan sejujurnya apa yang ada dalam hatimu.”

Dengan jujur laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Nashr, berangkat pergi haji lebih terasa kuat dalam hatiku.”

Bisyr tersenyum. Ia mendekati laki-laki itu dan berkata: “Ketika harta dikumpulkan dari kekotoran perdagangan dan syubhat, nafsu (diri) menuntut untuk dipenuhi hajatnya. Meskipun ia menzhahirkan amal shaleh tapi Allah Swt sudah bersumpah bahwa Dia tidak akan menerima kecuali amal orang-orang yang bertakwa.”

*** 

Sia-sia belaka seseorang meniatkan dalam hatinya : “Saya pergi haji untuk mendapat ridha Allah” kalau niat sesungguhnya yang sudah hadir di dalam hatinya adalah sesuatu yang lain.

Mendalami hal ini untuk memperbaiki ibadah yang kita lakukan jelas lebih baik dan bermanfaat daripada memperdebatkan apakah niat boleh dilafazkan atau tidak. 

Kita mesti belajar bagaimana caranya agar dalam hati kita secara otomatis hadir niat-niat yang baik, tanpa dihadir-hadirkan. Ini maqam yang mesti kita kerahkan segala potensi untuk meraihnya.

Dan, untuk mendalami hal ini tidaklah cukup melalui keterangan di dalam kitab saja, tapi juga dari orang yang pernah ber-mujahadah dan merasakan beratnya mendudukkan posisi niat ini.

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي

“Tidak ada yang lebih berat bagiku untuk diperbaiki daripada niat.”

اللهم أصلح لنا نياتنا

[YJ]


.

PALING DIMINATI

Back To Top